Sunday, March 17, 2013

Kebudayaan dan Kepemimpinan



KONTINGENSI KEBUDAYAAN TERHADAP KEPEMIMPINAN
Menyelenggarakan perobahan  adalah kebutuhan utama dan mendesak bagi organisasi yang ada di negara yang sedang berkembang. Kepemimpinan kharismatik menjadi gaya yang cocok untuk kondisi seperti itu. Karena peran organisasi pada negara sedang berkembang adalah lebih sebagai penyelenggara perobahan dari pada pemelihara status quo.
            Untuk menyelenggarakan perobahan yang efektif, memerlukan  inisiatif, bimbingan dan usaha yang ulet dari pemimpin-pemimpin kharismatik, terutama dalam mengembangkan strategi pada tiga bidang yakni: (1)  penilaian terhadap lingkungan, (2) menentukan visi dan tanggapan terjadap lingkungan yang kompleks, (3)  pemberdayaan anggota  untuk mencapai tujuan organisasi.
A. Makna dan kedudukan Etika dalam Ilmu Filsafat
Secara sederhana etika merupakan salah satu cabang dari Filsafat. Ia adalah filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral. Dengan kata lain, bahwa etika adalah filsafat moral.[1] James K. Fleibman,  menyebutkan  One of the most important branches of philosophy is ethic, the theory of the good. Morality consists in socially adopted ethics”.[2]  Artinya, salah satu cabang filsafat yang paling penting adalah  etika, teori tentang hal yang baik.
Etika berhubungan dengan pemikiran manusia dalam menentukan apakah sesuatu baik atau buruk. Dan apakah alasan atau kriteria sesuatu itu di sebut baik atau buruk. Secara praksis, ia berkaitan erat dengan moral dan tata susila. Moral merupakan sekumpulan nilai yang dianggap baik oleh suatu masayarakat pada suatu waktu tertentu. Demikian pula halnya dengan susila sebagai sekumpulan aturan yang dianggap baik oleh suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu. Dalam konteks ini, etika menjadi dasar bagi perumusan moral dan tata susila tersebut.
Dalam komunikasi sehari-hari, baik untuk keperluan sosial ataupun keperluan akademis, kata etika dan moral sering dipakai secara bersamaan atau bergantian. Hal ini karena secara praksis, kedua kata tersebut mengandung makna yang mirip dan mempunyai kesamaan etimologi. Secara etimologis, moral dan etika berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Perbedaannya terletak pada sejarah asal kata etika dan moral. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, sementara moral berasal dari bahasa latin.[3]
Disamping terdapat kemiripan dengan kata moral, pengertian kata etika sering dicampur adukkan dengan pengertian istilah etiket. Kedua-duanya (etika dan etiket) sama-sama ditujukan untuk menamakan bentuk perilaku manusia dan bersifat pengatur secara normatif. Tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsipil. Beberapa perbedaan makna yang penting antara etika dan etiket antara lain: (1) etika menyoroti baik atau buruk, boleh atau tidak boleh, suatu perbuatan itu dilakukan, sementara etiket menyorot tentang bagaimana suatu perbuatan yang baik itu semestinya dilakukan; (2) etiket hanya berlaku dalam hubungan dengan orang lain, sementara etika tetap berlaku meskipun tanpa kehadiran orang lain; (3) etika bersifat lebih absolut dari pada etiket, demikian pula sebaliknya etiket bersifat lebih relatif daripada etika; (4) etiket memandang manusia dari segi lahiriahnya, sementara etika menadang manusia dari segi dalamnya.[4]  

B. Hubungan antara etika dan kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan wacana yang mengemuka dalam kajian organisasi. Kata kepemimpinan selalu identik dengan pembahasan tentang organisasi, kelompok sosial, geng, dan lain-lain. Dalam hal ini maka kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah disetujui bersama.[5]  Makna yang mirip dikemukakan oleh Robbins bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan”.[6]
Dalam proses kehidupan bersama pada suatu organisasi, maka terjadilah hubungan dan pola interaksi yang kompleks antara sesama anggota dengan pimpinannya. Hal ini melahirkan konsekwensi dan dinamika yang kompleks pula. Ia melahirkan  efek dominasi, antara kepribadian yang kuat dan berpengaruh terhadap yang lainnya. Dan pada taraf yang ekstrim hal ini dapat melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks seperti itulah maka dimensi etika dalam kehidupan organisasi sangat di butuhkan, terutama bagi seorang pemimpin dalam mengarahkan dan mempengaruhi anggotanya. James K. Fleibman menyatakan “One great use of philosophy is to establish social organizations on some kind of permanent basis. The amount of philosophy involved depends partly on  the size of the social organization.[7]  Artinya, salah satu kegunaan yang paling utama dari filsafat adalah untuk membangun suatu organisasi sosial berdasarkan atas suatu aturan yang baku.
Wacana etika dalam kehidupan organisasi, dan hubungannya dengan kepemimpinan, secara historis, mengemuka setelah terjadi fakta bahwa banyak organisasi yang hancur di sebabkan oleh pemimpin yang rusak mentalnya. Perilaku pemimpin yang menyebabkan rusaknya organisasi misalnya; penyuapan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain. Pada tahun 1980-an di Amerika hal tersebut menjadi peristiwa memprihatinkan karena melanda seluruh organisasi seperti organisasi bisnis, pemerintahan, agama, hukum, pendidikan, dan sebagainya.[8]
Peristiwa ini kemudian melahirkan kesadaran di kalangan ahli filsafat dan ahli pendidikan negara maju untuk memperhatikan etika dan mengajarkannya dalam pendidikan. Etika kemudian dimasukkan dalam kurikulum pendidikan manajemen (manajemen education). Hal ini bertujuan agar para pemimpin dan manajer lembaga bisnis, pemerintahan, hukum, dan sosial politik, mempunyai landasan pengetahuan dan sikap yang berbasis etika, sehingga keputusan organisasi selalu memperhatikan pertimbangan etis[9].
Seiring dengan perkembangan tersebut, lahirlah trend baru dibidang filsafat moral yakni etika terapan (applied athics) dan biasa juga disebut dengan istilah filsafat terapan (applied philosophy). Meskipun istilah ini sudah diperkenalkan dan dibahas oleh Plato dan Aristoteles, namun pada abad ke-20 kehadirannya menjadi sangat aktual dalam merespon perkembangan zaman, yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama ilmu pengetahuan ekonomi-bisnis dan perang nuklir.
Cabang-cabang etika terapan (applied ethics) yang banyak mendapat perhatian pada saat ini adalah etika kedokteran, etika bisnis, etika perang dan damai (termasuk masalah persenjataan nuklir), dan etika lingkungan hidup. Bertens membangi etika terapan dalam dua bagian besar, yakni: makroetika dan mikroetika. Makroetika berhubungan dengan pembahasan moral dalam skala besar, dalam arti membawa pengaruh yang luas terhadap kehidupan umat manusia. Sementara mikroetika berhubungan dengan pembahasan moral dalam skala kecil, atau membawa pengaruh yang relatif terbatas, yakni dalam konteks hubungan individual.[10]
Dalam tataran seperti diatas, maka makroetika berhubungan dengan fungsi kepemimpinan. Seorang pemimpin mesti mengarahkan sumberdaya yang dimiliki oleh organisasinya agar berperan secara maksimal mengaktualisasikan misi dan tujuan organisasinya dengan tidak melanggar bingkai etika. Hal ini berlaku untuk pemimpin organisasi kedokteran, pemimpin organisasi bisnis, pemimpin organisasi politik atau pemimpin negara, maupun pemimpin organisasi lingkungan.
Dalam konteks makroetika, seorang pemimpin organisasi lingkungan dituntut untuk bertanggung jawab terhadap eksploitasi lingkungan. Pada satu sisi ia membawa kemajuan bagi ekonomi suatu negara tetapi disisi lain membawa bancana alam bagi komunitas masyarakat tertentu dan populasi makhluk hidup yang berakhir pada hilangnya keseimbangan ekosistem.
Seorang pemimpin negara atau partai politik, dituntut untuk bertanggung jawab terhadap penegakkan keadilan atas hak dan kewajiban warga-negaranya. Disatu sisi, negara memerlukan warganegara yang tunduk dan patuh pada pemimpin negara. Negara memerlukan hargadiri, pengakuan, dan kedaulatan. Organisasi politik memerlukan anggota yang loyal pada doktrin partai. Tetapi pada sisi lain hal tersebut dapat melahirkan kesenjangan sosial, pelecehan hak-hak dan kebebasan individu, dan secara ekstrim melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
 Seorang  pemimpin organisasi bisnis, dituntut bertanggung jawab terhadap sirkulasi barang dan jasa secara layak kepada masyarakat. Disatu sisi ia dituntut untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, demi menjamin kelangsungan organisasinya. Tetapi pada sisi lain, ini bisa melahirkan manipulasi, korupsi, eksploitasi terhadap buruh dan tenaga kerja.
Seorang pemimpin organisasi kedokteran dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan umat manusia. Berbagai temuan ilmu pengetahuan dibidang kedokteran seperti klonning dan GMO (genetic modified organism), euthanasia, transplantasi, sangat rentan terhadap pengaruh kekuasaan. Pemimpin organisasi kedokteran dituntut untuk memanfaatkan  temuan tersebut demi kemaslahatan umat manusia.
Pemimpin yang melalaikan nilai-nilai etika dalam setiap keputusannya, dapat melahirkan sikap arogansi, yang berakibat malapetaka terhadap kehidupan ummat manusia. Dalam kata-kata Leo Schilard  disebut dengan istilah tragedy of mankind[11]. Tragedi tersebut terjadi karena temuan ilmu pengetahuan yang dimotivasi oleh tujuan membangun peradaban manusia yang lebih maju dimanfaatkan untuk membunuh peradaban manusia itu sendiri. Pemimpin yang mengambil keputusan tentang ‘boleh atau tidak boleh’ suatu tindakan dilakukan, tidak dilandasi oleh pemahaman dan penghayatan tentang makroetika, tetapi oleh arogansi.
Pemimpin yang arogans, cenderung untuk menjalankan dan memanfaatkan organisasi demi kepentingan golongan atau pribadinya. Hal ini bertentangan dengan kepemimpinan yang dijiwai oleh watak dan perilaku altruistik (seperti dibawas dalam buku ini). Pemimpin seperti ini lebih mendahulukan dan menempatkan kepentingan umum dan organisasi diatas kepentingan pribadi atau golongannya.
Altruistik yang cocok adalah bentuk Utilitarian/mutual altruism; perilaku dimana seseorang memberikan keuntungan kepada orang lain dan dirinya sendiri.[12]
  
*Beberapa artikel relevan:

[1] Frans Magnis Suseno, at. al, Etika Sosial,  (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991), p. 6
[2] James K. Fleibman, Understanding Philosophy, (Calcuta, Jaico Publishing Housing, 1996),  p. 15
[3] Bertens. K, Etika,  (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001),  p. 7
[4] ibid, p.  11
[5] Donnelly, Gibson, Ivancevich, Organization, (USA, Business Publications, Inc., 1985), p. 362.
[6] Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, jilid 2, terjemah: Hadyana Pudjaatmaja, (Jakarta, Prenhallindo, 1996), p. 39
[7] Fleibman, Loc.cit,  p.  16
[8] Thomas R. Piper, Can Ethic be Thought?  (Boston, Harvard Business school, 1993),  p. 18
[9] Ibid.
[10] Bertens, loc. cit,  p.  271.
[11] J. Bronowski, The Ascent of Man,  (Toronto, Little, Brown and company, 1973), p.  370
[12] Penjelasan tentang macam-macam perilaku Altruisme terdapat pada halaman 10-11, dari  teks ini.

No comments:

Post a Comment