Agama dan Masalah Pergeseran Nilai Budaya
Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang
bercorak normatif. Artinya, pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses
transformasi nilai yang pada akhirnya pendidikan hanya merupakan lembaga
konservasi yang leibh mengutamakan nilai-nilai tradisional.
Dalam sudut pandang yang lain pendidikan dipahami dalam kaitannya dengan
proses dialektika budaya. Hal ini berarti pendidikan diharapkan mempunyai peran
secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa
menunjukkan perubahan secara terus-menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi
budaya dan peradaban umat manusia.
Kontroversi mengenai orientasi pendidikan antara pendidikan di satu sisi
lebih menekankan pada aspek humaniora sementara di sisi lain lebih berorientasi
pada penguasaan teknologi pada dasarnya adalah merupakan refleksi dari adanya
dualisme pandangan antara pendidikan yang filosofis dengan kepentingan
prgamatis.
Pandangan integral ini didasarkan atas, pertama pendidikan pada dasarnya suatu instrumen strategis
pengembangan potensi dasar manusia, yaitu potensi moral karena dengan potensi
moral menjadi manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk
religius. Kedua, realits sosiologis
manusia yang selalu terlibat dengan proses dialektika fundamental dalam
kehidupan masyarakat. Ketiga,
terjadinya perubahan secara kontinue di masa depan baik secara evolutif maupun
revolutif tidak dapat dihindari.
Pandangan yang integral tersebut mengharuskan pendidikan perlu membuat
proyeksi tentang kecenderungan besar yang akan terjadi di masa depan. Hasil
proyeksi tersebut digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengadakan kaji ulang
terhadap makna pendidikan.
Sedikitnya
terdapat tiga kerangka teoritik yang sering digunakan untuk menjelaskan secara
substansial terjadinya perubahan dalam masyarakat. Ketiga kerangka teoritik
tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, teori yang memandang
perubahan sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi yang didukung oleh
teori evolusi dan neo-evolusi.
Kedua, teori sosial yang
memandang perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses
pertumbuhan dan pembentukan nilai-nilai. Teori Max Weber dan Mc. Clelland
termasuk dalam kategori ini.
Ketiga, teori yang memandang
bahwa perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan proses pembebasan dari
ketergantungan. Teori ini banyak dianut oleh para intelektual di negara-negara
berkembang.
Dari ketiga teori tersebut, yang menarik adalah teori yang memberikan
penekanan pada masalah nilai karena dalam studi antropologis sistem nilai
dipandang sebagai pedoman tertinggi bagi seluruh artikulasi perilaku manusia,
baik secara personal maupu sosial.
Dalam kebudayaan terdapat enam nilai dasar yaitu nilai teori, ekonomi,
estetika, sosial, politik, dan agama yang dapat dijadikan sebagai kerangkan
acuan oleh masyarakat karena keenam nilai dasar tersebut bersifat universal.
Yang berbeda adalah bagaimana cara masyarakat mempersepsikan dan
mengartikulasikannya.
Dalam masyarakat tradisional nilai teori terartikulasikan dalam bentuknya
yang bersifat mistik-intuitif sehingga bagi mereka agama mempunyai kedudukan
yang kuat karena dipandang mempunyai daya mistikal dalam rangka mencarai
sandaran legitimasi dalam proses pencarian kebenaran. Dalam nilai sosial, masyarakat tradisional
mengutamakan kehidupan kolektif.
Pola hubungan sosial pada masyarakat tradisional diartikulasikan dalam
bentuk komunal dan personal. Adapun dalam nilai ekonomi mereka lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Semantara dalam nilai politik
cenderung berorientasi pada kemapanan struktural.
Keenam dasar tersebut tidak akan mengalami pergeseran persepsi dan
artikulasi sejalan dengan semakin berkembangnya budaya dan peradaban
masyarakat. Semua nilai dasar itu tetap ada dalam masyarakat sebagai ciri
kultural mereka, tetapi kemudian akan dipersepsi dan diartikulasikan secara
berbeda ketika masyarakat berkembang dan berada dalam realitas kehidupan yang
baru.
Uraian di atas memunculkan persoalan mendasar mengenai kebutuhan terhadap
suatu kerangka nilai yang dapat memberikan orientasi yang pasti dan jelas dalam
konteks kehidupan yang terus mengalami perubahan. Bila tidak memilih sikap etis
dan kritis dalam pengembangannya maka akan mendatangkan implikasi kemanusiaan
yang secara negatif mempengaruhi masa depan umat manusia. Karena itu setelah
menyadari beberapa ekses negatif itu terdapat suatu kesadaran baru untuk
kembali kepada nilai-nilai agama.
Namun demikian agenda terpenting sekarang ini adalah bagaimana
merekontruksi peran agama tersebut dalam rangka revitalisasi dan transormasi
nilai-nilai agama. Dalam sosiologi agama terdapat dua peran penting agama,
yaitu peran directive system dan defensive system.
Peran directive system menempatkan
agama sebagai referensi utama dalam proses perubahan. Dalam hal ini agama tidak
lagi dipandang sebagai penghambat perubahan melainkan memberikan daya dorong
luar biasa bagi terciptanya perubahan yang konstruktif dan humanis bagi masa
depan umat manusia.
Peran defensive system menjadikan agama semacam kekuatan resistensial
bagi masyarakat ketika berada dalam lingkaran persoalan kehidupan yang semakin
kompleks di tengah derasnya arus perubahan. Dalam konteks demikian masyarakat
akan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa khawatir
serta ragu dalam menghadapi kehidupan. Namun demikian pendekatan tersebut tidak
hanya dilihat dari aspek agama saja karena agama mempunyai cakupan doktrinasi
yang universal.
Menyadari akan tantangan dan harapan terhadap peran agama maka persoalan
yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagimana ia mampu menghadirkan suatu
konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat.
Permasalahan yang muncul di lapangan saat ini adalah bahwa materi pendidikan
agama terlalu didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatf,
ritualistik dan eskatologis yang diperkuat oleh metode yang disampaikan dengan
semakat ortodoksi keagamaan yang memaksa peserta didik tunduk pada suatu
metanarasi yang ada tanpa diberi peluang untuk melakukan telah secara kritis.
No comments:
Post a Comment