HUBUNGAN PENDIDIKAN & ISLAM
Hubungan antara Islam
dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang.
Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat
mendasar, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dikalangan
kaum muslimin ada empat pendapat yang sering menimbulkan kontroversi, yaitu:
Pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurnaan – dari agama-agama
wahyu sebelumnya – adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan
umat manusia Kalangan ini biasanya mengemukakan
pernyataan, bahwa Islam mengatur dari permasalahan-permasalahan kecil, seperti
bagaimana adab atau tata cara masuk kamar kecil sampai pada masalah-masalah
kenegaraan, kemanusiaan, sistem ekonomi dan lain sebagainya. Termasuk
didalamnya adalah bidang pendidikan. Kelompok ini biasanya dijuluki dengan
kelompok “universalis” bersikap lebih radikal dan dalam mamahami Islam, umumnya
lebih skripturalis.
Kedua, berpendapat bahwa Islam
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Mengajak manusia
kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur.
Sedangkan urusan-urusan keduniaan, termasuk tentang pendidikan, manusia
diberikan hak otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang
diberikan kepada manusia. Kelompok ini berpendapat, pendidikan Islam itu tidak
ada, melainkan yang ada adalah pendidikan Islami.
Pendidikan menurut kelompok ini secara epistemologis berada dalam
kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan Islam. Islam hanya
menempati kawasan aksiologis, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada di
luar struktur ilmu pendidikan. Karena itu, yang disebut pendidikan Islam adalah
pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam, baik yang
dikelola oleh kaum muslim maupun yang bukan.
Ketiga, Islam bukanlah sebuah
sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sisem nilai dan norma
(perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan
berdasarkan setting sosial dan
dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara praktis, dalam Islam tidak
terdapat sistem ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya secara
tersurat dan baku. Akan tetapi, manusia – dalam hal ini umat Islam telah diberi
amanah sebagai khalifah dimuka bumi – diperintahkan untuk membangun sebuah
sistem kehidupan praksis dalam segala aspeknya dalam rangka mengamalkan nilai
dan norma Islam dalam kehidupan nyata.
Kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendikiawan yang secara
intelektual mampu menangkap “ide moral” atau “hikmah” diturunkan Islam. Islam
adalah pedoman hidup universal (sesuai dengan fitrah manusia), eternal (abadi),
dan kosmopolit (lengkap dan mendorong untuk berperadaban). Karenanya, sebagian
terbesar hanya berupa nilai-nilai dambaan manusia dari berbagai suku, bangsa
dan kurun waktu.
Keempat, Islam itu adalah
petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap
semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal
ini akan mematikan kreativitas dan memasung kebebasan manusia. Yang diberikan
petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-hal tertentu yang
dianggap khusus, krusial, dan memang tidak memerlukan kreativitas pemikiran
manusia. Misalnya, masalah ibadah mahdhah
dan beberapa hal yang berhubungan dengan keluarga, seperti kedudukan dan
hubungan kekeluargaan, masalah perkawinan dan waris.
Keempat pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang paling benar,
sehingga yang satu menyalahkan yang lain. Karena persoalan pemahaman sebenarnya
bersifat “relatif” kebenarannya. Sedangkan kebenaran yang absolut hanyalah
Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan persoalan hidup dan
kehidupan ini, menurut penulis, pendapat ketiga dan keempat lebih mendekati
kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, antara lain memudahkan dan mendorong
kepada kemajuan.
Terminologi Lembaga Pendidikan Islam sendiri paling sedikit memiliki tiga
pengertian, yaitu:
Pertama, lembaga pendidikan
Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat
mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan
itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini, Islam
dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga
pendidikan yang bersangkutan.
Kedua, lembaga pendidikan yang
memberikan perhatian dan penyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin
dalam program kajian Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan
diperlakukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga
pendidikan Islam yang bersangkutan.
Ketiga, mengandung kedua
pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai
sumaber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam
penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program
kajiannya.
Walaupun belum cukup memadai secara filsafati untuk disebut sebagai
pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih
mendasar. Hal ini sebagaimana diyakini oleh setiap muslim, bahwa Islam adalah
agama wahyu terakhir yang mengemban misi rahmatan
lil-alamin, yaitu terciptanya kerajaan dunia yang makmur, dinamis,
harmonis, dan lestari. Untuk mewujudkan rahmatan
lil-alammin, pada hakekatnya Allah telah memberikan pendidikan kepada
manusia dengan sempurna. Allah telah menciptakan manusia dengan unsur-unsur dan
perlengkapan sempurna, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan yang sesungguhnya sangat berat.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan
kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan,
manusia dan alam secara integratif. Dengan demikian, menurut Islam, pendidikan
adalah pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena
itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan
hidup yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup (long life education).
Selain itu pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan
kader-kader khlifah, sehingga secara
fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil-‘alamin.
Pendidikan Islam mempunyai dasar filosofis yang lebih mendalam dan
menyangkut persoalan hidup yang multi dimensional. Pendidikan Islam adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus
lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah
dalam rangka membangun kerjaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah, maka pendidikan Islam mestinya adalah
pendidikan yang paling ideal, karena tidak hanya berwawasan mendunia – apalagi
pragmentaris – tetapi juga berwawasan kehidupan secara utuh dan multi
dimensional. Tidak hanya berorientasi untuk membuat dunia menjadi sejahtera dan
gegap gempita, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia sebagai ladang, sekaligus ujian
untuk dapat lebih baik di akhirat.
Pendidikan Islam mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya
memanfaatkan persediaan alam, tetapi juga manusia yang mau bersukur kepada yang
membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia sebagai khalifah, dan memperlakukan alam tidak hanya objek penderita
semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan.
Sebagaimana kajian tentang hakekat pendidikan Islam menurut Dr. Hasim
Amir (1991) mengemukakan, pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik,
yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, dan berakar budaya
kuat. Adapun pendidikan yang idelistik ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pendidikan
integralistik mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan,
Manusia, dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya
kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah
pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan, dan individual-sosial.
Kedua, pendidikan yang humanistik
memandang manusia, yakni mahluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu.
Dengan pendidikan yang humanistik diharapkan bisa berpikir, berasa, dan
berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Ketiga, pendidikan yang pragramtik
adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai mahluk hidup yang selalu
membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan dan mengembangkan hidupnya, baik
bersifat jasmani maupun rohani.
Keempat, pendidikan yang
berakal budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar
sejarah, baik sejarah kemanusiaan maupun kebudayaan.
No comments:
Post a Comment