Strategi
Reformasi Pendidikan di Daerah
Agar dapat mencapai hasil
yang maksimal maka reformasi pendidikan nasional harus diselenggarakan dengan
manajemen strategi yang baik. Tanpa strategi yang baik, maka reformasi
pendidikan di daerah akan lebih memperburuk mutu pendidikan nasional kita
secara umum dan kualitas pembangunan daerah secara khusus.
Tujuan dari Reformasi pendidikan di daerah adalah
untuk membangun dan membina kualitas pendidikan nasional yang sesuai dengan
potensi alam, kebudayaan dan lingkungan sosial masing masing daerah. Untuk
mencapai hal tersebut maka suatu perubahan terhadap tatanan organisasi mulai
dari unit yang tertinggi hingga ke unit
organisasi pendidikan yang paling rendah . Tentu ini adalah suatu pekerjaan
yang berat, namun mesti dilakukan demi
menopang eksistensi pembangunan bangsa.
Proses Reformasi merupakan suatu proses perubahan yang
terarah, sistematis dan berlangsung secara terus menerus. Perobahan tersebut
terutama di topang oleh 4 faktor yakni: kebutuhan akan perubahan (the need to change), kesiapan untuk
menerima perubahan (acceptability to
change), langkah untuk aksi meskipun kecil (small action step), kebersamaan dan kesediaan saling membagi
nilai (shared value).[1]
Secara jelas hal ini diuraikan sebagai
berikut:
1. The need to
change
Lao Tse pernah mengucapkan kata bijak bahwa tidak ada
yang kekal (tidak perubah) kecuali berubahan itu sendiri. Ini memberikan
pemahaman kepada kita bahwa kehidupan adalah suatu proses yang dinamis dan
senantiasa berubah. Demikian pula halnya dengan pendidikan sebagai media untuk
membentuk pengetahuan dan ketrampilan manusia, tetap tumbuh secara dinamis
mengikuti perkembangan dan perubahan peradaban manusia.
Sejak peradaban manusia memasuki masa renaisance –
yang ditandai oleh berkembangnya rasionalitas manusia – berbagai kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah di ciptakan oleh manusia.
Penemuan tersebut membawa dampak yang begitu besar terhadap kebudayaan dan
peradaban manusia. Puncak dari peradaban tersebut adalah hadirnya globalisasi.
Globalisasi merupakan fakta yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia. Drucker
menamakan era sekarang dengan istilah “the
age of discontinuity”, yakni suatu era dimana kita semua menghadapi
berbagai perobahan fundamental yang memutarbalikan keyakinan dan kepercayaan
kita terhadap paham-paham dan pengetahuan lama.[2]
Beberapa kondisi umum yang memicu perubahan adalah
sebagai berikut:
1. Strategic discontinuity dan kondisi disequilibrium
semakin meningkat;
2. Batas-batas industri semakin kabur;
3. Pasar bersifat kompetitif;
4. Penekanan secara ekstrim pada harga, kualitas dan
pemenuhan kebutuhan;
5. Peningkatan fokus pada inovasi dan pembelajaran kontinu;
6.
Perubahan
dinamika karir dan ekspektasi karyawan.[3]
2.
Acceptability to change
Perubahan
memerlukan dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, maka sebelum suatu program
perubahan (reformasi) di laksanakan terlebih dahulu mesti dilakukan analisa tingkat
penerimaan publik terhadap gagasan untuk merubah sistem dan organisasi. Bila
tidak didukung oleh publik, maka suatu program perubahan (reformasi) akan
gagal. Walker menyebut tahap ini sebagai penilaian lingkungan (environtmental assessment).[4]
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa ada tiga tahap yang penting untuk di
pertimbangkan dalam melakukan perobahan yakni: (1) penilaian lingkungan
strategi, (2) pengembangan strategi, (3) penerapan strategi.[5]
Dalam konteks Indonesia, maka
tingkat penerimaan publik tentang perubahan sistem pendidikan (acceptability to change) dapat di lihat
secara formil maupun faktual. Secara formil, kesediaan untuk berubah dapat
dilihat melalui perundang-undangan yang di tetapkan oleh MPR/DPR, dan
pemerintah tentang kebijakan otonomi daerah. Sementara secara faktual dapat di
lihat dengan tuntutan aksi masyarakat untuk memberikan kewenangan dan otonomi
yang besar kepada daerah kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1999,
telah dinyatakan bahwa urusan pendidikan merupakan urusan daerah, dan bukan
urusan pemerintah pusat.[6]
3.
Small action step
Tidak ada program yang dapat berjalan tanpa adanya
tindakan real di lapangan. Ini adalah langkah yang berat namun mesti
dilaksanakan meskipun banyak tantangan untuk merealisasikan suatu perobahan.
Machiavelly menyatakan sebagai berikut:
“there is nothing more difficult to carry out, or
more doubtfull of success, nor more dangerous to handle, than to initiate a new
order of things. For the reformer has enemies in all those who profit from the
old order, and lukewarm defenders in all those who would profit by the new
order”.[7]
Artinya,
tidak ada suatu hal yang lebih berbahaya untuk dilakukan, atau lebih meragukan
untuk sukses, atau tidak ada yang lebih berbahaya untuk ditangani, daripada
memulai sesuatu hal yang baru. Bagi seorang pembaharu (reformer) berhadapan
dengan musuh dari orang-orang yang mendapatkan manfaat dari orde lama, dan
dukungan yang suam-suam kuku dari mereka yang akan memperoleh keuntungan dari
adanya orde baru.
Demikian pula halnya dengan program reformasi
pendidikan yang merupakan program besar dan kompleks. Menurut laporan Komisi
Nasional Pendidikan, terdapat tiga golongan yang berbeda dalam menanggapi kebijakan Desentralisasi Pendidikan, yakni: pertama; yang menanggapi secara positif
dan ingin menjalankannnya secara
optimal, kedua; golongan yang masih
ragu dan enggan untuk menjalankan desentralisasi pendidikan, ketiga; golongan yang menanggapi secara
negatif kebijakan desentralisasi
pendidikan dan menginginkan re-sentralisasi pendidikan.[8]
Small
action telah diambil oleh bangsa kita yakni dengan
dimulainya implementasi otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001 yang lalu.
Meskipun Undang-Undang pendidikan yang baru menggantikan Undang-Undang
pendidikan No. 2 tahun 1989, belum di syahkan, tetapi dengan dibentuknya Komite
Reformasi Pendidikan Nasional, sudah merupakan langkah kecil yang bermanfaat
dalam rangka melakukan sebuah perubahan.
4.
Shared values
Agar proses reformasi pendidikan di daerah tetap
berlangsung dengan baik, hingga tercapainya tujuan, maka diperlukan kerjasama
dan saling pengertian antara berbagai pihak yang terlibat. Untuk mencapai hal
tersebut maka diantara pihak-pihak tersebut mesti tertanam rasa saling
percaya. Hal ini dapat dicapai dengan
upaya membangun kebersamaan dan saling berbagi nilai yang meliputi hasrat,
cita-cita pribadi, keinginan, kepercayaan, dan cinta terhadap pihak-pihak yang
terlibat.
Dalam konteks strategi manajemen maka reformasi
pendidikan di daerah memerlukan peninjauan ulang terhadap visi dan misi serta tujuan pendidikan nasional. Bila selama ini
kita hanya mengenal satu tujuan nasional pendidikan, maka dalam rangka
reformasi pendidikan, dapat di mungkinkan adanya visi, misi, dan tujuan pendidikan daerah yang berbeda tiap wilayah
dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional seperti termaktub dalam
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 menyatakan “mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, …”. [9]
Disamping tujuan nasional tersebut, tiap institusi pendidikan dimungkinkan
untuk menyusun visi dan misinya dalam rangka membangun mutu pendidikan
nasional. Menurut Hrebiniak dan Joyce, ada tiga tingkatan (levels) yang mesti
diperhatikan dan masing-masing melakukan secara paralel dan integral, yakni: tingkat corporate, tingkat operating units,
dan tingkat within operating units.[10]
Dalam konteks ini maka strategi reformasi pendidikan daerah menjadi hal yang
integral dengan reformasi pendidikan nasional. Dengan demikian, Departemen
Pendidikan Nasional merupakan level
corporate, sementara pemerintah daerah kabupaten/kota adalah operating unit levels, dan
sekolah-sekolah sebagai within operating
units levels.
Persyaratan lain yang sangat penting dalam rangka
melakukan reformasi dan perbaikan mutu pendidikan daerah adalah komitmen
pemimpin dan manajemen pada tingkat atas (top
management level or corporate) untuk menjalankan program ini. Tanpa
komitmen yang kuat maka suatu program perbaikan tidak akan membawa hasil yang
diharapkan.[11]
Berbagai penjelasan di atas dapat disimpulakan sebagai
berikut:
1.
Reformasi pendidikan di daerah
merupakan hal yang rasional dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan pada
berbagai daerah di Indonesia yang sangat terpuruk.
2.
Pada gilirannya perbaikan mutu
pendidikan di daerah akan membawa hasil pada perbaikan mutu pendidikan
nasional.
3.
Reformasi pendidikan tersebut mesti
dilakukan dengan strategi yang baik.
4.
Suatu proses reformasi dapat
berlengsung dengan didukung oleh 4 kondisi yakni: kebutuhan untuk berubah,
tingkat penerimaan publik, inisiatif aksi untuk berubah, dan kesediaan untuk
berbagi.
5.
Strategi tersebut mesti du dukung
oleh komitmen yang kuat pada tiap level manajemen mulai dari tingkat korporasi
hingga ketingkat unit, dalam manajemen pendidikan dimulai dari depdiknas, dinas
pendidikan daerah, hingga ke unit sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ciptono, Fandi. dan Diana, Anastasia. Total
Quality Management. Yogyakarta: Andi
Offset, 1995
Depdikbud, Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan Nasional, Jakarta: Balitbang
depdikbud, 1990
Depdiknas,
Laporan Komisi Nasional Pendidikan, (Jakarta: KNP, 2000
Hrebiniak, Lawrence G. and Joyce, William F. Implementing Strategy. New
York: Macmillan Publishing Company, 1984
Koopman, Albert. Transcultural
Management. Oxford UK: Blackwell Publisher, 1991
Lewis, Ralph G. and Douglas H. Smith. Total Quality in Higher Education,
(Florida: St Lucie Press, 1994
Walker.
William A. Strategic Management. New York: Mc Grow-Hill, 1995 Undang-Undang
No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
World Bank. Education
in Indonesia from Crisis to recovery.
World Bank Report No. 18651-IND, 1988
[1] Albert Koopman, Transcultural
Management, (Oxford UK: Blackwell
Publisher, 1991), p. 127
[2] Fandi Ciptono, dan Anastasia Diana,
Total Quality Management,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1995), p. 376
[3] Ibid.
[4] William A. Walker, Strategic
Management, (New York: Mc Grow-Hill, 1995), p. 163.
[5] Ibid.
[6] Undang-Undang No. 22 tahun
1999, tentang Pemerintahan Daerah, fasal.
[7] Lewis and Smith, op. cit,.
p. 233.
[8] Depdiknas, Laporan Komisi
Nasional Pendidikan, (Jakarta: KNP,
2000), p. 83
[9] Depdikbud, Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan
Nasional, (Balitbang depdikbud, 1990, )
p. 8
[10] Lawrence G. Hrebiniak and William F. Joyce, Implementing Strategy, (New
York: Macmillan Publishing Company,
1984), p. 56
[11] Lewis and Smith, op. cit., p. 216
No comments:
Post a Comment