PERAN DIALOG DALAM PENDIDIKAN
Artikel ini merupakan analisis singkat yang bersifat parafrase dari
bukunya Paulo Freire. Dinyatakan bahwa dialog adalah bentuk komunikasi yang populer dengan menggunakan ‘kata’
sebagai alat untuk melukiskan dunia. Apa yang diucapkan dalam kata-kata pada
hakikatnya adalah refleksi tentang dunia dan upaya untuk mentransformasi dunia
empirik.
Kata, sebagai alat
mentransformasi dunia mempunyai dua dimensi utama yakni aksi dan refleksi.
Penggabungan secara fungsional kedua dimensi tersebut dinamakan dengan praksis.
Suatu kata mesti mempunyai makna praksis, yakni penggabungan aksi dan refleksi.
Kata yang tidak mengandung dimensi aksi, akan kehilangan makna esensial sebagai
alat mentrasformasi dunia. Ini dinamakan verbalisme. Demikian pula sebaliknya,
kata yang mengabaikan dimensi refleksi
akan melahirkan aktivisme, yakni tindakan demi tindakan tanpa dialog.
Prasyarat
terbangunnya Dialog
v Cinta-kasih terhadap dunia dan
manusia. Karena dialog adalah upaya
untuk menamai dunia yang kita lihat, kepada orang lain, maka tanpa rasa cinta
kepadanya, suatu dialog mustahil dapat terjadi. Cinta kasih melahirkan tanggung
jawab dan saling berbagi bukan mendominasi apalagi menindas.
v Rendah hati terhadap sesama manusia.
Karena dialog adalah aktifitas pertemuan sesama mnusia untuk memaknai realitas,
belajar secara bersama. Hal tersebut tidak terjadi jika seseorang merasa
dirinya lebih pintar atau lebih hebat dari manusia lainya. Karena pada hakikatnya tidak ada manusia yang
sama sekali tidak tahu atau serba tahu; yang ada hanyalah manusia yang
sama-sama berusaha untuk mengetahui lebih banyak dari sebelumnya.
v Saling percaya; ini merupakan
prasyarat a priori bagi terbangunnya dialog. Tetapi rasa saling percaya
tersebut tidak berarti menghilangkan sikap kritis terhadap dialog.
v Harapan; ini berangkat dari
kenyataan bahwa manusia memulai segalanya dari
ketidaklengkapannya. Dan bersama-sama dengan orang lain ia berusaha
untuk memenuhi segala kekurangannya. Sikap putus asa berarti bungkap dan lari
dari kenyataan.
v Kritis; yakni pemikiran yang
melibatkan solidaritas yang tak dapat dibagi-bagi antara dunia dan manusia. Dan pemikiran yang
memandang realitas sebagai suatu proses transformasi yang dinamis, dan bukan
statis.pemikiran kritis ini berlawanan dengan pemikiran naif.
Ada
dua golongan dalam perspektif sejarah
pembebasan masyarakat, yakni golongan status quo, sebagai kaum yang memperoleh
kebebasan dan menindas golongan lain disatu sisi; dan golongan revolusioner, sebagai kaum yang
berusaha bangkit dari penindasan kaum status-quo. Golongan pertama menggunakan
pendekatan ‘anti-dialog’ dalam upayanya untuk melestarikan posisinya, sementara
goongan kedua menggunakan pendekatan ‘dialog’ dalam upoayanya untuk membebaskan
diri dari penindasan.
Hal tersebut kemudian
melahirkan ‘teori aktifitas revolusioner’ dan ‘teori aktifitas penindasan’
yang berbeda secara diametral
antara kedua golongan tersebut. Dalam melestarikan dan menjalani kehidupannya
maka kedua golongan menggunakan strategi yang berbeda.
Strategi kaum penindas mempertahankan
status-quo
1. Penaklukan; merupakan cara mereka
untuk tetap mendominasi kaum tertindas. Mereka selalu membangun hubungan
menang-kalah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menang dan menaklukkan
aum tertindas, mulai dari cara yang halus seperti pelestarian budaya
paternalistik, serta menanaman mitos-mitos menyesatkan, hingga pada cara
kekerasan. Tujuannya adalah mengalienasi kaum tertindas terhadap dunia real dan
membiarkan mereka tetap pasif.
2. Pecah-belah dan kuasai; untuk
bersatu dan membaur dengan kaum tertindas adalah tidak mungkin. Dan untuk
melestarikan statusnya, mereka memnciptakan perpecahan dikalangan kaum
tertindas, dengan bebagai macam cara. Cara yang banyak dilakukanterkadang tidak
disadari oleh kaum tertindas seperti
mitos, latihan kepemimpinan, pembangunan wilayah berdasarkan pengelompokkan
masyarakat.
3. Manipulasi; adalah upaya membius
masyarakat (kaum tertindas) agar tidak dapat berpikir kritis dan mandiri. Hal
ini sangat efektif untuk masyarakat yang belum melek politik. Penindas
berpandangan bahwa munculnya pemikiran kritis dan kemandirian akan melahirkan
‘kesadaran revolusioner’.
4. Invasi budaya; ini dilakukan dengan
menyodorkan filsafat hidup mereka kepada kaum tertindas dan menghalangi
kreatifitas kelompok. Hal ini akan membawa pada hilangnya keotentikan budaya
kaum tertindas, sehingga mereka menjadi terombang-ambing tanpa pegangan hidup.
Strategi kaum revolusioner melakukan
pembebasan:
1. Kerjasama; hal ini menitik beratkan
pada pentingnya komunikasi antara pemimpin dan kaum tertindas. ‘Saya dan Anda
adalah dua subyek yang bertanggung
jawab. Bahkan untuk tujuan revolusi sekalipun, seorang pemimpin tidak dibolehkan menaklukkan atau
memanipulasi rakyat, karena haltersebut tidak efektif dan bertentangan dengan
nilai-nilai humanisme. Oleh karena itu, pengikutan diri kepada pahlawan
revolusi pada hakekatnya adalah pengikutan pada
kebebasan. Dukungan kepada pemimpin merupakan pilihan bebas kaum
tertindas.
2. Persatuan untuk pembebasan; pemimpin
revolusioner harus mengabdikan dirinya secara tak jemu-jemu untuk
mempersatukan golongan tertindas dan
menjaga persatuan antara pemimpin kaum tertindas dalam rangka mencapai pembebasan.
Hal ini merupakan tugas berat yang
3. Organisasi; sekuens dari kegiatan
kerjasama dan persatuan di wujudkan secara sinergis dalam organisasi tertentu
sebagai alat perjuangan merealisasi kebebasan.
4. Sintesa budaya; adalah upaya
mempertemukan berbagai aktifitas budaya yang secara dialektis berlawanan dalam
suatu struktur sosial budaya. Keadaan stabil mesti berhubungan secara dialektis
dengan berbagai perubaha yang dinamis. Hal ini mesti dijaga secara rapi, agar
tidak mengorbankan gerakan revolusioner dan kebebasan.
No comments:
Post a Comment