MODEL
KOMPARATIP KEPEMIMPINAN UNIVERSITAS
EROPA DAN AMERIKA SERIKAT
Dalam rangka menyususn tesis mengenai kerektoran, kita
harus menempatkan posisi dalam kaitan dengan pengembangan kepemimpinan universitas
dalam kultur lain. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa terdapat format yang
berbeda antara mengajar dan riset, perencanaan tradisonal dan adopsi tentang
prinsip pasar saat pemimpin universitas berperan terhadap alokasi sumber daya
guna mewujudkan suatu produsen pengetahuan. Walaupun tekanan ini dalam bentuk
skala global, menurut sejarah sudah menghasilkan respon yang berbeda dengan
sistem pendidikan yang lebih tinggi di kawasan seberang lautan Atlantik secara
universal dengan pendekatan model strata, dan penggunaan sistem biner Eropa
menjadi lain. Bagaimana pun, tantangan menghadapi sistem pendidikan lebih
tinggi secara nasional diterapkan juga untuk membuat kebijakan disamping untuk
institusi pendidikan lebih tinggi. Pertanyaan muncul seperti pada rektor di
Inggris yang sedang mengikuti pola keteladanan kepresidenan universitas di Amerika, kerektoran di Eropa atau
pendekatan alternatif. Tentu saja, hal itu sah saja untuk menanyakan apakah
pemusatan model kepemimpinan timbal balik terjadi diseberang Lautan Atlantik di
samping perbedaan antara Sistem Pendidikan lebih tinggi di Amerika dan Eropa.
Sesi
ini menimbulkan pertanyaan penting untuk suatu komparasi, evolusi kerektoran
dalam kaitan pengembangan kepemimpinan universitas di Amerika Serikat dan negara
lain di Eropa. Hal itu akan mendukung suatu kombinasi tentang sumber sekunder
dan hasil pertanyaan survei yang dikirim kerektor universitas di Swedia dan
Belanda dan para rektor di negara bagian Georgia dan California di Amerika Serikat. Kajian survei ini dilkasanakan
sepanjang periode antara musim semi tahun 1997 dan musim dingin tahun 1998.
Data yang dapat diperbandingkan secara nasional, isu desain survei dan tingkat tanggapan dibahas
dalam catatan tambahan. Masing-masing daftar pertanyaan telah dirancang guna
memperoleh informasi dari para pemimpin universitas dan institusi
pendidikan lebih tinggi berkenaan dengan
pertanyaan detail biografis dasar mencakup masa, jenis kelamin, kecakapan,
karier sebelumnya dan hal lain yang relevan seperti persepsi peran kepemimpinan
dan tanggung jawab. Data riwayat hidup ini menyediakan informasi yang dapat
diperbandingkan data tentang rektor di Inggris dan memungkinkan diamati secara nasional guna
kemajuan karier pekerjaan pada setiap sistem. Hasil pandangan para pemimpin
yang dikumpulkan tentang peran
kepemimpinan, prioritas dan pendekatan benchmark mengenai praktik di Eropa dan
di Amerika dengan perbandingann
evolusi kerektoran di Inggris.
Perbedaan
kontras antara kepresidenan dan kerektoran universitas berorientasi pasaran produk pendidikan tinggi
Amerika dan sistem Eropa yang didominasi oleh negara, dapat meremehkan
pemusatan kekuatan global yang akan berdampak pada evolusi kepemimpinan
eksekutif. Konsep seperti kapitalisme akademis, kewirausahaan, dan
komodifikasi telah maju, dilaksanakan
oleh berbagai penulis. Bagaimanapun, jika kekuatan unutk perubahan telah
menjadi lingkup global, suatu kebutuhan untuk mengidentifikasi perbedaan
regional dan lokal telah terpecahkan dalam praktik. Fungsi kepemimpinan
berhubungan erat dengan berbagai variasi praktek budaya dan organisasi di
berbagai negara..
Kebanyakan
model tanggung jawab kepemimpinan universitas
Amerika setuju bahwa presiden tergantung pada pengaruh pihak luar yakni
seperti pemerintah setempat atau badan koordinasi, tergantung pada status
universitas apakah sektor publik atau swasta. Kuasa mengatur badan tersebut
diatas patut dipertimbangkan, tetapi arahan aktual aktivitas kepemimpinan.
Secara umum presiden universitas di Amerika, terutama pada sistem multi kampus,
lebih tepat menggunakan pertanyaan tentang perencanaan keuangan terutama
pengumpulan dana dan terutama lobi politis dibanding dengan kebijakan akademis.
Bagaimana pun beberapa universitas
swasta mengharapkan presiden menginterpretasikan tanggung jawab didalam terminologi yang lebih
holistik sebagai akademik dan bahkan para pemimpin kepastoran (Giamatti,
1988). Peran ini dilontarkan oleh Kerr’s
(1964) berupa uraian klasik tentang presiden universitas Amerika sebagai suatu
individu multi-talenta yang menyelenggarakan banyak tugas, presiden universitas
di Amerika Serikat diharapkan dapat menjadi mitra para siswa, rekan kerja
fakultas, baik dengan para alumni, pengurus yang serasi dengan wali. Seorang
pembicara yang baik dengan masyarakat, seorang pelobi cerdik dengan pemerintah
pusat, politikus, mitra industri, tenaga kerja, dan pertanian, diplomat, juara
pendidikan, pendukung profesi terutama bidang hukum dan medis, juru bicara,
ahli, pegawai nasional, penggemar opera dan sepak bola.(Kerr, 1964 : 29-30 ).
Oleh
karena semua ini, tidak semua kajian terhadap presiden di universitas Amerika
setuju bahwa presiden dapat membuat perbedaan sebagai agen perubahan. Cohen dan
March (1974) dan Bennis ( 1976 ) cenderung kearah pandangan seperti inkonsistensi
dan ketidak-pastian tentang tujuan dan sasaran universitas sebagai organisasi
kepemimpinan adalah membingungkan dan kompromistis yang tidak dapat dielakan.
Analisis lain menunjuk peran yang sangat
penting tentang para pemimpin kelembagaan organisasi spesifik, misalnya
Baldridge (1971) telah berargumentasi bahwa presiden yang dinamis pada Reed,
Swarthmore and Antioch adalah agen kritis yang membawa institusi menjadi amju.
Di dalam menembus studi perubahan keorganisasian pada universitas New York, ia
memuji sebuah penghargaan publikasi kepada presiden universitas, James Hester;
sesuatu ditiggalkan dengan kesan, bahkan ditempat sangat besar, pengaruh dan
kontribusi presidennya adalah unik dan besar, ia adalah suatu pengurus yang
mampu dan pengelola dana yang sempurna dengan menyesuaikan kepada kepekaan
fakultas. Dugaan presiden universitas sebagai agen perubahan kritis adalah
kurang tepat dengan analisis terbaru yang melukiskan komoditas pendidikan
Amerikanya terus meningkat, dikemudikan oleh pasar dan ekonomi. Dari perspekrif
ini, pendidikan lebih tinggi terus meningkat, dipusatkan pada pemberi kerja
bukannya para siswa dan mengutamakan kebutuhan yang besar, pribadi,
trans-nasional, pemberi kerja dibanding kebutuhan, baik menengah maupun kecil,
publik dan pemberi pribadi. Kebutuhan pasar ini menuntut institusi lebih baik
dan membentuk wujud manajerial para pemimpin yang mampu bereaksi terhadap
masalah guru.
Di
dalam model ini, ada ruang untuk latihan tentang fungsi kepemimpinan, sensitas
ke fakultas, meski akhirnya bebas membuat keputusan dari atas ke bawah dengan
beberapa analisis yang menyarankan tidak akan dikenali oleh kepala perguruan
tinggi tradisonal terpilih (Trow, 1985). Walaupun model kepemimpinan ini
tampaknya tidak bebas dari fakultas untuk suatu perubahan, akhirnya pemimpin
yang efektif bisa memecat agen perubahan yang berperan sebab mengakses ke gaya
kepemimpinan yang eksekutif, dan presiden mengharapakan untuk mengatur kembali
dan menstratifikasi fakultas dan memulai perubahan di dalam produksi. Presiden
sebagai pimpinan eksekutif, akan terkekang oleh kolegial yang menganut konsep
keikut sertaan oleh berbagai bidang didalam pengambilan putusan penting.
Menururt Green (1997), model kepemimpinan eksekutif adalah manajemen tidak
duduk dengan nilai-nilai tradisional dalam tujuan akademi. Daya gerak
mengadopsi pimpinan eksekutif. Dibandingkan dengan model kepala perguruan tinggi terpilih harus jelas,
seperti memaksa institusi untuk lebih relevan kepengembangan ekonomi guna
dipertanggungjawabkan kepada publik, untuk menemukan sumber dana, dan untuk
mengambil suatu peran yang lebih aktif guna mengembangkan hubungan dengan
kelompok eksternal. Hal ini akan menjadi sulit bagi para pemimpin akademis
untuk mencapai keseimbangan diantara masalah pertama.
Di
Eropa dan bagian lain dunia, alternatif gaya kepemimpinan eksekutif mengenai
presiden Amerika adalah kerektoran. Kepala perguruan tinggi secara normal
dipilih oleh anggota senior institusi akademik dengan asumsi bahwa pemimpin
ditunjuk dari kelompok itu. Ada aspek politis yang jelas disini, bahwa calon
pemimpin perguruan tinggi melaksanakan kampanye untuk membangun basis pendukung
sebelum pemilihan. Sejak adanya gangguan siswa tahun 1968, dugaan kerektoran
sebagai lembaga politik telah diperkuat oleh suatu proses demokrasi
universitas. Trow’s (1985) mengemukakan bahwa kekuatan rektor terpilih dalam
membuat keputusan sangat dibatasi dibandingkan dengan presiden universitas. Dewan
pengambilan keputusan universitas adalah suatu bagian kunci yang sering mempersulit
struktur dan berbenturan dalam proses kepemimpinan. Menurut Green, tradisi
sistem pemilhan rektor tampaknya menjamin tenaga kepemimpinan akan terhalangi
(Green, 1997 : 140). Hal itu dimungkinkan, karena bagaiamanapun, rektor
terpilih dari kelompok akademis, sistem memberi manfaat kepemimipinan dan
kredibilitas di antara koleganya.
Walaupun ada hal yang nyata kontras
antara pemimpin eksekutif dan model kepemimpinan rektor, dalam praktik mungkin
ada konvergensi yang lebih besar diantara kedua pendekatan tersebut. Didalam
beberapa sistem seperti di Swedia dan Belanda, peran kepemimpinan demokrasi dan
peran koalisi tergantung pada tekanan pertumbuhan ke arah gaya yang lebih eksekutif sebagai
pengendalian yang telah diperlonggar dan menuntut pelayanan kelembagaan lebih
efisien. Beberapa negara di Eropa memaparkan keterikatan, tanggung jawab, dan
kewirausahaan yang sudah mulai merusak aspek pengawasan dan peraturan yang
menyebar, memonitor hubungannya dengan universitas. Liberalisasi sistem negara
telah memusatkan kembali perhatian pada peran kepemimpinan di dalam
rekonfigurasi misi universitas dan kemampuan mengubah permintaan sosial dan
ekonomi.
Kedua hal kerektoran Eropa dan
kepresidenan Amerika menawarkan pendekatan persuasif kepada pemimpin
kelembagaan. Bagaiman pun, pertanyaan akan muncul seperti apakah hal itu
meninggalkan perbedaan seperti model terapan. Keberagaman dan
pertanggungjawaban pasar dari gema model Amerika terus meningkat dengan
penyatuan dan strata sistem pendidikan tinggi Inggeris, dengan harapan bahwa
rektor berfungsi lebih seperti seorang pimpinan eksekutif korporat dibanding
dengan seorang rektor tradisional. Pada waktu yang sama, pendekatan mengenai
eropa meninggalakn pengaruh, bukan paling sedikit oleh karena hubungan dekat
antara Inggeris dan universitas lain di Eropa di dalam bidang perdagangan
regional di Eropa. Pada sesi berikutnya, bukti survei mengenai Eropa dan para
pemimpin Amerika dimaksudkan untuk membandingkannya dengan model rektor
Inggeris didalam suatu kerangka luas yang menggambarkan sifat tugas
kepemimpinan didalam sistem pendidikan tinggi lainnya.
Dari hasil kajian tentang karier
rektor dewasa ini bahwa salah satu kecenderungan kronis model Inggeris adalah
konsistensi dalam setiap janji pertemuan. Walaupun ada perbedaan sedikit antara
praktik universitas lama dan baru untuk menugaskan calon lebih tua dibandingkan
pada universitas baru, rata-rata usianya adalah 52 tahun. Dapat disimpulkan
bahwa disamping pergeseran kearah yang model yang lebih eksekutif, rektor masih
cenderung ingin dihormati sebagai suatu puncak karier akademis bergengsi.
Hasil survei menyediakan
dukungan terbatas terhadap tipe
kepemimpinan yang ideal. Di Amerika Serikat, umur rata-rata presiden
universitas yang dipilih adalah 49 tahun, yang termuda berusia 39 tahun dan
yang tertua 60 tahun saat penunjukannya. Di Belanda, rata-rata usia rektor saat
penunjukannya adalah 49 tahun, yang termuda 36 tahun dan yang tertua 61 tahun.
Di Swedia agak kontras yakni rata-rata usia rektor saat ditunjuk 52 tahun, termuda
37 tahun dan tertua 59 tahun.
Di Swedia seperti Inggeris, 87 %
rektor berasal dari akademisi karier, reflikasi kuat dengan pola Inggeris. Di
Belanda, 80 % rektor berasal langsung dari sektor pendidikan tinggi sebagai
pejabat karir. Di Amerika, hasil survei menyatakan bahwa 80 % presiden dari
pejabat karir di universitas, meskipun berasal dari luar universitas tersebut,
perekrutan terbesar berasal dari para praktisi profesional (6,5 %) dan hanya 3
% yang direkrut murni dari sektor korporat, serta proporsi yang sama direkrut
dari badan pendidikan tinggi pemerintah.
Terdapat sejumlah variasi penting
dari latar belakang pendidikan pejabat yang direkrut. Presiden universitas di
Amerika lebih dari 58 % didominasi displin bidang Seni, dan 21 % berasal dari disiplin
Ilmu Sosial. Rektor di Belanda, 15 % berkualifikasi Ilmu Sosial dan 12 % berkualifikasi disiplin
Ilmu Teknik.
Dari berbagai literatur menyatakan
bahwa kepemimpinan manajerial atas rektor memandu pemikiran seputar isu dan
masalah yang terlihat oleh pemimpin universitas sebagai prioritas. Hal ini
terjadi karena sebagai refleksi atas persepsi rektor dan situasi nyata yang
mengidentifikasi beberapa hal yang berbeda dan saling berhubungan. Hal ini
meliputi :
1.
Manajemen Sumber Daya Manusia
2.
Sistem Pengendalian
3.
Kewiraausahan dan Manfaat Kompetisi
4.
Perencanaan Strategik
5.
Perubahan Kultur
Presiden dan rektor telah diminta menyusun bidang kebijakan
yang dirasa penting dalam melaksanakan peran penting. Hasilnya menunjukan bahwa
rektor dinegara yang berada pada kedua belah sisi Atlantik secara bulat
menyatakan bahwa prioritas pertama adalah perencanaan strategik.
Karateristik organisasi dan tugas kepemimpinan mengandung
suatu persepsi menyediakan indikasi berharga bagaiamana pemimpin universitas
terkemuka dalam sistem nasional yange berbeda memandang universitas sebagai
organisasi. Terdapat empat hal pokok penjelasan mengenai universitas ;
1.
Lembaga pendidikan tinggi merupakan
organisasi kompleks, rektor berperan mengelola lembaga untuk bertahan hidup
2.
Lembaga pendidikan tinggi adalah
organisasi manajerial, rektor berperan menciptakan suatu tujuan dan arahan
korporat secara jelas.
3.
Lembaga pendidikan tinggi merupakan
sebuah organisasi kreatif, rektor berperan menciptakan suatu etos kerja dan
lingkungan yang mendorong inovasi.
4.
Lembaga pendidikan tinggi adalah
organisasi kolegial, peran rektor adalah melindungi integritas prosedur lembaga
dan membangun konsensus.
Pola persepsi Amerika dan Belanda merupakan yang paling
konsisten dalam merespons penjelasan gambaran univesitas yang telah dikemukaka
di atas.
Dalam kaitan dengan kinerja aktual tugas kepemimpinan, para
pemimpin mecoba membuat peringkat keempat kategoriketerampilan generik sesuai
peran pentingnya, yang diperoleh dari pengalman para rektor dinggris, yang
meliputi keterampilan antarpersonal, pengambilan keputusan, kerjasama tim, dan
manajmen informasi. Haislnya menunujukan pertimangan membuat peringkat
leketerampilan kepimimpinan universitas trans-atlantik. Kedua presiden dan
rektor mempertimbangkan keterampilan anatar personal sebagai hal yang
terpenting, diikuti oleh openngemabilan keputusn, kerjasama tim, dan manajemen
informasi.
Kesimpulan.
1. Kepemimpinan universitas menggunakan istilah yang
berbeda diberbagai negara, se[erti vice chancellor di inggeris dan beberapa negara
[persemakmuran. Amerika mengguankan istilah preesident, dan beberapa negara
eropa mengguankan istilah rektor.
2. Kepemimpinan uninversitas diamerika mengarah pada
mofdel pemasaran pendidiakn tinggi dan mengikuti gaya korporat, sedang
kepemimpinan dinggeris menonjolakn status, bukan memasarkan prosudk
universitas.
3. Dalam kaitan dengan kepemimpinan.m, terapayt hal
konvergensi dan divergensi dalam tugas kepemimpinan.
4. Terdapat kecenederungan melihat
universitas sebagai organisasi kreatif, yang diikuti oleh oragnaisasi kompleks.
Artikel sebelumnya:
No comments:
Post a Comment