GLOBALISASI PENDIDIKAN
Latar Belakang
Pada awal kemunculannya, istilah ini lebih di apresiasi
sebagai gambaran yang melukiskan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Pada era globalisasi, dengan menggunakan teknologi, orang dapat berkomunikasi
dan memperoleh informasi dari belahan bumi manapun, tidak peduli berapa
jaraknya, dalam waktu yang singkat. Beberapa jenis teknologi yang banyak
mempengaruhi gaya hidup menjadi mudahantara lain: satelit, telepon, handphone,
komputer dan internet.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dibidang
lain yakni perhubungan dan angkutan, terjadi penemuan teknologi angkutan yang
canggih dalam bentuk kereta-api, kapal laut dan pesawat terbang. Hal ini
mendorong mobilitas manusia dan barang menjadi lancar dan cepat, sehingga arus
lalu lintasnya menjadi cepat dan lancar pula. Ini mendorong lembaga perdagangan
untuk melakukan perdagangan lintas negara. Dalam kondisi seperti ini dunia
terasa menjadi sempit. Gambaran dunia
mini yang sebelumnya menjadi alat peraga atau pelengkap/aksesoris meja
eksekutif, yakni ‘globe’ hadir
secara real.
Dibidang pendidikan,
penemuan teknologi komunikasi dan informasi tersebut memberikan sumbangan yang
luar biasa. Dengan kehadiran teknologi dan penerapannya di bidang pendidikan,
melahirkan momentum revolusi ke-4 di bidang pendidikan.[1]
Revolusi keempat ini ditandai dengan proses kegiatan pembelajaran terbuka dan
jarak jauh (open and distance learning)
dengan alat bantu telepon dan atau internet. Pada era ini orang dapat
memperoleh informasi dan pengetahuan
dari manapun hanya dengan membuka web-site tertentu dan melakukan search
engine.
Revolusi yang pertama di bidang pendidikan, ditandai dengan
peristiwa dimana orang tua mulai mendelegasikan tanggung jawab mendidik anaknya
kepada guru di sekolah, disini proses belajar-mengajar berpindah dari rumah
(orang tua) ke sekolah (guru). Pada revolusi kedua ditandai dengan ditemukannya
bahwa tulisan, sehingga pembelajaran tidak bersifat oral semata. Dan pada
revolusi ketiga ditandai dengan ditemukannya
mesin cetak, sehingga memungkinkan pengetahuan ditulis, dan siswa atau
anak didik mulai dapat belajar mandiri dengan menggunakan buku sebagai sumber
belajar.[2]
Bersamaan dengan terjadinya Revolusi ke-4 dalam pendidikan
secara Internasional terjadi upaya untuk mempermudah interaksi dan transaksi
perdagangan. Hal ini dilakukan dengan membuat perjanjian dan kesepakatan kerja
sama dibidang tarif dan anti dumping. Tujuannya adalah mempermudah mobilitas
perdagangan antar negara tanpa dihalangi oleh peraturan pemerintah suatu negara
yang mengikat (restricted). Output
dari upaya tersebut adalah penandatanganan dan pemberlakuan WTO, AFTA, dan APEC.
Dalam konteks perjanjian perdagangan dunia yang tercakup
dalam WTO (world trade organization),
maka ada dua macam kesepakatan utama, yakni kesepakatan tentang perdagangan dan
tarif, serta tentang jasa. Bentuk kesepakatan
yang tertama tertuang di dalam agenda GATT (general agrement on trade and tariff); sementara bentuk kesepakan
yang kedua tertuang di dalam GATS (general
aggrement on trade and service).
Kehadiran kesepakatan tentang WTO, lembaga-lembaga kerjasama
multi lateral, dan piranti teknologi seperti telepon, dan komputer menjadi
instrumen dari globalisasi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia
termasuk dan paling utama adalah pendidikan.
Lembaga pendidikan akan mengikuti bentuk lembaga bisnis,
industri dan perdagangan. Multi National Corporation, bukan hanya ada dalam
bidang perdagangan dan industri tetapi juga akan ada di bidang pendidikan. Hal
ini tentu dengan berbagai hambatan, dan permasalahan yang melingkupinya.
Dari
uraian latar belakang tersebut, terlihat berbagai permasalah yang tercakup
dalam ‘globalisasi pendidikan’. Hal tersebut secara rinci dapat di sebutkan
sebagai berikut: hadirnya lembaga pendidikan dan pelatihan asing di tanah air
kita, atau hadirnya lembaga pendidikan dan pelatihan Indonesia di luar negeri,
terjalinnya kerja sama antar perguruan tinggi Indonesia dengan perguruan tinggi
asing, lahirnya pola ‘franchise’ dalam pendidikan dimana pendidikan di
Indonesia mengambil kurikulum dan standar mutu dan manajemen dari pendidikan
luar negeri, di susunnya standardisasi pendidikan internasional, dan kurikulum
internasional.
Secara terminologis, hingga kini belum terdapat difinisi dari
‘globalisasi pendidikan’. Karena globalisasi adalah istilah yang merujuk pada
seluruh aspek kehidupan manusia yang saling berhubungan dan tidak mengenal
batas-batas geografis, ataupun ikatan primordial seperti suku, ras dan agama.
Merujuk dari pengertian globalisasi tersebut maka, globalisasi pendidikan dapat
didefinisikan sebagai praktek penyelenggaraan
pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang tidak mengenal batas geografis
negara. Dengan pengertian seperti ini lembaga pendidikan asing dapat
mnyelenggarakan kegiatan dan program pendidikan di negara lain, dan begitu pula
sebaliknya.
Dedi Supriadi menyebut kondisi seperti diatas dengan istilah
‘Internasionalisasi Pendidikan’. Menurut beliau, internasionalisasi
pendidikan mengandung arti bahwa “penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan
dengan menembus batas negara melalui jaringan kerjasama, pembukaan cabang lembaga pendidikan yang
berbasis di suatu negara di negara lain,
atau pembukaan akses siswa/mahasiswa domestik ke lembaga pendidikan internasional”[3].
Dalam makalah ini kami menggunakan istilah globalisasi
pendidikan yang merujuk pada pengertian
tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa proses tersebut tercipta
karena dipicu oleh arus globalisasi.
Pemicu Globalisasi Pendidikan
Secara sederhana
beberapa faktor yang menjadi pemicu lahirnya globalisasi pendidikan
adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama Internasional dan Regional.
Berlakunya WTO, APEC dan AFTA akan menuntut keterampilan dan
kemampuan bersaing untuk menjalani prinsip-prinsip kehidupan global yang biasa
dikenal dengan istilah ‘the golden rule’. Disini lembaga pendidikan diposisikan
sebagai tempat yang diharapkan dapat merubah (meng-up date) pikiran, wawasan, dan membentuk sikap, perilaku dan
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan ‘the golden rule’. The Golden rule adalah seperangkat
nilai yang bersifat universal dan humanis
yang diyakini dapat menopang peradaban manusia yang maju, damai dan
beradab[4].
Fakta lain dari berlakunya WTO, APEC, DAN AFTA, adalah
lahirnya Multi National Cotporation, sebagai
instrumen pelaksana dari kegiatan perdangangan barang dan jasa lintas
negara dan benua. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut membutuhkan sumber
daya manusia (hman resources) yang unggul dan secara Institusi telah terbakukan
mutunya (standardized services and goods).
Dan untuk mencetak sumber daya manusia seperti ini, tidak dapat diserahkan
kepada lembaga pendidikan konvensional yang ada di setiap negara. Perusahaan
MNC memerlukan kualifikasi sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan itu
hanya dilahirkan oleh lembaga pendidikan pendidikan yang bonafide. Disinilah
lahir tuntutan untuk membangun lembaga pendidikan bermutu bagi kebutuhan
industrinya. Karena perkembangan yang pesat dan demi efisiensi dan alasan
lainnya (alasan politik untuk merekrut sumber daya manusia dari penduduk
pribumi) maka lembaga tersebut mendirikan
lembaga pendidikan di negara dimana bisnis dan industrinya beroperasi).
2. Penemuan Teknologi
Informasi dan komunikasi.
Beberapa piranti teknologi informasi seperti telepon,
celular, handphone, handy-camera, komputer, printer, dan modem, telah membawa
revolusi besar dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk dibidang
pendidikan. Teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional dapat disulap
menjadi teknologi pendidikan.
Dengan penggunaan teknologi tersebut, maka paling kurang ada
dua dampak langsung terhadap dunia pendidikan. Pertama; berbagai teks materi ilmu pengetahuan (content) dapat disebar-luaskan secara
cepat ke berbagai penjuru dunia. Hal ini akan melahirkan perobahan dan
pertambahan wawasan dan pengetahuan masyarakat secara cepat. Kedua;
hadirnya sistem dan program pendidikan negara lain secara virtual
melalui layar komputer. Ini memungkinkan seseorang belajar secara on-line
dengan menggunakan internet dengan pilihan yang bebas dan kaya.
Hal ini secara
langsung menggugat peran lembaga pendidikan di suatu negara. Dan merupakan
intervensi atas eksistensi lembaga pendidikan suatu negara.
3. Gerakan Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Gerakan ini menjadi semakin populer dan efektif ditengah arus
globalisasi. Hal ini karena muatan dari demokrasi dan hak asasi manusia
bersifat universal, sehingga tuntutan dan perjuangan untuk menegakkannya
menjadi keharusan universal dan dijunjung tinggi oleh segenap umat manusia.
Dimana –mana terlihat bahwa gerakan yang mengatas namakan demokrasi dan hak
asasi manusia selalu mendapat dukungan internasional. Contoh; eksistensi
masyarakat aborigin untuk mendapatkan pendidikan dan melestarikan budayanya,
menjadi agenda bersama LSM internasional. Demikian pula misalnya tuntutan untuk
memberantas buta huruf (illiteracy) menjadi agenda bersama negara di dunia
serta lembaga-lembaga swasta.
Inti dari gerakan demokrasi dan hak asasi manusia adalah
penegasan eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan sosial yang merdeka.
Ia bertujuan untuk menjamin kebebasan berkreasi dalam rangka merealisasi
potensinya sebagai manusia. Sehingga dalam konteks demokrasi dan HAM, maka
setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan dirinya melalui proses
pembelajaran, pelatihan, maupun bentuk pendidikan lainnya.
Setiap individu bebas memilih sekolah apa dan dimana, belajar
apa dengan siapa dan diajar oleh siapa. Regulasi yang restriktif terhadap hal
diatas akan diklaim sebagai melanggar demokrasi dan HAM.
4. Peningkatan status
sosial ekonomi masyarakat.
Suatu masyarakat yang status sosial-ekonominya tinggi,
mempunyai pilihan yang beragam atas sarana dan prasarana kehidupan. Mereka
bebas memilih bentuk hiburan, alat transportasi, bentuk rumah dan pakaian. Dan di bidang pendidikan mereka bebas memilih
sekolah yang berkualitas, dan memenuhi tuntutan selera dan gaya hidupnya.
Bahkan dalam hal memilih sekolah, masyarakat yang kaya cenderung berpikir untuk
bersekolah pada lembaga yang menjamin lestarinya status mereka. Mereka tidak
mau terikat pada batas ingkungan geografis.
[1] Dr. Arief S. Sadiman,
Technology in Education,
(Proceedings the Third Symposium on open learning, Bali, 1997), p. VI-5
[2]
Ibid.
[3] Dedi Supriadi, Internasionalisasi Pendidikan, (makalah pada Konvensi Nasional IV, Jakarta,
2000), p.1
[4] Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree, (New York, Farrar, Straus and Giroux, 1999),
pp. 86-87.
No comments:
Post a Comment