PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH DAN NU
Faktor penentu (determinant) sehingga Muhammadiyah dan
NU mampu mempertahankan gerakan dan perannya dalam elan sejarah yang begitu panjang sampai sekarang adalah: pertama, keduanya konsisten berpegang
teguh pada tradisi keislaman, yaitu keyakinan pada doktrin yang tertuang di
dalam Alquran dan sunah, serta perbedaan paham yang dikembangkan sebagai interpretasi
darinya. Kedua, keduanya memiliki
sikap positif terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, sekalipun dalam tingkat responsivitas yang berbeda pada
setiap kasusnya. Hal ini tercermin pada langkah-langkah yang ada, baik persoalan
politik, ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan.
NU sering
dikategorikan sebagai gerakan tradisional, sementara Muhammadiyah sering
disebut sebagai gerakan modernis.
Belakangan
ini kedua gerakan Islam itu dalam arti positif sering melakukan over lapping dalam mengarahkan
gerakannya pada sektor pendidikan. Contohnya, NU pada pondok pesantren,
sementara Muhammadiyah pada pendidikan umum. Namun akhir-akhir ini Muhammayah
juga berobsesi ingin memiliki pendok pesantren yang representatif. Dan NU juga
ingin memperluas pendidikan umum.
Sekalipun
kedua gerakan Islam ini tidak secara eksplisit menyebutkan Islam sebagai bagian
dari namanya, namun semua tahu bahwa keduanya berstatus sebagai organisasi
massa Islam (jam’iyyah), serta
berperan sebagai gerakan sosial keagamaan yang berakidah Islam. Hal ini
tercermin dalam tujuannya. Untuk Muhammadiyah: “Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur,
diridhai oleh Allah SWT”. Sedangkan NU: “Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan
ahlussunah wal jama’ah dan mengikuti
salah satu mazhab empat di tengah-tengah kehidupan, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Harus
diakui bahwa Muhammadiyad dan NU telah terlambat memulai tradisi kualitatif
dalam menyelenggarakan pendidikan. Ini berbeda dengan sekolah-sekolah Kristen
yang telah memulai tradisi kualitatif zaman kolonial yang secara politis memang
mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial melalui politik
diskriminatifnya.
Sedang
bagi Muhammadiyah dan NU, pendidikan yang diselenggarakan adalah bersifat
populis yang penting menampung umat sebanyak-banyaknya. Hal ini terutama
terjadi setelah kemerdekaan dan berlanjut hingga kini. Dan ini nampak sejalan
dengan kemauan politik pemerintah-yang berusaha membuka kesempatan yang
seluas-luasnya-bagi seluruh warga negara sebagai komitmennya terhadap cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal
apresiasi doktrinal, patut disimak analisis Harun Nasution tentang kajian antar
agama dan produktivitas. Bahwa apresiasi doktrinal teologis tertentu mempunyai
pengaruh besar terhadap produktif atau tidaknya seseorang. Selanjutnya, ia
membuat ilustrasi dua aliran Islam klasik. Pertama,
falsafah Fatalisme, Jabariyah
atau qadha-qadar yang kurang
mendukung produktivitas penganutnya, dan kedua,
Qadariyah atau kebebasan manusia dalam berkemauan dan berbuat yang
mendorong produktivitas.
No comments:
Post a Comment