Monday, March 18, 2013

Kepemimpinan Universitas bagian 2



Perubahan Budaya Organisasi Universitas

Beberapa butir penting tentang reorganisasi adalah: (a) perubahan yang dibangun oleh pimpinan eksekutif sebelumnya (ciptaan unit perencanaan); dan (b) memberi kendali strategis yang lebih besar bagi para manajer senior terutama di dalam mengarahkan dan memandu kegiatan fakultas sesuai posisinya.
Suatu contoh yang terjadi di universitas A, rektor merasa membutuhkan desain restrukturisasi besar guna mengikis sifat baron atau raja di fakultas. Dalam pandangan rektor, para dekan terlalu kuat budaya akademiknya dan berpotensi subyektif dan memiliki otoritas pimpinan eksekutif. Tujuan mengikis sifat baron tersebut adalah mengarahkan kegiatan operasi ke jalur yang mendekati aspirasi universitas.
Contoh lain di universitas B, sebuah institusi yang relatif kecil dengan sebuah fokus portofolio dari kegiatan utama yang berkaitan dengan pengajaran, meskipun sukses dengan dana, penerapan dan riset. Rektor mwlihat suaru tantangan uatama dari kepemimpinannya untuk meningkatkan cutra universitas di masyarakat. Desain ulang dari praktek internal dan aturan guna mengkomunikasikan visi universiatas sebagai pada pusat sosial regional dan pembangunan ekonomi yang esensial.
Ilustrasi dari institusi lain adalah universitas C dan D. manajemen ini disediakan oleh kebijakan dewan Moneter yang mempromosikan penelitian pilihan. Pada unversitas C, pendahulu menunujukan kekuatan yang sama dengan narasi universitas sebelumnya. Dalam hal ini terdapat beraneka aspek instiutusi yang tidak dapat menyandarkan diri terlalu berat pada riset diluar pengajaran atau seabaliknya, dan masalah  kepemimipinan secara bersamaan memberi sesuatu arti pengarahan yang terhadap timbulnya keberaganmman.
Contoh sebelumnya menggambarkan berbagai kesulitan yang berkaitan dengan terminologi seperti kepemimpinan manajerial dan akademis. Pada kenyataannya, tidak satu pun dari perencanaan infrastruktur  fungsional atatu manajerial; yang dilibatkan langsung didalam urusan akademis. Guna memastikan hal itu, rektor perlu dilibatkan dalam pengambilan kpeutusan untuk modul guna mengadopsi suatu sistem atau untuk menghubungkannya dengan kebutuhan dan permintaan tentang  kebutuhan pendidikan tinggi. Pada setiap kasus, perencanaan infra stuktur diharapakan dapat menjamin koneksi opersasi antar unit yang lebij baik di universitas atau fakultas. Tetapi intervensi didalam berabgai hal pengendalian mutu atau perencanaan studi baru, penegmabangan mengajar atau organisasi dan pelaksanaan riset menjadi tertinggal. Rektor harus proaktif mewujudkan operasi infrastruktur dalam rangka meningkatkan kendali dan pembaruan, hasil riset menyatakan bahwa untuk memahami konsep kepemimipianan akademis memerlukan suatu fokus lebih mendekati peran rektor didalam mengubah kultur organisasi yang luas. Hal ini merupakan suatu proses pertamabahan dan pembaruan, bukannya perubahan bentuk.
Kebijakan perlu tetap dipantau guna keberhasilan, selanjutnya perlu menyeimbangkan antara korporat dan unit operasi. Saat mengusulkan, antara pusat dan unit kemungkinan bergeser dalam percobaan perubahan di dalam prioritas organisasi. Bagaimanapun, disamping status pimpinan eksekutif, pendorong kearah  perubahan yang tersedia untuk rektor terbatas. Dengan semangat memotivasi, pertemuan dengan para staff senior akan memperoleh suatu kesempatan untuk menggunakan pengaruh dibidang akademis. Rektor aktif dilibatkan dalam semua pertemuan guru besar, dekan/ ketua dan staf senior lainnya. Membangun keahlian dan gambaran riset di universutas akan menghasilkan nama besar denngan menata  kembali unit yang bersangkutan, baik menggabungkan atatupun menutup.
Dalam konteks kolegial dan kultur institusi profesional, rektor menyelami perannya sebagai managing director. Peran seperti itu perlu hanya oleh karena cara mengalakasi sumber dayanya. Menggunakan pengaruh juga dilihat sebagai suatu alat yang sangat dibutuhkan pada pekerjaan itu. Seperti contoh sebelumnya, nama besar dengan reputasi riset puncak akan selalu dicari. Mempengaruhi  kelompok dan pikiran kolegial adalah dugaan meragukan didalam suatu universitas modern. Dengan mempertahankan peran simbolis yang kuat didalam penguasaan instituasi internal merupakan suatu kendala yang kuat atas tindakan rektor. Majelis tinggi universitas tua dan baru, mengemukakan bahwa pada pokoknya adalah kolektif yang akademis. Walaupun secara nominal pimpinan eksekutif, rektor memberi perhatian besar kepada inti dan pikiran keseluruhan akademis. Hubungan secara formal dinyatakan dalam peran rektor yang memimpin pertemuan majleis tinggi akademis.
Universitas E menerangkan dengan contoh pendekatan atas masalah itu, rektor harus menjelaskan bahwa ada suatu kebutuhan untuk proses pembaruan yang radikal atas kultur akademis. Didalam pandangannya, kepemimpinan akademis melibatkan rektor dalam mengkomunikasikan, memberi kemudahan dan memusatkan aktivitas. Suatu bagian integral akademis untuk mendidik adalah kenyataan politis lingkungan; memandu kearah kemudahan untuk menjadi mampu dan melihat diri  mereka seperti bagian dari dunia. Walaupun rektor mwnjelaskan bahwa dalam samaran tradisonal hal itu tidak sesuai lagi bagi lingkungan. Dalam posisi rektor. Ia ingin kultur kolegial bersatu sebagai bagian dari tradisi yang memberi kesempatan untuk mendiskusikan isu sebelum pembuatan keputusan. Sesudah itu bagaiamanapun kolegial memerlukan pendefinisian ulang untuk memberi arti bagi para rekan kerja yang menantang, meskipun tanggung jawang jawab kolektif diterima untuk keputusan terakhir.
Rektor mengakui bahwa pendefinisian ulang kolegial menjadi suatu tantangan utama kepada kultur tradisional di universitas. Hal ini dilaksanakan secara terbuka dengan berbagi informasi kepada rekan kerja kecuali jika ada pertimbangan lain untuk memelihara kerahasiaan. Komunikasi yang dikembangkan pada suatu tingkatan formal telah dipertimbangkan dan kembali didiskusikan dimana rektor mencoba menggerakan batasan antara bidang fungsional dan yang terlibat dalam suatu proses  penguraian. Pertemuan pengarahan singkat diatur dalam urutan materi agenda yang akan dibahas dengan anggota regu senior, karena bentuk kebijakan dan pembagian kerja disetujui dalam kaitan dengan materi spesifik. Persepsi kekuatan dan kelemahan majelis tinggi dan variasi akademis bervariasi, dua sketsa menggambarkan pendekatan khas yang diadopsi dari hasil rapat. Contoh ini menekankan usaha rektor untuk memastikan komunikasi terbuka dengan para akademisi. Pengamatan atas pertemuan majelis tinggi mengkomfirmasikan bahwa permintaan pertemuan seperti itu  merupakan kemampuan pemimpin eksekutif, tidak hanya untuk membantah suatu kasus atau membujuk para anggota, tetapi untuk kecukupan sensasi untuk mengatehui suatu isu. Hal ini merupakan unsur gaya kepemimpinana politis dan kharismatik, membuat satu contoh praktek transformasi gaya kepemimpinana yang nyata. Seorang rektor, meski mampu secara efektif memimpin pertemuan majlis tinggi dan badan akademik, tidak akan bertahan lama tanpa kemamapuan bekerja sama antar pertemuan formal..
Atas pertimbangan budaya atau pertimbangan lain, sedikit pimpinan eksekutif dalam studi kasus institusi mengakui berteori dengan gaya kepemimpinannya. Seorang pemimpin tidak benar-benar memikirkan berbagai hal yang sebetulnya, hanya mencoba dan merasa cocok dengan pekerjaannya. Kesadaran atas konteks kelembagaan, tempat organisasi di dalam lingkungan yang lebih luas tentang pendidikan lebih tinggi dan cakrawala ekonomi, sosial dan skala teknologi adalah tinggi. Hubungan dengan dunia luar harus luas, seperti halnya ekspose pada sudut pandang institusi, akademis dan peserta didik. Para pemimpin di dalam studi kasus ini sangat sadar akan kebutuhan untuk perubahan.
Penggolongan gaya kepemimpinan baik transformasional maupun tanggapan menyediakan beberapa pengertian yang mendasar ke dalam pendekatan kepemimpinan. Hal yang relevan adalah usaha rektor untuk menetapkan derajat tingkat keharmonisan antara suatu perubahan lingkungan eksternal yang terus menerus dan status organisasi, cara melakukan dan berpikir. Penafsiran terhadap hal itu penting karena bagaimanapun juga, mereka menggunakan suatu pengaruh kuat atas mengapa rektor melakukan penyesuaian dan perubahan. Kedua bidang tindakan kepemimpinan manajerial dan akademis secara luas kini merupakan pola batasan dan peluang yang berbeda. Batasan-batasan antara kedua bidang sedang bergeser, lemah dan kadang-kadang tak dapat dilihat.  Hal itu jelas dari hasil riset universitas, rektor harus mampu menggunakan kedua transformasi dan gaya manajemen dari waktu ke waktu. Kompleksitas konteks yang organisatoris mungkin berbeda dari organisasi yang memerlukan gaya kepemimpinan berbeda pada waktu yang sama.
Meskipun demikian, ada beberapa perbedaan penting di dalam konteks kelembagaan yang berdampak pada gaya kepemimpinan. Penyimpangan tajam atau jelas adalah kebutuhan bersaing untuk sumber daya, di dalam kebutuhan memposisikan kembali dalam kaitan dengan pengguna dan stakeholders. Studi analisis kasus mengungkapkan rektor dan para manajer senior merancang kembali insrastruktur dan batasan-batasan organisatoris sepanjang bentuknya serupa dalam rangka menghadapi kompleksitas bisnis pendidikan tinggi.

Artikel lainnya yg relevan:

No comments:

Post a Comment