Urgensi Reformasi
Pendidikan Di Daerah
Reformasi berasal dari bahasa Inggris re artinya kembali, formation artinya membangun. Reformasi artinya membangun kembali.
Ini menyiratkan suatu proses untuk memperbaiki suatu bangunan atau tatanan yang
pernah ada sebelumnya karena sudah tidak diperlukan, dan ketingglan zaman. Proses membangun yang baru tersebut di motivasi oleh kebutuhan akan kualitas dan
dipengaruhi oleh kondisi terkini dari masyarakat sekitar. Bentuk yang baru
tentu selaras dan sesuai dengan cita-cita, keinginan, kebutuhan dan kondisi
masyarakat sekarang. Bentuk tatanan yang merupakan hasil reformasi diharapkan
memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang berkualitas yang siap berkompetisi
di era globalisasi.
Dalam konteks pendidikan, aspek yang di reformasi
adalah sistem dan tatacara penyelenggaraannya serta muatannya. Secara sederhana
ada beberapa unsur pokok yang penting
diperhatikan dalam mereformasi sistem pendidikan, yakni: kurikulum,
penyelenggaraan (operations), sistem
kelembagaan (overall direction of the
institution), proses pembelajaran dan penelitian (teaching and search).[1]
Beberapa komponen tersebut perlu ditinjau ulang relevansi dan kesesuaiannya
dengan kondisi kontemporer. Hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
kontemporer lingkungan dan masyarakat mesti dilakukan perubahan dan perbaikan
demi terpenuhinya keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Semangat dari reformasi pendidikan di daerah adalah
untuk memperbaiki kondisi pendidikan daerah sebagai basis pendidikan nasional.
Logika yang sederhana dari reformasi ini adalah “jika kualitas pendidikan di
daerah baik, maka kualitas pendidikan nasional akan turut baik”. Reformasi ini
berlandaskan pada perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang terlebih dahulu
dibangun berdasarkan pendekatan sentralistik.
Dari berbagai penjelasan tersebut, maka pengertian
dari reformasi pendidikan di daerah adalah strategi untuk membangun kembali
mutu pendidikan nasional dengan pendidikan daerah sebagai basisnya, dengan
tetap bertumpu pada sistem pendidikan nasional dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Otonomi daerah yang diimplementasikan sejak tanggal 1 Januari 2001 menjadi
starting point bagi arah baru
pelaksanaan pembangunan nasional. Arah baru tersebut menuju pada penguatan
pembangunan daerah kabupaten/kota secara otonom. Berbeda dengan arah sebelumnya
yang bersifat sentralistik - sehingga arah pembangunan menuju ke pusat sebagai
sentral - di era yang dikenal dengan istilah desentralisasi maka arah
pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya yang berbasis
di daerah.
Pada era sentralistik, pelaksanaan
pembangunan nasional dikelolah secara teratur dan rapi dari atas sampai ke
tingkat paling bawah. Untuk memenuhi aturan/ketentuan tersebut maka tenaga
profesional dan terdidik dipakai oleh pemerintah pusat untuk merencanakan
pembangunan nasional sebaik mungkin. Karena di buat oleh tim ahli yang
disyahkan oleh pemerintah, maka kebijakan dan program pembangunan yang
dituangkan selalu diikuti dan dijalankan oleh pemerintah daerah dengan baik.
Dalam beberapa aspek, hal ini memberikan manfaat yang besar seperti adanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan stabilitas nasional yang relatif aman.
Namun ada hal lain yang terabaikan dari pelaksanaan pembangunan dengan sistem
tersebut, yakni terabaikannya potensi kekayaan dan aspirasi masyarakat di
daerah dalam pembangunan nasional. Pengabaian ini melahirkan kurang efektifnya
hasil pembangunan nasional karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Salah satu aspek pembangunan yang
melahirkan masalah dalam pelaksanaannya di era sentralistik adalah Pendidikan. Beberapa permasalahan
pendidikan secara nasional adalah rendahnya mutu, tidak relevannya antara
pendidikan dengan kehidupan real, pemerataan pendidikan, dan manajemen yang
tidak efisien.[2]
Berbagai permasalahan tersebut
mewarnai pula seluruh pendidikan yang ada di daerah. Bahkan beberapa daerah
mempunyai kondisi yang sangat terpuruk. Ini karena kebijakan dan praktek
pendidikan pada era sentralistik tidak memberikan keleluasaan bagi daerah untuk
merancang pendidikan yang mampu menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat
setempat sesuai dengan kondisi obyektif lingkungan alamnya.
Setelah reformasi dan kebijakan
pembangunan menjadi bersifat desentralistik, maka daerah mendapatkan tanggung
jawab dan wewenang untuk membangun daerahnya sendiri. Pendidikan merupakan satu
bidang prioritas yang menjadi tumpuan bagi suatu daerah untuk memperbaiki
pembangunan di daerahnya. Hal ini karena pendidikan merupakan kawah
candradimuka untuk mencetak kualitas sumberdaya manusia yang akan menggerakkan
pembangunan.
Namun secara historis pendidikan di daerah sudah
terbebani dengan permasalahan lama, dan dampak dari kebijakan pendidikan dan pembangunan nasional yang
sentralistik. Beberapa dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Hilangnya kreativitas dan inovasi
tenaga kependidikan di daerah;
2.
Lahirnya kultur aparatur pendidikan
di daerah untuk menunggu juklak dan juknis dari pimpinan/ atasan;
3.
Berpindahnya local jenius ke kota,
sehingga menyebabkan kurangnya tenaga ahli perencana dan pelaksana pembangunan
di daerah;
4.
Lahirnya budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam organisasi pendidikan. Ini disebabkan oleh panjangnya alur
birokrasi dan luasnya span of control pemerintah pusat.
Di tengah permasalahan tersebut, maka pemerintah
daerah mesti menata ulang kebijakan pendidikannya. Baik itu mengenai visi,
misi, strategi sasaran, dan programnya ataupun tentang kurikulum, tenaga
kependidikan, sumber belajar, evaluasi pendidikan, serta strategi
penyelenggaraannya.
Dalam konteks seperti inilah saya memandang bahwa
reformasi pendidikan di daerah merupakan hal penting dan urgens untuk
dilaksanakan.
No comments:
Post a Comment