Secara historis, di Indonesia praktek Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) pada dasarnya telah diimplementasikan pada lembaga pendidikan Pesantren sejak waktu yang lampau. Selain itu, beberapa sekolah swasta, dan sekolah negeri yang terletak pada daerah marginal (terlepas dari mutu yang dicapai), juga pada dasarnya telah menlaksanakan praktek Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS). Hal tersebut dapat dilihat misalnya: pada unsur pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat setempat, pengadaan fasilitas gedung belajar yang didirikan secara gotong-royong, pengangkatan guru-guru honorer relawan (volunteer) dari masyarakat, pelibatan orangtua murid, baik melalui BP3, atau organisasi lainnya. Di era Desentralisasi, semangat dan jiwa tersebut dapat lebih dikembangkan dan dibina menuju pada pencapaian mutu dan pemerataan di bidang pendidikan dan pengajaran.
Oleh
karena itu, penyelenggaraannya mesti memperhatikan tingkat kesiapan masyarakat,
dan infrastruktur yang tersedia. Berdasarkan hal ini, maka model sekolah dalam melaksanakan Manajemen -
Berbasis Sekolah (MBS) dapat dibagi atas
tiga tingkatan, yakni sebagai berikut:
1. Sekolah yang dapat melaksanakan
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS)
secara penuh. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria antara
lain:
a. Pemilihan Kepala Sekolah dan Guru
didasarkan atas keterampilan dan kompetensi yang dimiliki;
b. Dukungan dana dan partisipasi
masyarakat relatif besar;
c. Pendapata Asli Daerah dimana sekolah berada, relatif
tinggi;
d. Dana tidak tergantung pada
pemerintah, tapi dari masyarakat;
e. Nilai Ebta Murni dan pretasi belajar
anak, tinggi.
2. Sekolah yang menyelenggarakan
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) pada
tingkat menengah. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut:
a. Kepala sekolah dan guru dipilih
berdasarkan keterampilan;
b. Partisipasi masyarakat relatif
besar;
c. Pendapatan Asli Daerah, sedang;
d. Dana pendidikan tergantung pada
pemerintah;
e. Nilai Ebta Murni dan prestasi belajar
anak, sedang.
3. Sekolah yang menyelenggarakan
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) pada
tingkat rendah. Sekolah pada tingkat ini diindikasikan oleh beberapa hal
sebagai berikut:
a. Kepala Sekolah dan guru dipilih
karena memiliki keterampilan;
b. Partisipasi masyarakat kurang;
c. Pendapatan Asli Daerah rendah;
d. Dana pendidikan sangat tergantung
kepada pemerintah;
e. Nilai Ebta Murni dan prestasi
belajar anak, rendah.[1]
§ Peraturan perundangan-undangan yang
membuka peluang bagi diterapkannya model Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) . Perundang-undangan tersebut antara
lain adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dimuat dalam UU No. 2 tahun 1989, juga
mendukung (memprakondisikan) implementasi konsep Manajemen - Berbasis
Sekolah (MBS) atau School-Based
Management (SBM). Ini sdapat dilihat dengan dibukanya peluang bagi orang tua
murid dan komponen masyarakat lainnya untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan
pendidikan.
§ Realitas lahir dan tumbuhnya
masyarakat madani. Masyarakat madani dengan ciri kemampuan untuk mengatur dan
menghidupi dirinya, karena kematangan emosional dan intelektual warganya. Hal
ini diharapkan akan tetap tumbuh dan berkembang mendukung terselenggaranya
program pembanguna. Di Indonesia masyarakat madani ini mewujud dalam bentuk
kelompok-kelompok intelektual, kelompok profesi dan bakat atas kesamaan tujuan
atau minat tertentu. Kelompok tersebut berbentuk Yayasan atau Lembaga Swadaya
masyarakat. Hal ini di picu oleh gelombang demokratisasi dunia. Sejak tahun
1980-an, di Indonesia telah terjadi gelombang demokratisasi yang ditandai
dengan gairah dan semangat masyarakat membentuk berbagai lembaga kemasyarakatan
berupa Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal yang menjadi tujuan
umum dari LSM adalah adalah terciptanya kemandirian (self-reliant) warga dalam aktifitas kehidupan. Jumlah LSM yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air merupakan potensi real yang dapat
menggerakkan implementasi konsep Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS).
§ Kultur Pesantren. Salah satu ciri
khas Lembaga Pendidikan Pesantren adalah ‘pembentukannya berdasarkan inisiatif
dan swadaya masyarakat lokal’. Hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung
dalam konsep Manajemen - Berbasis Sekolah
(MBS). Dalam konteks ini,
pesantren di Indonesia yang kini berjumlah 11. 312 buah,[2]
dapat menjadi pioner dalam implementasi School-Based Management (SBM) atau
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS).
Disamping faktor pendukung seperti
disebutkan diatas, ada pula faktor-faktor penghambat bagi terselenggaranya
konsep Manajemen - Berbasis Sekolah
(MBS), antara lain sebagai berikut:
§ Kondisi obyektif bangsa dan negara
Indonesia yang tengah dilanda krisis multidimensional. Hal ini membawa
implikasi pada kemampuan pemerintah untuk membiayai dunia pendidikan menjadi
kurang memadai, dan kemampuan keluarga (orangtua siswa) untuk membiayai
pendidikan putra-putrinya serta memberikan sumbangan kontribusi yang maksimal
terhadap aktifitas pembelajaran di sekolah menjadi lemah.
§ Budaya masyarakat yang belum
sepenuhnya terbiasa dengan kehidupan organisasi. Sementara konsep Manajemen -
Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan
kesadaran, pengetahuan dan pengalaman organisasional yang cukup. Dalam praktek
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS),
aktifitas organisasional seperti rapat, sharing pendapat, untuk mengambil
keputusan menjadi hal yang penting dan sering. Sementara sekarang ini sebagian
masyarakat berpandangan kalau mengikuti kegiatan seperti itu hanya
membuang-buang waktu (time consuming).
Kemauan dan kesediaan untuk mengikuti rapat saja belumlah cukup untuk dapat
diambilnya suatu keputusan yang representatif. Diperlukan kemampuan
berkomunikasi dan keterampilan mengemukakan pendapat di hadapan rapat. Tanpa
itu maka partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi semu.
§ Sikap dan tanggapan berbagai level
pemerintah terhadap praktek Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) yang beragam. Boleh jadi, pemerintah di
daerah tertentu memandang penyerahan wewenang kepada sekolah akan mempengaruhi
jalannya pembangunan daerah secara umum. Bahkan implikasi dari penyerahan
wewenang seperti keuangan (budget), kekuasaan dan kontrol (control and power)
serta fasilitas lain akan menjadi permasalahan politik yang rumit dan tidak
diinginkan pemerintah daerah tertentu.
§ Kualitas Sumber Daya Manusia (human resources) yang ada di sekolah.
Hal ini meliputi tenaga pengajar, tenaga administratsi dan keuangan, dan
pimpinan sekolah. Diperlukan perobahan cara berpikir, sikap dan paradigma baru,
untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah.
No comments:
Post a Comment