Monday, April 15, 2013

Pemicu Globalisasi Pendidikan



Secara sederhana  beberapa faktor yang menjadi pemicu lahirnya globalisasi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama Internasional dan Regional.
Berlakunya WTO, APEC dan AFTA akan menuntut keterampilan dan kemampuan bersaing untuk menjalani prinsip-prinsip kehidupan global yang biasa dikenal dengan istilah ‘the golden rule’. The Golden rule adalah seperangkat nilai yang bersifat universal dan humanis  yang diyakini dapat menopang peradaban manusia yang maju, damai dan beradab.[1] Disini lembaga pendidikan diposisikan sebagai tempat yang diharapkan dapat merubah (meng-up date) pikiran, wawasan, dan membentuk sikap, perilaku dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan ‘the golden rule’.
Fakta lain dari berlakunya WTO, APEC, DAN AFTA, adalah lahirnya Multi National Cotporation, sebagai  instrumen pelaksana dari kegiatan perdangangan barang dan jasa lintas negara dan benua. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut membutuhkan sumber daya manusia (hman resources) yang unggul dan secara Institusi telah terbakukan mutunya (standardized services and goods). Dan untuk mencetak sumber daya manusia seperti ini, tidak dapat diserahkan kepada lembaga pendidikan konvensional yang ada di setiap negara. Perusahaan MNC memerlukan kualifikasi sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan itu hanya dilahirkan oleh lembaga pendidikan pendidikan yang bonafide. Disinilah lahir tuntutan untuk membangun lembaga pendidikan bermutu bagi kebutuhan industrinya. Karena perkembangan yang pesat dan demi efisiensi dan alasan lainnya (alasan politik untuk merekrut sumber daya manusia dari penduduk pribumi) maka lembaga tersebut mendirikan lembaga pendidikan di negara dimana bisnis dan industrinya beroperasi).
2. Penemuan Teknologi Informasi dan komunikasi.
Beberapa piranti teknologi informasi seperti telepon, celular, handphone, handy-camera, komputer, printer, dan modem, telah membawa revolusi besar dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk dibidang pendidikan. Dalam konteks globalisasi penemuan baru dan inovasi yang berlangsung sangat cepat di bidang Teknologi Informasi telah melahirkan kekuatan dan kelompok baru yang dinamakan ‘The Electronic Herd’ yakni suatu kelompok orang atau perusahaan yang mempunyai jaringan bisnis luas dan melakukan transaksi secara cepat sehingga mampu mempengaruhi kondisi suatu negara atau bangsa. Alat bisnis dan transaksi mereka mengandalkan kabel dan layar komputer.[2]
Teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional dapat disulap menjadi teknologi pendidikan. Dengan penggunaan teknologi tersebut, maka paling kurang ada dua dampak langsung terhadap dunia pendidikan. Pertama; berbagai teks materi ilmu pengetahuan (content) dapat disebar-luaskan secara cepat ke berbagai penjuru dunia. Hal ini akan melahirkan perobahan dan pertambahan wawasan dan pengetahuan masyarakat secara cepat. Kedua; hadirnya sistem dan program pendidikan negara lain secara virtual melalui layar komputer. Ini memungkinkan seseorang belajar secara on-line dengan menggunakan internet dengan pilihan yang bebas dan kaya.
 Hal ini secara langsung menggugat peran lembaga pendidikan di suatu negara. Dan merupakan intervensi atas eksistensi lembaga pendidikan suatu negara.
3. Gerakan Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Gerakan ini menjadi semakin populer dan efektif ditengah arus globalisasi. Hal ini karena muatan dari demokrasi dan hak asasi manusia bersifat universal, sehingga tuntutan dan perjuangan untuk menegakkannya menjadi keharusan universal dan dijunjung tinggi oleh segenap umat manusia. Dimana –mana terlihat bahwa gerakan yang mengatas namakan demokrasi dan hak asasi manusia selalu mendapat dukungan internasional. Contoh; eksistensi masyarakat aborigin untuk mendapatkan pendidikan dan melestarikan budayanya, menjadi agenda bersama LSM internasional. Demikian pula misalnya tuntutan untuk memberantas buta huruf (illiteracy) menjadi agenda bersama negara di dunia serta lembaga-lembaga swasta.
Inti dari gerakan demokrasi dan hak asasi manusia adalah penegasan eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan sosial yang merdeka. Ia bertujuan untuk menjamin kebebasan berkreasi dalam rangka merealisasi potensinya sebagai manusia. Sehingga dalam konteks demokrasi dan HAM, maka setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan dirinya melalui proses pembelajaran, pelatihan, maupun bentuk pendidikan lainnya.
Setiap individu bebas memilih sekolah apa dan dimana, belajar apa dengan siapa dan diajar oleh siapa. Regulasi yang restriktif terhadap hal diatas akan diklaim sebagai melanggar demokrasi dan HAM.
4.  Peningkatan status sosial ekonomi masyarakat.
Suatu masyarakat yang status sosial-ekonominya tinggi, mempunyai pilihan yang beragam atas sarana dan prasarana kehidupan. Mereka bebas memilih bentuk hiburan, alat transportasi, bentuk rumah dan pakaian.  Dan di bidang pendidikan mereka bebas memilih sekolah yang berkualitas, dan memenuhi tuntutan selera dan gaya hidupnya. Bahkan dalam hal memilih sekolah, masyarakat yang kaya cenderung berpikir untuk bersekolah pada lembaga yang menjamin lestarinya status mereka. Mereka tidak mau terikat pada batas ingkungan geografis.
Kehadiran teknologi komunikasi, informasi dan angkutan, membawa perobahan besar-besaran terhadap struktur demokrafi dan sosial suatu bangsa. Banyak orang yang dulunya termasuk kelompok marginal dan tidak terpandang, dengan menguasai keterampilan tertentu dapat menjadi kaya raya. Hal ini menjadi fakta yang ramai diberitakan di era globalisasi sekarang. Fredman menamakan kelompok ini dengan istilah ‘groundswell[3].


[1] Ibid., pp. 86-87.
[2] Ibid., pp.93-119.
[3] Ibid.,  pp. 285-294.

Globalisasi atau Internasionalisasi Pendidikan


Secara terminologis, hingga kini belum terdapat difinisi dari ‘Globalisasi Pendidikan’. Karena globalisasi adalah istilah yang merujuk pada seluruh aspek kehidupan manusia yang saling berhubungan dan tidak mengenal batas-batas geografis, ataupun ikatan primordial seperti suku, ras dan agama. Merujuk dari pengertian globalisasi tersebut maka, globalisasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai  praktek penyelenggaraan pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang tidak mengenal batas geografis negara. Dengan pengertian seperti ini lembaga pendidikan asing dapat mnyelenggarakan kegiatan dan program pendidikan di negara lain, dan begitu pula sebaliknya.
Dedi Supriadi menyebut kondisi seperti diatas dengan istilah ‘Internasionalisasi Pendidikan’. Menurut beliau, internasionalisasi pendidikan  mengandung arti bahwa “penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan menembus batas negara melalui jaringan kerjasama,  pembukaan cabang lembaga pendidikan yang berbasis  di suatu negara di negara lain, atau pembukaan akses siswa/mahasiswa domestik ke lembaga pendidikan  internasional[1].
            Dalam makalah ini kami menggunakan istilah globalisasi pendidikan  yang merujuk pada pengertian tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa proses tersebut tercipta karena dipicu oleh arus globalisasi. Dalam konteks ini globalisasi dan internasionalisasi merupakan dua istilah yang mempunyai makna berbeda.
Globalisasi adalah proses penyatuan dunia karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sementara internasionalisasi (inter + national) merupakan proses penyatuan negara-negara di dunia karena kepentingan politik, dan perdamaian dunia. Proses hubungan dan interaksi yang terjadi dalam konteks Globalisasi adalah lebih kompleks. Dalam konteks komunikasi maka globalisasi dapat dipandang sebagai “globalization is the process of adapting software applications and web sites[2]. Artinya, globalisasi adalah proses menyesuaikan aplikasi perangkat lunak dan web-site.
Globalisasi dapat berbentuk individual, kelompok, institusi, dan negara. Fredman memaparkan tiga kekuatan utama yang berperan utama dalam sistem Globalisasi adalah Negara (nationstate) pasar (global market) dan individu[3]. Sementara dalam internasionalisasi bentuk hubungan adalah antara negara dengan negara  atau G to G (Government to government).
Secara rinci, bentuk hubungan dalam konteks globalisasi adalah sebagai berikut:
v Individual to Individual (i to i); adalah bentuk hubungan komunikasi dan interaksi  personal antara seseorang dengan orang lain  tanpa di batasi oleh wilayah geografis bahkan kedaulatan negara sekalipun. Seseorang yang berada atau berdomisili di Indonesia setiap saat dapat melakukan komunikasi, percakapan, dan berbagai transaksi dengan rekan, atau keluarganya yang berada di
belahan bumi lain seperti Amerika, Kanada atau Inggris, Mesir, dan lain-lain.Hal ini terutama dapat dimungkinkan dengan penggunaan teknologi komunikasi seperti telepon, seluler, internet (komputer+modem+telepon), dan kredit card.
v Individual to Corporation (i to c); yakni bentuk hubungan antara seseorang dengan kelompok bisnis atau perusahaan atau lembaga sosial tertentu dimanapun di dunia,contohnya: hubungan antara  koresponden, atau freelance di Indonesia dengan kantor berita BBC (British Broadcasting Corporation), atau VOA (Voice of America), ataupun hubungan antara volunterss di Indonesia dengan organisasi Green Peace atau Earth Actions (organisasi lingkungan internasional).
v Individual to Government (i to g); yakni bentuk hubungan antara seseorang dengan pemerintah negara tertentu di dunia. Contoh:
v Corporation to Corporation (c to c); yakni bentuk hubungan antara suatu lembaga atau perusahan dengan lembaga, badan atau perusahaan lainnya di  negara lain. Contoh: hubungan kerjasama antara berbagai perusahaan besar, dan hubungan antara LSM Indonesia dengan LSM luar negeri.
v Corporation to Government (c to g); yakni bentuk hubungan kerjasama antara perusahaan atau lembaga tertentu dengan pemerintah suatu negara.
v Government to Government (G to G); yakni  bentuk hubungan antara pemerintah suatu negera dengan pemerintah negera lain.
Bentuk hubungan yang  pertama hingga terakhir merujuk pada proses globalisasi, sementara bentuk hubungan yang terakhir merujuk pada proses internasionalisasi.
Dengan berbagai penjelasan di atas maka istilah globalisasi pendidikan dipilih karena memiliki makna yang kaya ketimbang internasionalisasi pendidikan.



[1] Dedi Supriadi, Internasionalisasi Pendidikan,  (makalah pada Konvensi Nasional IV, Jakarta, 2000), p.1
[2] Anonymous, Introduction to Globalization,  www. Globalization.com
[3] Fredman, Op.cit., p.  11

Merespon Globalisasi Pendidikan



Pada awal kemunculanya, istilah ini lebih di apresiasi sebagai gambaran yang melukiskan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dimana orang dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi dari belahan bumi manapun, tidak peduli berapa jaraknya, dalam waktu yang singkat, dengan bantuan alat komunikasi satelit, telepon, handphone, dan internet. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dibidang lain yakni perhubungan dan angkutan, terjadi penemuan teknologi angkutan yang canggih dalam bentuk kereta-api, kapal laut atau kapal udara. Hal ini mendorong mobilitas manusia dan barang menjadi lancar dan cepat, sehingga arus lalu lintasnya menjadi cepat dan lancar pula. Ini mendorong lembaga perdagangan untuk melakukan perdagangan lintas negara. Dalam kondisi seperti ini dunia terasa menjadi  sempit. Gambaran dunia mini yang sebelumnya menjadi alat peraga atau pelengkap/aksesoris meja eksekutif, yakni ‘globe’ hadir secara real.
Kini, Globalisasi bukan lagi merupakan suatu pilihan untuk bergabung atau tidak bergabung. Tetapi, Globalisasi adalah suatu fakta yang mengikat semua bangsa dan negara di dunia untuk tergabung menjadi satu. Dalam konteks Globalisasi, maka hanya ada satu dunia. Ini berbeda dengan era sebelumnya, yakni Perang Dingin (Cold War). Perang dingin membagi dunia menjadi dua sub-sistem, yakni sistem yang menganut sosialisme-komunisme sebagai Ideologi, dan sistem yang menganut kapitalisme sebagai ideologi.[1] Dan dalam kondisi seperti itu, beberapa bangsa masih mendapatkan pilihan lain untuk tidak masuk kedalam salah satu Blok tersebut, yakni negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB).
Sekarang, setelah runtuhnya tembok Berlin, dan runtuhnya Uni-Sovyet, maka berakhirlah era Perang Dingin (Cold War) yang diikuti oleh hancurnya sistem internasional yang mendukungnya. Sebagai penggantinya adalah Globalisasi sebagai satu-satunya sistem Internasional. Dan ideologi yang masih eksis di tengah sistem ini adalah Kapitalisme, yang mendukung lahirnya pasar bebas, pasar tunggal dunia, penghilangan larangan dagang dan tarif antar negara. Tidak ada sistem lain yang mengatur tata pergaulan dunia sekarang kecuali sistem Globalisasi.
 Dibidang pendidikan, penemuan teknologi komunikasi dan informasi tersebut memberikan sumbangan yang luar biasa. Karena dengan kehadiran teknologi dan penerapannya di bidang pendidikan, ia telah melahirkan momentum revolusi ke-4 di bidang pendidikan.[2] Revolusi keempat ini ditandai dengan proses kegiatan pembelajaran terbuka dan jarak jauh (open and distance learning) dengan alat bantu telepon dan atau internet. Pada era ini orang dapat memperoleh informasi  dan pengetahuan dari manapun hanya dengan membuka web-site tertentu dan melakukan search engine.
Seperti diketahui, bahwa pada revolusi yang pertama di bidang pendidikan, ditandai dengan peristiwa dimana orang tua mulai mendelegasikan tanggung jawab mendidik anaknya kepada guru di sekolah, disini proses belajar-mengajar berpindah dari rumah (orang tua) ke sekolah (guru). Pada revolusi kedua ditandai dengan ditemukannya bahwa tulisan, sehingga pembelajaran tidak bersifat oral semata. Dan pada revolusi ketiga ditandai dengan ditemukannya  mesin cetak, sehingga memungkinkan pengetahuan ditulis, dan siswa atau anak didik mulai dapat belajar mandiri dengan menggunakan buku sebagai sumber belajar.[3]
Bersamaan dengan terjadinya Revolusi ke-4 dalam pendidikan secara Internasional terjadi upaya untuk mempermudah interaksi dan transaksi perdagangan. Hal ini dilakukan dengan membuat perjanjian dan kesepakatan kerja sama dibidang tarif dan anti dumping. Tujuannya adalah mempermudah mobilitas perdagangan antar negara tanpa di dihalangi oleh peraturan pemerintah suatu negara yang mengikat (restricted). Output dari upaya tersebut adalah penandatanganan dan pemberlakuan WTO, AFTA, dan  APEC.
Dalam konteks perjanjian perdagangan dunia yang tercakup dalam WTO (world trade organization), maka ada dua macam kesepakatan utama, yakni kesepakatan tentang perdagangan dan tarif, serta tentang jasa. Bentuk kesepakatan  yang pertama tertuang di dalam agenda GATT (general agrement on trade and tariff); sementara bentuk kesepakan yang kedua tertuang di dalam GATS (general aggrement on trade and service).
Kehadiran WTO, dan lembaga-lembaga kerjasama multi lateral, serta piranti teknologi seperti telepon, dan komputer menjadi instrumen dari globalisasi. Ia mempengaruhi secara dan radikal seluruh aspek dan sistem kehidupan manusia. Salah satu aspek kehidupan yang tidak luput dari pengaruh globalisasi adalah pendidikan.
Lembaga pendidikan akan mengikuti bentuk lembaga bisnis, industri dan perdagangan. Multi National Corporation, bukan hanya ada dalam bidang perdagangan dan industri tetapi juga akan ada di bidang pendidikan. Hal ini tentu dengan berbagai hambatan, dan permasalahan yang melingkupinya.


[1] Thomas L. Friedman,  The Lexus and The Olive Tree,  (New York, Farrar Straus Giroux, 1999),  p. 93.
[2] Dr. Arief  S. Sadiman,  Technology in Education, (Proceedings the Third Symposium on open learning, Bali, 1997), p. VI-5
[3] Ibid. 

Persiapan dan tantangan Manajemen Berbasis Sekolah


Secara historis, di Indonesia praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada dasarnya telah diimplementasikan pada lembaga pendidikan Pesantren sejak waktu yang lampau. Selain itu, beberapa sekolah swasta, dan sekolah negeri yang terletak pada daerah marginal (terlepas dari mutu yang dicapai), juga pada dasarnya telah menlaksanakan praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS). Hal tersebut dapat dilihat misalnya: pada unsur pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat setempat, pengadaan fasilitas gedung belajar yang didirikan secara gotong-royong, pengangkatan guru-guru honorer relawan (volunteer) dari masyarakat, pelibatan orangtua murid, baik melalui BP3, atau organisasi lainnya. Di era Desentralisasi, semangat dan jiwa tersebut dapat lebih dikembangkan dan dibina menuju pada pencapaian mutu dan pemerataan di bidang pendidikan dan pengajaran.
            Oleh karena itu, penyelenggaraannya mesti memperhatikan tingkat kesiapan masyarakat, dan infrastruktur yang tersedia. Berdasarkan hal ini, maka model  sekolah dalam melaksanakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) dapat dibagi atas tiga tingkatan, yakni sebagai berikut:
1.      Sekolah yang dapat melaksanakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) secara penuh. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria antara lain:
a.       Pemilihan Kepala Sekolah dan Guru didasarkan atas keterampilan dan kompetensi yang dimiliki;
b.      Dukungan dana dan partisipasi masyarakat  relatif besar;
c.       Pendapata  Asli Daerah dimana sekolah berada, relatif tinggi;
d.      Dana tidak tergantung pada pemerintah, tapi dari masyarakat;
e.       Nilai Ebta Murni dan pretasi belajar anak, tinggi.
2.      Sekolah yang menyelenggarakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada tingkat menengah. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
a.       Kepala sekolah dan guru dipilih berdasarkan keterampilan;
b.      Partisipasi masyarakat relatif besar;
c.       Pendapatan Asli Daerah, sedang;
d.      Dana pendidikan tergantung pada pemerintah;
e.       Nilai Ebta Murni dan prestasi belajar anak, sedang.
3.      Sekolah yang menyelenggarakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada tingkat rendah. Sekolah pada tingkat ini diindikasikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
 a.       Kepala Sekolah dan guru dipilih karena memiliki keterampilan;
b.      Partisipasi masyarakat kurang;
c.       Pendapatan Asli Daerah  rendah;
d.      Dana pendidikan sangat tergantung kepada pemerintah;
e.       Nilai Ebta Murni dan prestasi belajar anak, rendah.[1]
 
Beberapa faktor pendukung bagi pelaksanaan konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) di Indonesia antara lain:
§  Peraturan perundangan-undangan yang membuka peluang bagi diterapkannya model Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) . Perundang-undangan tersebut antara lain adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dimuat dalam UU No. 2 tahun 1989, juga mendukung (memprakondisikan) implementasi konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) atau School-Based Management (SBM). Ini sdapat dilihat dengan dibukanya peluang bagi orang tua murid dan komponen masyarakat lainnya untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan.
§  Realitas lahir dan tumbuhnya masyarakat madani. Masyarakat madani dengan ciri kemampuan untuk mengatur dan menghidupi dirinya, karena kematangan emosional dan intelektual warganya. Hal ini diharapkan akan tetap tumbuh dan berkembang mendukung terselenggaranya program pembanguna. Di Indonesia masyarakat madani ini mewujud dalam bentuk kelompok-kelompok intelektual, kelompok profesi dan bakat atas kesamaan tujuan atau minat tertentu. Kelompok tersebut berbentuk Yayasan atau Lembaga Swadaya masyarakat. Hal ini di picu oleh gelombang demokratisasi dunia. Sejak tahun 1980-an, di Indonesia telah terjadi gelombang demokratisasi yang ditandai dengan gairah dan semangat masyarakat membentuk berbagai lembaga kemasyarakatan berupa Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal yang menjadi tujuan umum dari LSM adalah adalah terciptanya kemandirian (self-reliant) warga dalam aktifitas kehidupan. Jumlah LSM yang tersebar di seluruh pelosok tanah air merupakan potensi real yang dapat menggerakkan implementasi konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).
§  Kultur Pesantren. Salah satu ciri khas Lembaga Pendidikan Pesantren adalah ‘pembentukannya berdasarkan inisiatif dan swadaya masyarakat lokal’. Hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).  Dalam konteks ini, pesantren di Indonesia yang kini berjumlah 11. 312 buah,[2] dapat menjadi pioner dalam implementasi School-Based Management (SBM) atau Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).
Disamping faktor pendukung seperti disebutkan diatas, ada pula faktor-faktor penghambat bagi terselenggaranya konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS), antara lain sebagai berikut:
§  Kondisi obyektif bangsa dan negara Indonesia yang tengah dilanda krisis multidimensional. Hal ini membawa implikasi pada kemampuan pemerintah untuk membiayai dunia pendidikan menjadi kurang memadai, dan kemampuan keluarga (orangtua siswa) untuk membiayai pendidikan putra-putrinya serta memberikan sumbangan kontribusi yang maksimal terhadap aktifitas pembelajaran di sekolah menjadi lemah.
§  Budaya masyarakat yang belum sepenuhnya terbiasa dengan kehidupan organisasi. Sementara konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) memerlukan kesadaran, pengetahuan dan pengalaman organisasional yang cukup. Dalam praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS), aktifitas organisasional seperti rapat, sharing pendapat, untuk mengambil keputusan menjadi hal yang penting dan sering. Sementara sekarang ini sebagian masyarakat berpandangan kalau mengikuti kegiatan seperti itu hanya membuang-buang waktu (time consuming). Kemauan dan kesediaan untuk mengikuti rapat saja belumlah cukup untuk dapat diambilnya suatu keputusan yang representatif. Diperlukan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan mengemukakan pendapat di hadapan rapat. Tanpa itu maka partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi semu.
§  Sikap dan tanggapan berbagai level pemerintah terhadap praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) yang beragam. Boleh jadi, pemerintah di daerah tertentu memandang penyerahan wewenang kepada sekolah akan mempengaruhi jalannya pembangunan daerah secara umum. Bahkan implikasi dari penyerahan wewenang seperti keuangan (budget), kekuasaan dan kontrol (control and power) serta fasilitas lain akan menjadi permasalahan politik yang rumit dan tidak diinginkan pemerintah daerah tertentu. 
§  Kualitas Sumber Daya Manusia (human resources) yang ada di sekolah. Hal ini meliputi tenaga pengajar, tenaga administratsi dan keuangan, dan pimpinan sekolah. Diperlukan perobahan cara berpikir, sikap dan paradigma baru, untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah.



[1] Jalal, Supriadi, op.cit., p. 161-163.
[2] Departemen Agama RI, Statistik Pondok Pesantren Seluruh Indonesia 2000-2001, EMIS.