Tuesday, March 5, 2013

Globalisasi Pendidikan



GLOBALISASI PENDIDIKAN
Latar Belakang
Pada awal kemunculannya, istilah ini lebih di apresiasi sebagai gambaran yang melukiskan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pada era globalisasi, dengan menggunakan teknologi, orang dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi dari belahan bumi manapun, tidak peduli berapa jaraknya, dalam waktu yang singkat. Beberapa jenis teknologi yang banyak mempengaruhi gaya hidup menjadi mudahantara lain: satelit, telepon, handphone, komputer dan internet.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dibidang lain yakni perhubungan dan angkutan, terjadi penemuan teknologi angkutan yang canggih dalam bentuk kereta-api, kapal laut dan pesawat terbang. Hal ini mendorong mobilitas manusia dan barang menjadi lancar dan cepat, sehingga arus lalu lintasnya menjadi cepat dan lancar pula. Ini mendorong lembaga perdagangan untuk melakukan perdagangan lintas negara. Dalam kondisi seperti ini dunia terasa menjadi  sempit. Gambaran dunia mini yang sebelumnya menjadi alat peraga atau pelengkap/aksesoris meja eksekutif, yakni ‘globe’ hadir secara real.
 Dibidang pendidikan, penemuan teknologi komunikasi dan informasi tersebut memberikan sumbangan yang luar biasa. Dengan kehadiran teknologi dan penerapannya di bidang pendidikan, melahirkan momentum revolusi ke-4 di bidang pendidikan.[1] Revolusi keempat ini ditandai dengan proses kegiatan pembelajaran terbuka dan jarak jauh (open and distance learning) dengan alat bantu telepon dan atau internet. Pada era ini orang dapat memperoleh informasi  dan pengetahuan dari manapun hanya dengan membuka web-site tertentu dan melakukan search engine.
Revolusi yang pertama di bidang pendidikan, ditandai dengan peristiwa dimana orang tua mulai mendelegasikan tanggung jawab mendidik anaknya kepada guru di sekolah, disini proses belajar-mengajar berpindah dari rumah (orang tua) ke sekolah (guru). Pada revolusi kedua ditandai dengan ditemukannya bahwa tulisan, sehingga pembelajaran tidak bersifat oral semata. Dan pada revolusi ketiga ditandai dengan ditemukannya  mesin cetak, sehingga memungkinkan pengetahuan ditulis, dan siswa atau anak didik mulai dapat belajar mandiri dengan menggunakan buku sebagai sumber belajar.[2]
Bersamaan dengan terjadinya Revolusi ke-4 dalam pendidikan secara Internasional terjadi upaya untuk mempermudah interaksi dan transaksi perdagangan. Hal ini dilakukan dengan membuat perjanjian dan kesepakatan kerja sama dibidang tarif dan anti dumping. Tujuannya adalah mempermudah mobilitas perdagangan antar negara tanpa dihalangi oleh peraturan pemerintah suatu negara yang mengikat (restricted). Output dari upaya tersebut adalah penandatanganan dan pemberlakuan WTO, AFTA, dan  APEC.
Dalam konteks perjanjian perdagangan dunia yang tercakup dalam WTO (world trade organization), maka ada dua macam kesepakatan utama, yakni kesepakatan tentang perdagangan dan tarif, serta tentang jasa. Bentuk kesepakatan  yang tertama tertuang di dalam agenda GATT (general agrement on trade and tariff); sementara bentuk kesepakan yang kedua tertuang di dalam GATS (general aggrement on trade and service).
Kehadiran kesepakatan tentang WTO, lembaga-lembaga kerjasama multi lateral, dan piranti teknologi seperti telepon, dan komputer menjadi instrumen dari globalisasi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dan paling utama adalah pendidikan.
Lembaga pendidikan akan mengikuti bentuk lembaga bisnis, industri dan perdagangan. Multi National Corporation, bukan hanya ada dalam bidang perdagangan dan industri tetapi juga akan ada di bidang pendidikan. Hal ini tentu dengan berbagai hambatan, dan permasalahan yang melingkupinya.
Dari uraian latar belakang tersebut, terlihat berbagai permasalah yang tercakup dalam ‘globalisasi pendidikan’. Hal tersebut secara rinci dapat di sebutkan sebagai berikut: hadirnya lembaga pendidikan dan pelatihan asing di tanah air kita, atau hadirnya lembaga pendidikan dan pelatihan Indonesia di luar negeri, terjalinnya kerja sama antar perguruan tinggi Indonesia dengan perguruan tinggi asing, lahirnya pola ‘franchise’ dalam pendidikan dimana pendidikan di Indonesia mengambil kurikulum dan standar mutu dan manajemen dari pendidikan luar negeri, di susunnya standardisasi pendidikan internasional, dan kurikulum internasional.

Pengertian Globalisasi Pendidikan
Secara terminologis, hingga kini belum terdapat difinisi dari ‘globalisasi pendidikan’. Karena globalisasi adalah istilah yang merujuk pada seluruh aspek kehidupan manusia yang saling berhubungan dan tidak mengenal batas-batas geografis, ataupun ikatan primordial seperti suku, ras dan agama. Merujuk dari pengertian globalisasi tersebut maka, globalisasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai  praktek penyelenggaraan pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang tidak mengenal batas geografis negara. Dengan pengertian seperti ini lembaga pendidikan asing dapat mnyelenggarakan kegiatan dan program pendidikan di negara lain, dan begitu pula sebaliknya.
Dedi Supriadi menyebut kondisi seperti diatas dengan istilah ‘Internasionalisasi Pendidikan’. Menurut beliau, internasionalisasi pendidikan  mengandung arti bahwa “penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan menembus batas negara melalui jaringan kerjasama,  pembukaan cabang lembaga pendidikan yang berbasis  di suatu negara di negara lain, atau pembukaan akses siswa/mahasiswa domestik ke lembaga pendidikan  internasional[3].
Dalam makalah ini kami menggunakan istilah globalisasi pendidikan  yang merujuk pada pengertian tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa proses tersebut tercipta karena dipicu oleh arus globalisasi. 

Pemicu Globalisasi Pendidikan
Secara sederhana  beberapa faktor yang menjadi pemicu lahirnya globalisasi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama Internasional dan Regional.
Berlakunya WTO, APEC dan AFTA akan menuntut keterampilan dan kemampuan bersaing untuk menjalani prinsip-prinsip kehidupan global yang biasa dikenal dengan istilah ‘the golden rule’. Disini lembaga pendidikan diposisikan sebagai tempat yang diharapkan dapat merubah (meng-up date) pikiran, wawasan, dan membentuk sikap, perilaku dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan ‘the golden rule’.        The Golden rule adalah seperangkat nilai yang bersifat universal dan humanis  yang diyakini dapat menopang peradaban manusia yang maju, damai dan beradab[4].  
Fakta lain dari berlakunya WTO, APEC, DAN AFTA, adalah lahirnya Multi National Cotporation, sebagai  instrumen pelaksana dari kegiatan perdangangan barang dan jasa lintas negara dan benua. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut membutuhkan sumber daya manusia (hman resources) yang unggul dan secara Institusi telah terbakukan mutunya (standardized services and goods). Dan untuk mencetak sumber daya manusia seperti ini, tidak dapat diserahkan kepada lembaga pendidikan konvensional yang ada di setiap negara. Perusahaan MNC memerlukan kualifikasi sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan itu hanya dilahirkan oleh lembaga pendidikan pendidikan yang bonafide. Disinilah lahir tuntutan untuk membangun lembaga pendidikan bermutu bagi kebutuhan industrinya. Karena perkembangan yang pesat dan demi efisiensi dan alasan lainnya (alasan politik untuk merekrut sumber daya manusia dari penduduk pribumi) maka lembaga tersebut  mendirikan lembaga pendidikan di negara dimana bisnis dan industrinya beroperasi).
2. Penemuan  Teknologi Informasi dan komunikasi.
Beberapa piranti teknologi informasi seperti telepon, celular, handphone, handy-camera, komputer, printer, dan modem, telah membawa revolusi besar dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk dibidang pendidikan. Teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional dapat disulap menjadi teknologi pendidikan.
Dengan penggunaan teknologi tersebut, maka paling kurang ada dua dampak langsung terhadap dunia pendidikan. Pertama; berbagai teks materi ilmu pengetahuan (content) dapat disebar-luaskan secara cepat ke berbagai penjuru dunia. Hal ini akan melahirkan perobahan dan pertambahan wawasan dan pengetahuan masyarakat secara cepat. Kedua;  hadirnya sistem dan program pendidikan negara lain secara virtual melalui layar komputer. Ini memungkinkan seseorang belajar secara on-line dengan menggunakan internet dengan pilihan yang bebas dan kaya.
 Hal ini secara langsung menggugat peran lembaga pendidikan di suatu negara. Dan merupakan intervensi atas eksistensi lembaga pendidikan suatu negara.
3. Gerakan Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Gerakan ini menjadi semakin populer dan efektif ditengah arus globalisasi. Hal ini karena muatan dari demokrasi dan hak asasi manusia bersifat universal, sehingga tuntutan dan perjuangan untuk menegakkannya menjadi keharusan universal dan dijunjung tinggi oleh segenap umat manusia. Dimana –mana terlihat bahwa gerakan yang mengatas namakan demokrasi dan hak asasi manusia selalu mendapat dukungan internasional. Contoh; eksistensi masyarakat aborigin untuk mendapatkan pendidikan dan melestarikan budayanya, menjadi agenda bersama LSM internasional. Demikian pula misalnya tuntutan untuk memberantas buta huruf (illiteracy) menjadi agenda bersama negara di dunia serta lembaga-lembaga swasta.
Inti dari gerakan demokrasi dan hak asasi manusia adalah penegasan eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan sosial yang merdeka. Ia bertujuan untuk menjamin kebebasan berkreasi dalam rangka merealisasi potensinya sebagai manusia. Sehingga dalam konteks demokrasi dan HAM, maka setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan dirinya melalui proses pembelajaran, pelatihan, maupun bentuk pendidikan lainnya.
Setiap individu bebas memilih sekolah apa dan dimana, belajar apa dengan siapa dan diajar oleh siapa. Regulasi yang restriktif terhadap hal diatas akan diklaim sebagai melanggar demokrasi dan HAM.
4.  Peningkatan status sosial ekonomi masyarakat.
Suatu masyarakat yang status sosial-ekonominya tinggi, mempunyai pilihan yang beragam atas sarana dan prasarana kehidupan. Mereka bebas memilih bentuk hiburan, alat transportasi, bentuk rumah dan pakaian.  Dan di bidang pendidikan mereka bebas memilih sekolah yang berkualitas, dan memenuhi tuntutan selera dan gaya hidupnya. Bahkan dalam hal memilih sekolah, masyarakat yang kaya cenderung berpikir untuk bersekolah pada lembaga yang menjamin lestarinya status mereka. Mereka tidak mau terikat pada batas ingkungan geografis.


[1] Dr. Arief  S. Sadiman,  Technology in Education, (Proceedings the Third Symposium on open learning, Bali, 1997), p. VI-5
[2] Ibid. 
[3] Dedi Supriadi, Internasionalisasi Pendidikan,  (makalah pada Konvensi Nasional IV, Jakarta, 2000), p.1
[4] Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree,  (New York, Farrar, Straus and Giroux, 1999), pp. 86-87.

No comments:

Post a Comment