Wednesday, March 27, 2013

Pendidikan Islam 11



Signifikansi Pendidikan Agama Luar Sekolah

Belakangan ini terdapat perkembangan yang cukup menarik yakni adanya antusiasme masyarakat yang cukup besar untuk memasuki lembaga pendidikan di luar sistem sekolah, seperti kursus-kursus. Pilihat tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga pendidikan itu lebih banyak memberikan bekal keterampilan sehingga outputnya lebih cepat memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda dengan pendidikan formal yang dinilai terlalu teoritis dari segia muatan pendidikan yang diberikan, selain cukup lama dari segi waktu yang harus ditempuh.
Perkembangan yang sama juga dapat dijumpai pada pendidikan agama luar sekolah, seperti maraknya Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang muncul dan berkembang di perkotaan sebagai alternatif dari sistem langgaran atau sarungan yang konvensional, baik dari segi metodologis maupun penyediaan sarana belajar mengajar. Selain itu munculmnya lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan berbagai macam paket studi agama yang cukup mengundang minat.
Sebagai suatu proses sosial dan kultural, perkembangan ini menarik diamati apalagi kemunculannya lebih banyak berada dalam lingkaran elit masyarakat kota. Dalam masyarakat kota agama dengan segala artikulasinya telah menjadi mode. Gejala macam ini oleh banyak pengamat disebut sebagai perubahan kultural yang ditandai dengan diterimanya sejumlah simbol agama dan berkembangnya popularitas spiritualisme.
Fenomena di atas tampaknya perlu menjadi bahan perenungan untuk mencarai format agama serta lembaga pendidikannya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apakah dalam bentuk agama yang bercorak ritualistik simbolik atau dalam bentuk yang lebih substantif yang masuk dalam kawasan agama yang lebih menonjolkan dimensi spiritual, etikda dalam pengertian luas.
Dalam prakteknya seringkali dijumpai lembaga-lembaga pendidikan agama yang didirkan tidak didasarkan atas kebutuhan masyarakat tetapi hanya didasarkan pada pertimbangan mode atau hanya mengejar kesemarakan ritual yang cenderung simbolistis.
Agama merupakan kebutuhan yang amat mendasar karena dalam diri manusia terdapat keinsyafan beragama yang menurut Max Scheler sebagai kemampuan yang otonom atau gharizah fitriyyah dalam pandangan Islam.
Masyarakat modern tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tapi masyarakat modern juga menjumpai banyak paradoks. Belakangan mereka dihadapkan pada ketidakseimbangan ekologis yang mengancam kehidupan manusia.
Pada akhirnya, agama dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern. Perkembangan inilah yang oleh John Naisbitt dalam Megatrend 2000 disebut sebagai kebangkitan agama-agama dunia. Dalam pengertian suatu wacana keagamaan yang dapat memberikan pengayaan spiritual (supreme morality). Dalam corak keberagamaan semacam ini orang tidak lagi bicara dalam kerangka having a religion yang bersifat statis dan menonjolkan identitas tapi suatu keberagaman yang lebih menampilkan dimensi spiritual yang dapat memberikan landasan dan kekuatan etik-spiritual masyarakat.
Bertolak dari pengertian pendidikan agama dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial dan kultural masyarakat secara makro, persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagaimana pendidikan agama mampu menghadirkan suatu kontruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya, bagaimana konstruksi wacana keagamaan tersebut mampu ditransformasikan secara sistematik dalam masyarakat.
Ada tiga hal yang menyangkut orientasi pendidikan agama luar sekolah, yaitu pertama, tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang fungsional secara moral untuk mengembangkan keseluruhan sistem sosial budaya.
Kedua, integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi dengan pendidikan lain.
Ketiga, pembentukan wawasan ijtihadiyah (interpretasi) agar mampu menjawab tuntutan hari depan dan transformasi sosial budaya yang terus berlangsung.
Uraian di atas menunjukkan bahwa jika ditunjang oleh visi yang jelas dan didukung oleh manajemen yang profesional maka pendidikan agama luar sekolah merupakan lapangan yang mempunyai prospek yang menjanjikan.

Pendidikan Islam 9



Agama dan Masalah Pergeseran Nilai Budaya

Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang bercorak normatif. Artinya, pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses transformasi nilai yang pada akhirnya pendidikan hanya merupakan lembaga konservasi yang leibh mengutamakan nilai-nilai tradisional.
Dalam sudut pandang yang lain pendidikan dipahami dalam kaitannya dengan proses dialektika budaya. Hal ini berarti pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara terus-menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia.
Kontroversi mengenai orientasi pendidikan antara pendidikan di satu sisi lebih menekankan pada aspek humaniora sementara di sisi lain lebih berorientasi pada penguasaan teknologi pada dasarnya adalah merupakan refleksi dari adanya dualisme pandangan antara pendidikan yang filosofis dengan kepentingan prgamatis.
Pandangan integral ini didasarkan atas, pertama pendidikan pada dasarnya suatu instrumen strategis pengembangan potensi dasar manusia, yaitu potensi moral karena dengan potensi moral menjadi manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religius. Kedua, realits sosiologis manusia yang selalu terlibat dengan proses dialektika fundamental dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan secara kontinue di masa depan baik secara evolutif maupun revolutif tidak dapat dihindari.
Pandangan yang integral tersebut mengharuskan pendidikan perlu membuat proyeksi tentang kecenderungan besar yang akan terjadi di masa depan. Hasil proyeksi tersebut digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengadakan kaji ulang terhadap makna pendidikan.
Sedikitnya terdapat tiga kerangka teoritik yang sering digunakan untuk menjelaskan secara substansial terjadinya perubahan dalam masyarakat. Ketiga kerangka teoritik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, teori yang memandang perubahan sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi yang didukung oleh teori evolusi dan neo-evolusi.
Kedua, teori sosial yang memandang perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses pertumbuhan dan pembentukan nilai-nilai. Teori Max Weber dan Mc. Clelland termasuk dalam kategori ini.
Ketiga, teori yang memandang bahwa perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan proses pembebasan dari ketergantungan. Teori ini banyak dianut oleh para intelektual di negara-negara berkembang.
Dari ketiga teori tersebut, yang menarik adalah teori yang memberikan penekanan pada masalah nilai karena dalam studi antropologis sistem nilai dipandang sebagai pedoman tertinggi bagi seluruh artikulasi perilaku manusia, baik secara personal maupu sosial.
Dalam kebudayaan terdapat enam nilai dasar yaitu nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan agama yang dapat dijadikan sebagai kerangkan acuan oleh masyarakat karena keenam nilai dasar tersebut bersifat universal. Yang berbeda adalah bagaimana cara masyarakat mempersepsikan dan mengartikulasikannya.
Dalam masyarakat tradisional nilai teori terartikulasikan dalam bentuknya yang bersifat mistik-intuitif sehingga bagi mereka agama mempunyai kedudukan yang kuat karena dipandang mempunyai daya mistikal dalam rangka mencarai sandaran legitimasi dalam proses pencarian kebenaran.  Dalam nilai sosial, masyarakat tradisional mengutamakan kehidupan kolektif.
Pola hubungan sosial pada masyarakat tradisional diartikulasikan dalam bentuk komunal dan personal. Adapun dalam nilai ekonomi mereka lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Semantara dalam nilai politik cenderung berorientasi pada kemapanan struktural.
Keenam dasar tersebut tidak akan mengalami pergeseran persepsi dan artikulasi sejalan dengan semakin berkembangnya budaya dan peradaban masyarakat. Semua nilai dasar itu tetap ada dalam masyarakat sebagai ciri kultural mereka, tetapi kemudian akan dipersepsi dan diartikulasikan secara berbeda ketika masyarakat berkembang dan berada dalam realitas kehidupan yang baru.
Uraian di atas memunculkan persoalan mendasar mengenai kebutuhan terhadap suatu kerangka nilai yang dapat memberikan orientasi yang pasti dan jelas dalam konteks kehidupan yang terus mengalami perubahan. Bila tidak memilih sikap etis dan kritis dalam pengembangannya maka akan mendatangkan implikasi kemanusiaan yang secara negatif mempengaruhi masa depan umat manusia. Karena itu setelah menyadari beberapa ekses negatif itu terdapat suatu kesadaran baru untuk kembali kepada nilai-nilai agama.
Namun demikian agenda terpenting sekarang ini adalah bagaimana merekontruksi peran agama tersebut dalam rangka revitalisasi dan transormasi nilai-nilai agama. Dalam sosiologi agama terdapat dua peran penting agama, yaitu peran directive system dan defensive system.
Peran directive system menempatkan agama sebagai referensi utama dalam proses perubahan. Dalam hal ini agama tidak lagi dipandang sebagai penghambat perubahan melainkan memberikan daya dorong luar biasa bagi terciptanya perubahan yang konstruktif dan humanis bagi masa depan umat manusia.
Peran defensive system menjadikan agama semacam kekuatan resistensial bagi masyarakat ketika berada dalam lingkaran persoalan kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus perubahan. Dalam konteks demikian masyarakat akan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa khawatir serta ragu dalam menghadapi kehidupan. Namun demikian pendekatan tersebut tidak hanya dilihat dari aspek agama saja karena agama mempunyai cakupan doktrinasi yang universal.
Menyadari akan tantangan dan harapan terhadap peran agama maka persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagimana ia mampu menghadirkan suatu konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Permasalahan yang muncul di lapangan saat ini adalah bahwa materi pendidikan agama terlalu didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatf, ritualistik dan eskatologis yang diperkuat oleh metode yang disampaikan dengan semakat ortodoksi keagamaan yang memaksa peserta didik tunduk pada suatu metanarasi yang ada tanpa diberi peluang untuk melakukan telah secara kritis.

Pendidikan Islam 8



Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren

Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai banyak perbedaan. Perguruan tinggi identik dengan kemodernan, sementara pesantren identik dengan ketradisionalan. Persepsi dualisme-dikotomi ini pada kenyataannya saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan, baik secara struktural maupun kulutral.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius. Menurut Nurcholish Madjid seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan tentu pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren.
Pendapat Nurcholis Madjid di atas mungkin terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjut terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi dengan mempertimbangkan kelebihan yang dimilikinya bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk perguruan tinggi.
Beberapa pesantren yang ada saat ini masih kaku mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih sohisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Paling tidak ada tiga yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
1. kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang berpusat pada seorang kyai.
2. Kelemahan di bidang metodologi karena umumnya pesantren memiliki tradisi yang sangat kuat di bidang transmisi keilmuan klasik.
3. Terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah perubahan realitas sosal yang demikian cepat.
Akhir-akhir ini terjadinya sintesa atau konvergensi antara pesantren dan perguruan tinggi dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan yang konstruktif. Hal ini dapat ditemukan di beberapa daerah di mana banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi dan sebaliknya perguruan tingi mendirikan pesantren.
Perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan ditambah dengan pengayaan di bidang skill tapi minus pengayaan moral, dalam kenyataannya hanya menghasilkan manusia cerdas tapi kurang mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya, pesantren mempunyai keunggulan dari sisi moralitas, tetapi minus tradisi rasional sehingga melahirkan pribadi yang tanggung secara moral tetapi lemah secara intelektual.
Dengan memperhatikan implikasi tersebut maka perlu usaha terciptanya suatu sintesa, konvergensi atau sinergisitas, sehingga dapat dicapai kesatuan antara moralitas dan rasionalitas. Hal ini bukan persoalan sedernahan karena menuntut kita untuk membongkar akar-akar teologis-filosofis terjadinya dualisme-dikotomi tersebut. Oleh karena itu sudah waktunya untuk merekonstruksi waca keilmua yang selama ini terpilah-pilah secara rigid antara ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.

Pendidikan Islam 7



Arah Perguruan Tinggi Islam

Perguruan Tinggi Islam yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang diprakarsai dan dikelola oleh umat Islam dan keberadaannya disemangati oleh keinginan mengejawantahkan nilai-nilai keIslaman.
Untuk melacak dan mengidentifikasi perguruan tinggi Islam di Indonesia tampaknya tidak terlalu sulit, misalnya (1) melalui nama yang disandang atau orang di balik perguruan tinggi itu, baik secara eksplisit dengan pencantuman kata Islam misalnya UNISBA, atau secara implisit dengan mengambil tokoh pejuan Islam seperti Universitas Ibn Khaldun, atau para wali seperti IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung.
Sekalipun peruguran-perguruan tinggi tersebut tidak hanya terdiri dari fakultas dan jurusan keagamaan, sebegian besar juga membuka fakutlas dan jurusan umum. Selain itu ada perguruan tinggi yang secara formal sama sekali tidak menunjuklkan identitasnya sebagai perguruan tinggi Islam dan juga tidak terikat dengan salah satu ormas atau yayasan Islam, tetapi para pengelola dan suasananya menggambarkan sebagai perguruan Tinggi Islam.
Perguruan tinggi Islam tidak akan survive secara tiba-tiba melainkan berawal dari embrio adanya fungsi-fungsi studi pasca atau purna yang dilakukan oleh sebagian cendekiawan muslim untuk berusaha lebih mendalam dalam mengembangkan ajaran Islam. Gairah melaksanakan studi pruna di dunia Islam mencapai puncaknya sekitar abad ke-10 tatkala para cendekiawan muslim menyadap dan mengembangbiakkan gagasan Hellenis yang berasal dari Yunani klasik. Ciri dari gagasan Hellenis adalah pemberian porsi yang amat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta gandrung pada ilmu-ilmu sekuler.
Gagasan Hellenis yang kian berkobar itu bertabrakan dengan gagasan Semitis yang juga dikembangkan oleh sebagian kalangan Islam. Ciri gagasan ini adalah pemberian porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu, sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi pada ilmu-ilmu keagamaan.
Pergumulan tersebut tergambar dalam buku tahafut al-falasifah sebagai serangan Semitis yang diwakili oleh Al-Gazali dengan Tahafut al-Tahafut sebagai tangkisan dari Hellenis yang diwakili Ibn Rusyd.
Di dunia Barat gagasan Hellenis ini dibentuk dalam sebuah kelembagaan dalam bentuk Universitas Studiosorum, yaitu perguruan tinggi yang dimulai dari adanya sekelompok mahasiswa, kemudian mereka mendatangkan tenaga pengajar sesuai keahlian yang mereka kehendaki.
Gagasan Semitis yang dikibarkan oleh pemuka gereja dan cendekiawan Nasrani yang Semitis dibuah dalam sebuah pola Universitas Magistorum.  Dalam pola ini bukan mahasiswa yang mengundang tenaga pengajar melainkan tenaga pengajar yang berkumpul kemudian mengundang atau mendatangi mahasiswa. Dengan pola ini maka tenaga pengajar dan bidang studi yang mendapat legitimasi dari gereja Kristen Semitis lah yang dapat mengajar.
Dua pola tersebut pada akhirnya bergeser dari motif dasar dan wataknya semula. Pola Universitas Studiosorum akhirnya menjadi watak sebagian besar kampus Inggris dan Amerika Serikat. Kampus berwatak pola ini pada perkembangannya bukan hanya mengutamakan ilmu sekuler, melainkan juga mengedepankan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu terapan.
Adapun pola Universitas Magistorum dengan meninggalkan watak semitisnya menjadi ciri khas kampus Eropa Daratan. Pola kampus ini bersifat konservatif dan puritan terhadap pengembangan ilmu. Penyatuan dua semangat Hellenis dan Semitis dalam realitasnya masih menemukan permasalahan-permasalahan.
Suatu kenyataan yang banyak dihadapi adalah terjadinya ketidakseimbangan arus peminat yang cenderung lebih besar kepada fakultas-fakultas umum. Ketidakseimbangan ini menjurus pada segi kualitas dan kemampuan prasyarat pendidikan, terutama kemampuan ekonomi dan tingkat kecerdasan.
Persoalan teknis juga muncul karena Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS) harus berpayung dua sebab fakultas-fakultas umum berada di bawah Depdiknas sedangkan fakultas agama berada di bawah Depag. Aturan birokrasi pada kedua departemen tersebut terkesan tidak sinkron sehingga menyulitkan dalam pengembangan PTIS.
Upaya lain dalam memajukan perguruan tinggi Islam adalem dengan pendekatan kopetensi. Pendekatan ini membuka peluang bagi mahasiswa untuk memiliki lebih dari satu kesanggupan. Bagi PTIS yang memiliki fakultas agama dan umum bisa memprogramkan mahasiswanya memiliki kesanggupan dalam jenis keahlian dan tingkat keahlian tertentu di bidang agama dan jenis serta tingkat keahlian tertentu di bidang studi umum.
Bagi perguruan tinggi negeri yang mengenal pemisahan antar perguruan tinggi umum dan IAIN program studi lintas fakultas ini dapat dilakukan melalui pendekatan kerjasama dengan perguruan tinggi umum yang berdekatan.

Pendidikan Islam 6



Madrasah dan Tantangan Peradaban Modern

Pengakuan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bentuk pengakuan adanya ciri-ciri khas yang dimiliki pranata pendidikan. Pengakuan tersebut secara kultural sungguh tepat mengingat peradaban suatu bangsa bisa sangat kuat manakala bertumpu pada akar budaya. Hal tersebut dapat dibenarkan baik dalam perspektif budaya maupun dalam pandangan ilmiah.
Pendidikan dan peradaban adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebab menggagas soal pendidikan pada dasarnya adalah menggagas soal kebudayaan dan peradaban. Pendidikan adalah upaya merekontruksi pengalaman-pengalaman peradaban umat manusia secara berkelanjutan guna memenuhi tugas kehidupannya.
Baik secara etimologi pada dasarnya kata madrasah juga berarti sekolah, sekalipun kata sekolah itu sendiri merupakan adaptasi dari kata school atau scola. Makna ini menunjukkan bahwa secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya saja secara kultural di lembaga madrasah ini memperoleh seluk beluk agama dan keagamaan sehingga kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama. Seiring dengan perkembangan zaman kata madrasah yang diidentikkan dengan sekolah agama mengalami perubahan walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Madrasah sebagai sebuah pranata pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dengan pondok pesantren. Mencermati pola pendidikan pondok pesantren pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan bahwa dalam sistem pembelajarannya cenderung bercorak mistik. Namun secara lambat laun nuansa mistik tersebut berkurang bersamaan dengan semakin dekatnya ke dalam jaringan Islam ke Haramaian, tempat sumber yang asli.
Ditinjau dari aspek pengelolaan pendidikan maka madrasah memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal, kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan. Hal tersebut berbeda dengan sistem pembelajaran di pondok pesantren yang mempergunakan sistem sorogan dan wetonan.
Format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya. Proses pembentukan format madrasah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan Barat sebagai buah dari intervensi budaya dan politik pemerintah Hindia Belanda dalam paruh pertama abad ke-20. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Pertama, madrasah-madrasah diniyah-salafiyah terus tumbuh dan berkembang dengan pertambahan jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, yakni lembaga yang hanya mendalami agama.
Kedua, makin bermunculan madrasah-madrasah yang selain mengajarkan dan mendidik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, juga memasukkan pelajaranppelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda.
Pola-pola madrasah di atas dapat dijumpai sampai sekarang. Perubahan-perubahan mungkin sekali dialami oleh madrasah, karena tuntutan penyesuaian maupun reinvention (penemuan kembali).
Sekalipun madarah telah mendapat pengakuan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional namun secara birokratik terdapat dualisme-dikotomi antara pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan pendidikan agama (baca:madrasah) di bawah naungan Departemen Agama (Depag). Dualisme-dikotomi tersebut memang secara kuat mengesankan kebijakan pendidikan yang dibidani oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Relaitas lain menunjukkan meskipun madrasah-madrasah lebih dinisbahkan sebagai lembaga pendidikan swadaya masyarakat, sebagaimana telihat dari kenyataan terbesar berstatus swasta, keterpanggilannya berperan serta melaksanan gerakan wajib belajar  cukup besar dan spontan.
Sebagai contoh ketika pemerintah melontarkan gerakan wajib belajar pada 1950-1960an tumbuh secara spontan Madrasah Wajib Belajar yang muncul hampir seluruhnya terletak di pedesaan. Pada 1960an telah muncul rancangan dan usaha-usaha implementasi agar MWB menjadi salah satu lembaga yang bisa memerankan pembangunan pedesaan.
Perlu dicatat bahwa realtias lain yang tidak bisa diabaikan adalah banyaknya penyelenggaraan madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren. Madarah-madrasah serupa ini menciptakan satu mekanisme tersendiri guna menutupi kekurangan pelajaran dan pendidikan agama dalam kurikulum madrasah.
Madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren memberikan kesempatan kepada para siswanya untuk menambah kekurangan ilmu pengetahuan agama melalui pengajian-pengajian kitab di luar jam madrasah.
Ada tiga kepentingan yang harus diakomodasi dalam penentukan kebijakan pengembangan madrasah. Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup islami.
Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengatahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah umum.
Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk ini madrasah perlu diarahkan kepada lembaga yang sanggup melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, dan era informasi.