Pengertian dan Sejarah MBS
Di Indonesia, wacana Manajemen
Berbasis Sekolah di singkat MBS, mulai populer seiring dengan mulai bergulirnya
ide tentang desentralisasi manajemen pendidikan nasional. Ide tentang
desentralisasi pendidikan di picu oleh sebuah laporan bank dunia tahun 1998
tentang kondisi obyektif pendidikan di tanah air yang berjudul ‘Education in Indonesia: from crisis to
recovery’. Salah satu yang menjadi sorotan dari laporan tersebut adalah
perlunya diselenggarakan penataan kelembagaan dan Desentralisasi Pendidikan
Dasar. Hal tersebut terutama mengkritik empat hal, yakni:
1. Rumitnya sistem organisasi pada
tingkat pendidikan dasar;
2. Manajemen yang terlalu sentralistik;
3. Kacau dan kakunya proses pembiayaan
pendidikan ditingkat dasar;
4. Manajemen pendidikan pada tingkat
sekolah yang tidak efektif.[1]
Kemajuan dan perkembangan praktek
dan gaya manajemen pada organisasi pendidikan di tingkat Internasional, dan
pergeseran serta perobahan sistem politik di tingkat nasional, telah melahirkan
pemikiran baru tentang sistem dan model manajemen pendidikan. Beberapa dimensi
menajemen pendidikan yang bergeser tersebut antara lain, perobahan dari pola
sentralistik menuju desentralistik.
Perobahan
yang lain dalam mkonteks manajemen ini adalah:
·
Subordinasi menuju Otonomi
·
Dari pola pengambilan keputusan terpusat menuju
pola pengambilan keputusan partisipatif;
·
Dari pola ruang gerak yang kaku menuju pola
ruang gerak yang luwes;
·
Dari pola Pendekatan Birokratik menuju pola
pendekatan yang profesional;
·
Dari pola sentralistik menuju pola
desentralistik;
·
Dari pola yang diatur-atur menuju pola
memotivasi diri sendiri;
·
Dari pola Overregulasi menuju pola Deregulasi;
·
Dari pola mengontrol menuju pola mempengaruhi;
·
Dari pola mengarahkan menuju pola memfasilitasi;
·
Dari pola menghindari resiko menuju pola
mengelolah resiko;
·
Dari pola menggunakan anggaran seluruhnya menuju
pola menggunakan anggaran seefisien mungkin;
·
Dari pola mengandalkan individu yang cerdas
menuju pola timwork yang cerdas;
·
Dari pola informasi yang terpribadi menuju pola
informasi yang terbagi.
Dalam kondisi seperti itulah, ide
Manajemen berbasis Sekolah mendapatkan tempat yang menarik bagi para pemikir
dan pemerhati pendidikan. Hal ini seiring dengan ramainya publikasi hasil
penelitian tentang praktek manajemen sekolah yang sukses di luar negeri seperti
di Amerika pada negara bagian Los Angeles dan Kalifornia, di negara Australia
pada negara bagian Queensland, ataupun negara Kanada. Praktek manajemen
tersebut terkenal dengan istilah School-Based Management atau Manajemen -
Berbasis Sekolah (MBS).
Beberapa definisi tentang
School-Based Management (SBM) adalah
sebagai berikut:
1. School –based Management (SBM) is a strategy to improve education by
transferring significant decision-making authority from state and district
offices to individual school (Educations Office of Research). Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) adalah suatu strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan memindahkan
kewenangan kewenangan pengambilan keputusan yang penting dari negara dan
pemerintah daerah kepada pihak pengelolah sekolah.[2]
2. Audrey J. Noble, menyatakan bahwa
School – Based Management atau dapat juga disebut dengan Shared Decision Making refers to an inclusive or representative
decision making process in which all members of the group participate as aquels.
Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merujuk pada suatu representasi
proses pengambilan keputusan dimana
seluruh anggota kelompok berpartisipasi secara seimbang.[3]
3. Priscilla memandang School-Based Management (SBM) as a political
reform that transfers power (authority) over budget, personnel and curriculum
to individual school. Artinya, Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu bentuk reformasi politik
yang memindahkan kewenangan tentang anggaran, kepegawaian dan kurikulum ke
sekolah.[4]
4. Menurut Judith Chapman, School-Based Management (SBM) refers to a
form of educational administration in which the school become the primary unit
for decision making. It differs from more traditional form of educational
administration in which a central bureaucracy dominated the decision making
process. Artinya; Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) merujuk pada suatu bentuk administrasi
pendidikan, dimana sekolah menjadi unit utama dalam pengambilan keputusan. Hal
ini berbeda dengan bentuk tradisional manajemen pendidikan, dimana birokrasi
pemerintah pusat sangat dominan dalam proses pembuatan keputusan.[5]
5. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi,
mendefinisikan Manajemen - Berbasis Sekolah
(MBS) sebagai salah satu pengelolaan sekolah yang bertumpu pada sekolah (kepala sekolah
dan staff) dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik, sehingga
sekolah punya kebebasan untuk menentukan apa yang perlu diajarkan dengan
mengelolah sumber daya yang ada secara kreatif dan inovatif.[6]
Dari berbagai definisi diatas, maka
Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) dapat
di pahami sebagai salah satu strategi kebijakan pengelolaah (strategic -management) pendidikan yang
berpusat pada institusi (sekolah) dalam rangka mencapai hasil pendidikan
yang maksimal. Adapun modelnya, adalah
tergantung pada sekolah tersebut untuk menentukan secara tepat dan sesuai
kondisi obyektif yang melingkupi sekolah tersebut. Oleh karena itu, inisiatif,
kreatifitas, daya inovasi, kekompoakkan dan kerjasama sekolah dengan
masyarakatnya sangat menentukan dalam penerapan model Manajemen - Berbasis
Sekolah (MBS).
Secara historis, sistem School-Based
Management (SBM) atau Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS), berkembang pada Lembaga Pendidikan
Swasta (private school). Sistem ini
diawali dengan model ‘High-Involvement Management’ yakni model pengelolaan yang
memberikan peluang seluas-luasnya kepada stake holders di bidang pendidikan
untuk turut terlibat dalam membicarakan kemajuan proses-belajar mengajar. Model
tersebut kemudian menampakkan hasil yang maksimal, sehingga mulai di implementasikan secara luas.
Disamping alasan historis seperti tersebut
diatas, penerapan konsep Manajemen - Berbasis Sekolah (MBS) dilandasi oleh beberapa asumsi sebagai
berikut:
1. Pandangan politik bahwa masyarakat lokal di sekitar sekolah lebih
mengetahui kebutuhan yang cocok dan sesuai dalam rangka memperbaiki kualitas
pemdidikan di sekolahnya.
2. Pemberdayaan masyarakat di sekitar
sekolah (local empowerment) terutama
orang tua murid dan pelaku dunia usaha lokal, dapat meningkatkan kontribusi dan
partisipasi real mereka dalam kegiatan pendidikan.
3. Penyertaan sumberdaya lokal (local actor) dalam pendidikan, terutama
dalam pengambilan keputusan, secara logis dapat membuat mereka untuk senantiasa
bertanggung jawab dengan keputusan yang telah disepakati.
4. Pemangkasan alur birokrasi (span of control) akan melahirkan kinerja
tenaga kependidikan menjadi lebih profesional. Hal ini akan menghasilkan
prestasi anak didik (student academic
achievement) yang tinggi sebagai tujuan dari sekolah.
5. Dalam pandangan yang lebih mikro,
sekolah sebagai unit pendidikan yang menjadi garda depan bagi prestasi anak,
lebih mengetahui potensi (input dan sumberdaya serta harapan dan kebutuhannya)
dalam rangka meningkatkan mutu. Hal ini membawa implikasi bagi pengambilan
keputusan tentang proses pengajaran dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di
sekolah.
[1] Fasli Jalal dan Dedi
Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam konteks Otonomi Daerah, (Jakarta: Adi Cita Karya, 2001), p. 153
[2] Office Of Research
Education, “School-Based Manajemen”,
Consumer Guide: Australia; January 1993
[3] Audrey J. Noble, School-Based Management, (Australia:
Associate for Evaluation and Policy Analysis, February 1996)
[4] PriscillaWohlstetter and
Susan Albers Mohrman, School-Based Management: Strategy for Success,
(Australia: USC, 1999).
[5] Judith Champman,
School-Based Decision Making and Management (London: The Palmer Press, 1990),
p. xi.
[6] Jalal dan Supriadi,
op.cit., p. 160
Sistem manajemen pendidikan saat ini mulai dilakukan secara digital dengan bantuan software yang dapat membuat pekerjaan operasional jauh lebih efisien.
ReplyDelete