Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren
Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang
mempunyai banyak perbedaan. Perguruan tinggi identik dengan kemodernan,
sementara pesantren identik dengan ketradisionalan. Persepsi dualisme-dikotomi
ini pada kenyataannya saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan,
baik secara struktural maupun kulutral.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia,
agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius. Menurut Nurcholish Madjid
seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan tentu pertumbuhan sistem
pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh
pesantren-pesantren.
Pendapat Nurcholis Madjid di atas mungkin terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjut
terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi dengan mempertimbangkan
kelebihan yang dimilikinya bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai
alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk
perguruan tinggi.
Beberapa pesantren yang ada saat ini masih kaku mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih sohisticated dalam menghadapi persoalan
eksternal. Paling tidak ada tiga yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
1. kepemimpinan yang sentralistik
dan hirarkis yang berpusat pada seorang kyai.
2. Kelemahan di bidang metodologi
karena umumnya pesantren memiliki tradisi yang sangat kuat di bidang transmisi
keilmuan klasik.
3. Terjadinya disorientasi, yakni
pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya di
tengah perubahan realitas sosal yang demikian cepat.
Akhir-akhir
ini terjadinya sintesa atau konvergensi antara pesantren dan perguruan tinggi
dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan yang konstruktif. Hal ini dapat ditemukan
di beberapa daerah di mana banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi
dan sebaliknya perguruan tingi mendirikan pesantren.
Perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan
ditambah dengan pengayaan di bidang skill
tapi minus pengayaan moral, dalam kenyataannya hanya menghasilkan manusia
cerdas tapi kurang mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya, pesantren
mempunyai keunggulan dari sisi moralitas, tetapi minus tradisi rasional
sehingga melahirkan pribadi yang tanggung secara moral tetapi lemah secara
intelektual.
Dengan memperhatikan implikasi tersebut maka perlu usaha terciptanya
suatu sintesa, konvergensi atau sinergisitas, sehingga dapat dicapai kesatuan
antara moralitas dan rasionalitas. Hal ini bukan persoalan sedernahan karena
menuntut kita untuk membongkar akar-akar teologis-filosofis terjadinya
dualisme-dikotomi tersebut. Oleh karena itu sudah waktunya untuk merekonstruksi
waca keilmua yang selama ini terpilah-pilah secara rigid antara ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di
pihak lain.
No comments:
Post a Comment