Perubahan Budaya Organisasi Universitas
Beberapa butir penting tentang reorganisasi adalah: (a)
perubahan yang dibangun oleh pimpinan eksekutif sebelumnya (ciptaan unit
perencanaan); dan (b) memberi kendali strategis yang lebih besar bagi para
manajer senior terutama di dalam mengarahkan dan memandu kegiatan fakultas
sesuai posisinya.
Suatu contoh yang terjadi di universitas A, rektor merasa
membutuhkan desain restrukturisasi besar guna mengikis sifat baron atau raja di
fakultas. Dalam pandangan rektor, para dekan terlalu kuat budaya akademiknya
dan berpotensi subyektif dan memiliki otoritas pimpinan eksekutif. Tujuan
mengikis sifat baron tersebut adalah mengarahkan kegiatan operasi ke jalur yang
mendekati aspirasi universitas.
Contoh lain di universitas B, sebuah institusi yang relatif
kecil dengan sebuah fokus portofolio dari kegiatan utama yang berkaitan dengan
pengajaran, meskipun sukses dengan dana, penerapan dan riset. Rektor mwlihat
suaru tantangan uatama dari kepemimpinannya untuk meningkatkan cutra
universitas di masyarakat. Desain ulang dari praktek internal dan aturan guna
mengkomunikasikan visi universiatas sebagai pada pusat sosial regional dan
pembangunan ekonomi yang esensial.
Ilustrasi dari institusi lain adalah universitas C dan D.
manajemen ini disediakan oleh kebijakan dewan Moneter yang mempromosikan
penelitian pilihan. Pada unversitas C, pendahulu
menunujukan kekuatan yang sama dengan narasi universitas sebelumnya. Dalam hal
ini terdapat beraneka aspek instiutusi yang tidak dapat menyandarkan diri
terlalu berat pada riset diluar pengajaran atau seabaliknya, dan masalah kepemimipinan secara bersamaan memberi
sesuatu arti pengarahan yang terhadap timbulnya keberaganmman.
Contoh sebelumnya menggambarkan
berbagai kesulitan yang berkaitan dengan terminologi seperti kepemimpinan
manajerial dan akademis. Pada kenyataannya, tidak satu pun dari perencanaan
infrastruktur fungsional atatu manajerial;
yang dilibatkan langsung didalam urusan akademis. Guna memastikan hal itu,
rektor perlu dilibatkan dalam pengambilan kpeutusan untuk modul guna mengadopsi
suatu sistem atau untuk menghubungkannya dengan kebutuhan dan permintaan
tentang kebutuhan pendidikan tinggi.
Pada setiap kasus, perencanaan infra stuktur diharapakan dapat menjamin koneksi
opersasi antar unit yang lebij baik di universitas atau fakultas. Tetapi
intervensi didalam berabgai hal pengendalian mutu atau perencanaan studi baru,
penegmabangan mengajar atau organisasi dan pelaksanaan riset menjadi
tertinggal. Rektor harus proaktif mewujudkan operasi infrastruktur dalam rangka
meningkatkan kendali dan pembaruan, hasil riset menyatakan bahwa untuk memahami
konsep kepemimipianan akademis memerlukan suatu fokus lebih mendekati peran
rektor didalam mengubah kultur organisasi yang luas. Hal ini
merupakan suatu proses pertamabahan dan pembaruan, bukannya perubahan bentuk.
Kebijakan perlu tetap dipantau guna keberhasilan, selanjutnya
perlu menyeimbangkan antara korporat dan unit operasi. Saat mengusulkan, antara
pusat dan unit kemungkinan bergeser dalam percobaan perubahan di dalam
prioritas organisasi. Bagaimanapun, disamping status pimpinan eksekutif,
pendorong kearah perubahan yang tersedia
untuk rektor terbatas. Dengan semangat memotivasi, pertemuan dengan para staff
senior akan memperoleh suatu kesempatan untuk menggunakan pengaruh dibidang
akademis. Rektor aktif dilibatkan dalam semua pertemuan guru besar, dekan/
ketua dan staf senior lainnya. Membangun keahlian dan gambaran riset di
universutas akan menghasilkan nama besar denngan menata kembali unit yang bersangkutan, baik
menggabungkan atatupun menutup.
Dalam konteks kolegial dan kultur institusi profesional, rektor
menyelami perannya sebagai managing
director. Peran seperti itu perlu hanya oleh karena cara mengalakasi sumber
dayanya. Menggunakan pengaruh juga dilihat sebagai suatu alat yang sangat
dibutuhkan pada pekerjaan itu. Seperti contoh sebelumnya, nama besar dengan
reputasi riset puncak akan selalu dicari. Mempengaruhi kelompok dan pikiran kolegial adalah dugaan
meragukan didalam suatu universitas modern. Dengan mempertahankan peran
simbolis yang kuat didalam penguasaan instituasi internal merupakan suatu
kendala yang kuat atas tindakan rektor. Majelis tinggi universitas tua dan
baru, mengemukakan bahwa pada pokoknya adalah kolektif yang akademis. Walaupun
secara nominal pimpinan eksekutif, rektor memberi perhatian besar kepada inti
dan pikiran keseluruhan akademis. Hubungan secara formal dinyatakan dalam peran
rektor yang memimpin pertemuan majleis tinggi akademis.
Universitas E menerangkan dengan contoh pendekatan atas
masalah itu, rektor harus menjelaskan bahwa ada suatu kebutuhan untuk proses
pembaruan yang radikal atas kultur akademis. Didalam pandangannya, kepemimpinan
akademis melibatkan rektor dalam mengkomunikasikan, memberi kemudahan dan
memusatkan aktivitas. Suatu bagian integral akademis untuk mendidik adalah
kenyataan politis lingkungan; memandu kearah kemudahan untuk menjadi mampu dan
melihat diri mereka seperti bagian dari
dunia. Walaupun rektor mwnjelaskan bahwa dalam samaran tradisonal hal itu tidak
sesuai lagi bagi lingkungan. Dalam posisi rektor. Ia ingin kultur kolegial
bersatu sebagai bagian dari tradisi yang memberi kesempatan untuk mendiskusikan
isu sebelum pembuatan keputusan. Sesudah itu bagaiamanapun kolegial memerlukan
pendefinisian ulang untuk memberi arti bagi para rekan kerja yang menantang,
meskipun tanggung jawang jawab kolektif diterima untuk keputusan terakhir.
Rektor mengakui bahwa pendefinisian
ulang kolegial menjadi suatu tantangan utama kepada kultur tradisional di
universitas. Hal ini dilaksanakan secara terbuka dengan berbagi informasi
kepada rekan kerja kecuali jika ada pertimbangan lain untuk memelihara
kerahasiaan. Komunikasi yang dikembangkan pada suatu tingkatan formal telah
dipertimbangkan dan kembali didiskusikan dimana rektor mencoba menggerakan
batasan antara bidang fungsional dan yang terlibat dalam suatu proses penguraian. Pertemuan pengarahan singkat
diatur dalam urutan materi agenda yang akan dibahas dengan anggota regu senior,
karena bentuk kebijakan dan pembagian kerja disetujui dalam kaitan dengan
materi spesifik. Persepsi kekuatan dan kelemahan majelis tinggi dan variasi
akademis bervariasi, dua sketsa menggambarkan pendekatan khas yang diadopsi
dari hasil rapat. Contoh ini menekankan usaha rektor untuk memastikan
komunikasi terbuka dengan para akademisi. Pengamatan atas pertemuan majelis
tinggi mengkomfirmasikan bahwa permintaan pertemuan seperti itu merupakan kemampuan pemimpin eksekutif, tidak
hanya untuk membantah suatu kasus atau membujuk para anggota, tetapi untuk
kecukupan sensasi untuk mengatehui suatu isu. Hal ini merupakan unsur gaya
kepemimpinana politis dan kharismatik, membuat satu contoh praktek transformasi
gaya kepemimpinana yang nyata. Seorang rektor, meski mampu secara efektif
memimpin pertemuan majlis tinggi dan badan akademik, tidak akan bertahan lama
tanpa kemamapuan bekerja sama antar pertemuan formal..
Atas pertimbangan budaya atau
pertimbangan lain, sedikit pimpinan eksekutif dalam studi kasus institusi
mengakui berteori dengan gaya kepemimpinannya. Seorang pemimpin tidak
benar-benar memikirkan berbagai hal yang sebetulnya, hanya mencoba dan merasa
cocok dengan pekerjaannya. Kesadaran atas konteks kelembagaan, tempat
organisasi di dalam lingkungan yang lebih luas tentang pendidikan lebih tinggi
dan cakrawala ekonomi, sosial dan skala teknologi adalah tinggi. Hubungan
dengan dunia luar harus luas, seperti halnya ekspose pada sudut pandang institusi,
akademis dan peserta didik. Para pemimpin di dalam studi kasus ini sangat sadar
akan kebutuhan untuk perubahan.
Penggolongan gaya kepemimpinan baik
transformasional maupun tanggapan menyediakan beberapa pengertian yang mendasar
ke dalam pendekatan kepemimpinan. Hal yang relevan adalah usaha rektor untuk
menetapkan derajat tingkat keharmonisan antara suatu perubahan lingkungan
eksternal yang terus menerus dan status organisasi, cara melakukan dan
berpikir. Penafsiran terhadap hal itu penting karena bagaimanapun juga, mereka
menggunakan suatu pengaruh kuat atas mengapa rektor melakukan penyesuaian dan
perubahan. Kedua bidang tindakan kepemimpinan manajerial dan akademis secara
luas kini merupakan pola batasan dan peluang yang berbeda. Batasan-batasan antara
kedua bidang sedang bergeser, lemah dan kadang-kadang tak dapat dilihat. Hal itu jelas dari hasil riset universitas,
rektor harus mampu menggunakan kedua transformasi dan gaya manajemen dari waktu
ke waktu. Kompleksitas konteks yang organisatoris mungkin berbeda dari
organisasi yang memerlukan gaya kepemimpinan berbeda pada waktu yang sama.
Meskipun demikian, ada beberapa
perbedaan penting di dalam konteks kelembagaan yang berdampak pada gaya
kepemimpinan. Penyimpangan tajam atau jelas adalah kebutuhan bersaing untuk
sumber daya, di dalam kebutuhan memposisikan kembali dalam kaitan dengan
pengguna dan stakeholders. Studi
analisis kasus mengungkapkan rektor dan para manajer senior merancang kembali
insrastruktur dan batasan-batasan organisatoris sepanjang bentuknya serupa
dalam rangka menghadapi kompleksitas bisnis pendidikan tinggi.
Artikel lainnya yg relevan:
No comments:
Post a Comment