Pendidikan
Islam untuk Produktivitas
Menurut
Sanapiah Faisal pendidikan adalah institusi teleologis, di sini dituntut
kemampuan proyektif dari pendidikan dalam menangkap kecenderungan-kecenderungan
yang akan terjadi di masa depan.
Dalam
kajian teoretik seringkali diperdebatkan, apakah perubahan atau dinamika dalam
masyarakat merupakan perubahan budaya (cultural
change) atau perubahan sosial (social
change). Yang pertama berkaitan
dengan perubahan yang berhubungan dengan ide-ide dan nilai-nilai yang dianut
oleh kelompok masyarakat. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan perubahan di
bidang pola hubungan dalam masyarakat dan perkembangan kelembagaannya. Kedua
perubahan ini mempunyai hubungan timbal-balik.
Di sisi
lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi baik modal maupun manusia (human and capital investmen) untuk membantu peningkatan
keterampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa
depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya .
Karena
itu, tidak mengherankan apabila pendidikan selalu dipertimbangkan nilai
imbalannya (rate of return), berapa
besar investasi serta keuntungan atau evektivitas yang akan diperolehnya
Ahmad
Watik Pratiknya lebih jelas menggambarkan corak dan ciri-ciri masyarakat
sekarang dan masa yang akan datang. Pertama,
terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologi ditandai dengan
adanya pembakuan kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan
efisiensi dan produktivitas.
Kedua, kecenderungan
perilaku masyarakat yang semakin fungsional. Dalam masyarakat seperti ini
terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari affective ke effective
neutral, yakni perubahan dari hubungan yang mempribadi dan emosional ke
hubungan yang tidak mempribadi dan berjarak.
Ketiga, masyarakat padat
informasi. Dalam masyarakat seperti ini, keberadaan seseorang sangat ditentukan
oleh berapa banyak dan sejauh mana dia menguasai informasi.
Keempat, kehidupan yang
makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan
diatur oleh sistem yang terbuka (open
system).
Dalam
tataran normatif-filosofis, hingga kini persoalan Islam selalu berkutat pada
perdebatan semantik, apakah pendidikan Islam secara istilahi menggunakan tarbiyah,
ta’dib, atau ta’lim. Dari segi
muatan (content), pendidikan Islam
masih dihadapkan pada persoalan dualisme-dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum.
Karena
itu, pelaku pendidikan Islam dituntut segera melakukan reorientasi. Dalam hal
yang bersifat normatif-filosofis, reorientasi dilakukan dengan cara menguji
ulang terhadap nuktah-nuktah ilahiyah dalam Alquran yang berhubungan dengan
persoalan pendidikan seperti tentang manusia, ilmu, nilai yang berhubungan
dengan tujuan pendidikan dan lain sebagainya.
Selanjutnya,
pada tataran orientasi kulturalnya, reorientasi yang perlu dilakukan adalah
perlunya mempertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam. Dalam gerak
transformasi sosial, kultural dan struktural yang demikian cepat dan bersifat
universal seperti sekarang ini pendidikan Islam tidak bisa lagi bertahan pada
posisi dan perannya yang bersifat tradisional yang hanya menjalankan fungsi
konservator warisan budaya masa lalu.
Selain
itu, pendidikan Islam dituntut melakukan fungsi yang bersifat reflektif dan
progresif. Dalam fungsi yang pertama, pendidikan Islam harus mampu
menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Sedang dalam
fungsi yang kedua pendidikan Islam dituntut mampu memperbaharui dan
mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan. Pada fungsi kedua ini
pendidikan Islam menjalankan kegiatan transformasi.
No comments:
Post a Comment