Arah Perguruan Tinggi Islam
Perguruan
Tinggi Islam yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang diprakarsai dan
dikelola oleh umat Islam dan keberadaannya disemangati oleh keinginan
mengejawantahkan nilai-nilai keIslaman.
Untuk melacak dan mengidentifikasi perguruan tinggi Islam di Indonesia
tampaknya tidak terlalu sulit, misalnya (1) melalui nama yang disandang atau
orang di balik perguruan tinggi itu, baik secara eksplisit dengan pencantuman
kata Islam misalnya UNISBA, atau secara implisit dengan mengambil tokoh pejuan
Islam seperti Universitas Ibn Khaldun, atau para wali seperti IAIN Syarif
Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung.
Sekalipun peruguran-perguruan tinggi tersebut tidak hanya terdiri dari
fakultas dan jurusan keagamaan, sebegian besar juga membuka fakutlas dan
jurusan umum. Selain itu ada perguruan tinggi yang secara formal sama sekali
tidak menunjuklkan identitasnya sebagai perguruan tinggi Islam dan juga tidak
terikat dengan salah satu ormas atau yayasan Islam, tetapi para pengelola dan
suasananya menggambarkan sebagai perguruan Tinggi Islam.
Perguruan tinggi Islam tidak akan survive
secara tiba-tiba melainkan berawal dari embrio adanya fungsi-fungsi studi
pasca atau purna yang dilakukan oleh sebagian cendekiawan muslim untuk berusaha
lebih mendalam dalam mengembangkan ajaran Islam. Gairah melaksanakan studi
pruna di dunia Islam mencapai puncaknya sekitar abad ke-10 tatkala para
cendekiawan muslim menyadap dan mengembangbiakkan gagasan Hellenis yang berasal
dari Yunani klasik. Ciri dari gagasan Hellenis adalah pemberian porsi yang amat
besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta gandrung pada ilmu-ilmu sekuler.
Gagasan Hellenis yang kian berkobar itu bertabrakan dengan gagasan
Semitis yang juga dikembangkan oleh sebagian kalangan Islam. Ciri gagasan ini
adalah pemberian porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu, sikap patuh
terhadap dogma serta berorientasi pada ilmu-ilmu keagamaan.
Pergumulan tersebut tergambar dalam buku tahafut al-falasifah sebagai serangan Semitis yang diwakili oleh
Al-Gazali dengan Tahafut al-Tahafut sebagai
tangkisan dari Hellenis yang diwakili Ibn Rusyd.
Di dunia Barat gagasan Hellenis ini dibentuk dalam sebuah kelembagaan
dalam bentuk Universitas Studiosorum, yaitu perguruan tinggi yang dimulai dari
adanya sekelompok mahasiswa, kemudian mereka mendatangkan tenaga pengajar
sesuai keahlian yang mereka kehendaki.
Gagasan Semitis yang dikibarkan oleh pemuka gereja dan cendekiawan Nasrani
yang Semitis dibuah dalam sebuah pola Universitas Magistorum. Dalam pola ini bukan mahasiswa yang
mengundang tenaga pengajar melainkan tenaga pengajar yang berkumpul kemudian
mengundang atau mendatangi mahasiswa. Dengan pola ini maka tenaga pengajar dan
bidang studi yang mendapat legitimasi dari gereja Kristen Semitis lah yang
dapat mengajar.
Dua pola tersebut pada akhirnya bergeser dari motif dasar dan wataknya
semula. Pola Universitas Studiosorum akhirnya menjadi watak sebagian besar
kampus Inggris dan Amerika Serikat. Kampus berwatak pola ini pada
perkembangannya bukan hanya mengutamakan ilmu sekuler, melainkan juga
mengedepankan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu terapan.
Adapun pola Universitas Magistorum dengan meninggalkan watak semitisnya
menjadi ciri khas kampus Eropa Daratan. Pola kampus ini bersifat konservatif
dan puritan terhadap pengembangan ilmu. Penyatuan dua semangat Hellenis dan
Semitis dalam realitasnya masih menemukan permasalahan-permasalahan.
Suatu kenyataan yang banyak dihadapi adalah terjadinya ketidakseimbangan
arus peminat yang cenderung lebih besar kepada fakultas-fakultas umum.
Ketidakseimbangan ini menjurus pada segi kualitas dan kemampuan prasyarat
pendidikan, terutama kemampuan ekonomi dan tingkat kecerdasan.
Persoalan teknis juga muncul karena Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS)
harus berpayung dua sebab fakultas-fakultas umum berada di bawah Depdiknas
sedangkan fakultas agama berada di bawah Depag. Aturan birokrasi pada kedua
departemen tersebut terkesan tidak sinkron sehingga menyulitkan dalam
pengembangan PTIS.
Upaya lain dalam memajukan perguruan tinggi Islam adalem dengan
pendekatan kopetensi. Pendekatan ini membuka peluang bagi mahasiswa untuk
memiliki lebih dari satu kesanggupan. Bagi PTIS yang memiliki fakultas agama
dan umum bisa memprogramkan mahasiswanya memiliki kesanggupan dalam jenis
keahlian dan tingkat keahlian tertentu di bidang agama dan jenis serta tingkat
keahlian tertentu di bidang studi umum.
Bagi perguruan tinggi negeri yang mengenal pemisahan antar perguruan
tinggi umum dan IAIN program studi lintas fakultas ini dapat dilakukan melalui
pendekatan kerjasama dengan perguruan tinggi umum yang berdekatan.
No comments:
Post a Comment