KONTINGENSI
KEBUDAYAAN TERHADAP KEPEMIMPINAN
Menyelenggarakan
perobahan adalah kebutuhan utama dan
mendesak bagi organisasi yang ada di negara yang sedang berkembang.
Kepemimpinan kharismatik menjadi gaya yang cocok untuk kondisi seperti itu.
Karena peran organisasi pada negara sedang berkembang adalah lebih sebagai
penyelenggara perobahan dari pada pemelihara status quo.
Untuk
menyelenggarakan perobahan yang efektif, memerlukan inisiatif, bimbingan dan usaha yang ulet dari
pemimpin-pemimpin kharismatik, terutama dalam mengembangkan strategi pada tiga
bidang yakni: (1) penilaian terhadap
lingkungan, (2) menentukan visi dan tanggapan terjadap lingkungan yang
kompleks, (3) pemberdayaan anggota untuk mencapai tujuan organisasi.
A. Makna dan kedudukan Etika dalam Ilmu Filsafat
Secara
sederhana etika merupakan salah satu cabang dari Filsafat. Ia adalah filsafat
yang merefleksikan ajaran-ajaran moral. Dengan kata lain, bahwa etika adalah
filsafat moral.[1]
James K. Fleibman, menyebutkan “One of
the most important branches of philosophy is ethic, the theory of the good.
Morality consists in socially adopted ethics”.[2] Artinya, salah satu cabang filsafat yang
paling penting adalah etika, teori
tentang hal yang baik.
Etika
berhubungan dengan pemikiran manusia dalam menentukan apakah sesuatu baik atau
buruk. Dan apakah alasan atau kriteria sesuatu itu di sebut baik atau buruk.
Secara praksis, ia berkaitan erat dengan moral dan tata susila. Moral merupakan
sekumpulan nilai yang dianggap baik oleh suatu masayarakat pada suatu waktu
tertentu. Demikian pula halnya dengan susila sebagai sekumpulan aturan yang
dianggap baik oleh suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu. Dalam konteks
ini, etika menjadi dasar bagi perumusan moral dan tata susila tersebut.
Dalam
komunikasi sehari-hari, baik untuk keperluan sosial ataupun keperluan akademis,
kata etika dan moral sering dipakai secara bersamaan atau bergantian. Hal ini
karena secara praksis, kedua kata tersebut mengandung makna yang mirip dan
mempunyai kesamaan etimologi. Secara etimologis, moral dan etika berarti
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Perbedaannya terletak pada sejarah
asal kata etika dan moral. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, sementara
moral berasal dari bahasa latin.[3]
Disamping
terdapat kemiripan dengan kata moral, pengertian kata etika sering dicampur
adukkan dengan pengertian istilah etiket. Kedua-duanya (etika dan etiket)
sama-sama ditujukan untuk menamakan bentuk perilaku manusia dan bersifat
pengatur secara normatif. Tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat
prinsipil. Beberapa perbedaan makna yang penting antara etika dan etiket antara
lain: (1) etika menyoroti baik atau buruk, boleh atau tidak boleh, suatu
perbuatan itu dilakukan, sementara etiket menyorot tentang bagaimana suatu
perbuatan yang baik itu semestinya dilakukan; (2) etiket hanya berlaku dalam
hubungan dengan orang lain, sementara etika tetap berlaku meskipun tanpa
kehadiran orang lain; (3) etika bersifat lebih absolut dari pada etiket,
demikian pula sebaliknya etiket bersifat lebih relatif daripada etika; (4) etiket
memandang manusia dari segi lahiriahnya, sementara etika menadang manusia dari
segi dalamnya.[4]
B. Hubungan antara etika dan kepemimpinan
Kepemimpinan
merupakan wacana yang mengemuka dalam kajian organisasi. Kata kepemimpinan
selalu identik dengan pembahasan tentang organisasi, kelompok sosial, geng, dan
lain-lain. Dalam hal ini maka kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan
mempengaruhi orang lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah disetujui
bersama.[5] Makna yang mirip dikemukakan oleh Robbins
bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah
pencapaian tujuan”.[6]
Dalam proses
kehidupan bersama pada suatu organisasi, maka terjadilah hubungan dan pola
interaksi yang kompleks antara sesama anggota dengan pimpinannya. Hal ini
melahirkan konsekwensi dan dinamika yang kompleks pula. Ia melahirkan efek dominasi, antara kepribadian yang kuat
dan berpengaruh terhadap yang lainnya. Dan pada taraf yang ekstrim hal ini
dapat melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam
konteks seperti itulah maka dimensi etika dalam kehidupan organisasi sangat di
butuhkan, terutama bagi seorang pemimpin dalam mengarahkan dan mempengaruhi
anggotanya. James K. Fleibman menyatakan “One
great use of philosophy is to establish social organizations on some kind of
permanent basis. The amount of philosophy involved depends partly on the size of the social organization.[7] Artinya, salah satu kegunaan yang paling
utama dari filsafat adalah untuk membangun suatu organisasi sosial berdasarkan
atas suatu aturan yang baku.
Wacana etika
dalam kehidupan organisasi, dan hubungannya dengan kepemimpinan, secara
historis, mengemuka setelah terjadi fakta bahwa banyak organisasi yang hancur
di sebabkan oleh pemimpin yang rusak mentalnya. Perilaku pemimpin yang
menyebabkan rusaknya organisasi misalnya; penyuapan, korupsi, kolusi,
nepotisme, dan lain-lain. Pada tahun 1980-an di Amerika hal tersebut menjadi
peristiwa memprihatinkan karena melanda seluruh organisasi seperti organisasi
bisnis, pemerintahan, agama, hukum, pendidikan, dan sebagainya.[8]
Peristiwa
ini kemudian melahirkan kesadaran di kalangan ahli filsafat dan ahli pendidikan
negara maju untuk memperhatikan etika dan mengajarkannya dalam pendidikan.
Etika kemudian dimasukkan dalam kurikulum pendidikan manajemen (manajemen education). Hal ini bertujuan
agar para pemimpin dan manajer lembaga bisnis, pemerintahan, hukum, dan sosial
politik, mempunyai landasan pengetahuan dan sikap yang berbasis etika, sehingga
keputusan organisasi selalu memperhatikan pertimbangan etis[9].
Seiring
dengan perkembangan tersebut, lahirlah trend baru dibidang filsafat moral yakni
etika terapan (applied athics) dan
biasa juga disebut dengan istilah filsafat terapan (applied philosophy). Meskipun istilah ini sudah diperkenalkan dan
dibahas oleh Plato dan Aristoteles, namun pada abad ke-20 kehadirannya menjadi
sangat aktual dalam merespon perkembangan zaman, yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama ilmu pengetahuan
ekonomi-bisnis dan perang nuklir.
Cabang-cabang
etika terapan (applied ethics) yang
banyak mendapat perhatian pada saat ini adalah etika kedokteran, etika bisnis,
etika perang dan damai (termasuk masalah persenjataan nuklir), dan etika
lingkungan hidup. Bertens membangi etika terapan dalam dua bagian besar, yakni:
makroetika dan mikroetika. Makroetika berhubungan dengan pembahasan moral dalam
skala besar, dalam arti membawa pengaruh yang luas terhadap kehidupan umat
manusia. Sementara mikroetika berhubungan dengan pembahasan moral dalam skala
kecil, atau membawa pengaruh yang relatif terbatas, yakni dalam konteks
hubungan individual.[10]
Dalam
tataran seperti diatas, maka makroetika berhubungan dengan fungsi kepemimpinan.
Seorang pemimpin mesti mengarahkan sumberdaya yang dimiliki oleh organisasinya
agar berperan secara maksimal mengaktualisasikan misi dan tujuan organisasinya
dengan tidak melanggar bingkai etika. Hal ini berlaku untuk pemimpin organisasi
kedokteran, pemimpin organisasi bisnis, pemimpin organisasi politik atau
pemimpin negara, maupun pemimpin organisasi lingkungan.
Dalam
konteks makroetika, seorang pemimpin organisasi lingkungan dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap eksploitasi lingkungan. Pada satu sisi ia membawa
kemajuan bagi ekonomi suatu negara tetapi disisi lain membawa bancana alam bagi
komunitas masyarakat tertentu dan populasi makhluk hidup yang berakhir pada
hilangnya keseimbangan ekosistem.
Seorang
pemimpin negara atau partai politik, dituntut untuk bertanggung jawab terhadap
penegakkan keadilan atas hak dan kewajiban warga-negaranya. Disatu sisi, negara
memerlukan warganegara yang tunduk dan patuh pada pemimpin negara. Negara
memerlukan hargadiri, pengakuan, dan kedaulatan. Organisasi politik memerlukan
anggota yang loyal pada doktrin partai. Tetapi pada sisi lain hal tersebut dapat
melahirkan kesenjangan sosial, pelecehan hak-hak dan kebebasan individu, dan
secara ekstrim melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Seorang
pemimpin organisasi bisnis, dituntut bertanggung jawab terhadap
sirkulasi barang dan jasa secara layak kepada masyarakat. Disatu sisi ia
dituntut untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, demi menjamin
kelangsungan organisasinya. Tetapi pada sisi lain, ini bisa melahirkan
manipulasi, korupsi, eksploitasi terhadap buruh dan tenaga kerja.
Seorang pemimpin
organisasi kedokteran dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan umat
manusia. Berbagai temuan ilmu pengetahuan dibidang kedokteran seperti klonning
dan GMO (genetic modified organism),
euthanasia, transplantasi, sangat rentan terhadap pengaruh kekuasaan. Pemimpin
organisasi kedokteran dituntut untuk memanfaatkan temuan tersebut demi kemaslahatan umat
manusia.
Pemimpin
yang melalaikan nilai-nilai etika dalam setiap keputusannya, dapat melahirkan
sikap arogansi, yang berakibat malapetaka terhadap kehidupan ummat manusia.
Dalam kata-kata Leo Schilard disebut
dengan istilah tragedy of mankind[11].
Tragedi tersebut terjadi karena temuan ilmu pengetahuan yang dimotivasi oleh
tujuan membangun peradaban manusia yang lebih maju dimanfaatkan untuk membunuh
peradaban manusia itu sendiri. Pemimpin yang mengambil keputusan tentang ‘boleh
atau tidak boleh’ suatu tindakan dilakukan, tidak dilandasi oleh pemahaman dan
penghayatan tentang makroetika, tetapi oleh arogansi.
Pemimpin
yang arogans, cenderung untuk menjalankan dan memanfaatkan organisasi demi
kepentingan golongan atau pribadinya. Hal ini bertentangan dengan kepemimpinan
yang dijiwai oleh watak dan perilaku altruistik (seperti dibawas dalam buku
ini). Pemimpin seperti ini lebih mendahulukan dan menempatkan kepentingan umum
dan organisasi diatas kepentingan pribadi atau golongannya.
Altruistik
yang cocok adalah bentuk Utilitarian/mutual
altruism; perilaku dimana seseorang memberikan keuntungan kepada orang lain
dan dirinya sendiri.[12]
*Beberapa artikel relevan:
[1] Frans Magnis Suseno, at.
al, Etika Sosial, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991), p. 6
[2] James K. Fleibman, Understanding Philosophy, (Calcuta, Jaico Publishing Housing,
1996), p. 15
[4] ibid, p. 11
[5] Donnelly, Gibson,
Ivancevich, Organization, (USA, Business Publications, Inc., 1985), p. 362.
[6] Stephen P. Robbins,
Perilaku Organisasi, jilid 2, terjemah: Hadyana Pudjaatmaja, (Jakarta,
Prenhallindo, 1996), p. 39
[9] Ibid.
[12] Penjelasan tentang
macam-macam perilaku Altruisme terdapat pada halaman 10-11, dari teks ini.
No comments:
Post a Comment