Madrasah dan Tantangan Peradaban Modern
Pengakuan
madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional merupakan salah satu
bentuk pengakuan adanya ciri-ciri khas yang dimiliki pranata pendidikan.
Pengakuan tersebut secara kultural sungguh tepat mengingat peradaban suatu
bangsa bisa sangat kuat manakala bertumpu pada akar budaya. Hal tersebut dapat
dibenarkan baik dalam perspektif budaya maupun dalam pandangan ilmiah.
Pendidikan dan peradaban adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebab
menggagas soal pendidikan pada dasarnya adalah menggagas soal kebudayaan dan
peradaban. Pendidikan adalah upaya merekontruksi pengalaman-pengalaman
peradaban umat manusia secara berkelanjutan guna memenuhi tugas kehidupannya.
Baik secara etimologi pada dasarnya kata madrasah juga berarti sekolah,
sekalipun kata sekolah itu sendiri merupakan adaptasi dari kata school atau scola. Makna ini menunjukkan bahwa secara teknis madrasah
menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan
sekolah. Hanya saja secara kultural di lembaga madrasah ini memperoleh seluk beluk
agama dan keagamaan sehingga kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama.
Seiring dengan perkembangan zaman kata madrasah yang diidentikkan dengan
sekolah agama mengalami perubahan walaupun tidak melepaskan diri dari makna
asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Madrasah sebagai sebuah pranata pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan
dengan pondok pesantren. Mencermati pola pendidikan pondok pesantren pada tahap
awal pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan bahwa dalam sistem
pembelajarannya cenderung bercorak mistik. Namun secara lambat laun nuansa
mistik tersebut berkurang bersamaan dengan semakin dekatnya ke dalam jaringan
Islam ke Haramaian, tempat sumber yang asli.
Ditinjau dari aspek pengelolaan pendidikan maka madrasah memungkinkan
cara pembelajaran secara klasikal, kelas berjenjang dengan waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan. Hal tersebut
berbeda dengan sistem pembelajaran di pondok pesantren yang mempergunakan
sistem sorogan dan wetonan.
Format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya.
Proses pembentukan format madrasah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan
pendidikan Barat sebagai buah dari intervensi budaya dan politik pemerintah
Hindia Belanda dalam paruh pertama abad ke-20. Hal ini dapat diidentifikasi
sebagai berikut.
Pertama, madrasah-madrasah diniyah-salafiyah terus tumbuh dan
berkembang dengan pertambahan jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, yakni lembaga yang
hanya mendalami agama.
Kedua, makin bermunculan
madrasah-madrasah yang selain mengajarkan dan mendidik ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai Islam, juga memasukkan pelajaranppelajaran yang diajarkan di
sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda.
Pola-pola madrasah di atas dapat dijumpai sampai sekarang.
Perubahan-perubahan mungkin sekali dialami oleh madrasah, karena tuntutan
penyesuaian maupun reinvention (penemuan
kembali).
Sekalipun madarah telah mendapat pengakuan sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional namun secara birokratik terdapat dualisme-dikotomi antara
pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
dengan pendidikan agama (baca:madrasah) di bawah naungan Departemen Agama
(Depag). Dualisme-dikotomi tersebut memang secara kuat mengesankan kebijakan
pendidikan yang dibidani oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Relaitas lain menunjukkan meskipun madrasah-madrasah lebih dinisbahkan
sebagai lembaga pendidikan swadaya masyarakat, sebagaimana telihat dari
kenyataan terbesar berstatus swasta, keterpanggilannya berperan serta
melaksanan gerakan wajib belajar cukup
besar dan spontan.
Sebagai contoh ketika pemerintah melontarkan gerakan wajib belajar pada
1950-1960an tumbuh secara spontan Madrasah Wajib Belajar yang muncul hampir
seluruhnya terletak di pedesaan. Pada 1960an telah muncul rancangan dan
usaha-usaha implementasi agar MWB menjadi salah satu lembaga yang bisa
memerankan pembangunan pedesaan.
Perlu dicatat bahwa realtias lain yang tidak bisa diabaikan adalah
banyaknya penyelenggaraan madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren.
Madarah-madrasah serupa ini menciptakan satu mekanisme tersendiri guna menutupi
kekurangan pelajaran dan pendidikan agama dalam kurikulum madrasah.
Madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren memberikan kesempatan
kepada para siswanya untuk menambah kekurangan ilmu pengetahuan agama melalui
pengajian-pengajian kitab di luar jam madrasah.
Ada tiga kepentingan yang harus diakomodasi dalam penentukan kebijakan
pengembangan madrasah. Pertama, kebijakan
itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni
menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup islami.
Kedua, kebijakan itu
memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga
negara yang cerdas, berpengatahuan, berkepribadian serta produktif sederajat
dengan sistem sekolah umum.
Ketiga, kebijakan itu harus bisa
menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk ini
madrasah perlu diarahkan kepada lembaga yang sanggup melahirkan sumber daya
manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, dan era informasi.
No comments:
Post a Comment