Monday, May 20, 2013

Peran dialog untuk Pendidikan


PERAN DIALOG DALAM PENDIDIKAN

Artikel ini merupakan analisis singkat yang bersifat parafrase dari bukunya Paulo Freire. Dinyatakan bahwa dialog adalah bentuk komunikasi yang populer dengan menggunakan ‘kata’ sebagai alat untuk melukiskan dunia. Apa yang diucapkan dalam kata-kata pada hakikatnya adalah refleksi tentang dunia dan upaya untuk mentransformasi dunia empirik.
Kata, sebagai alat mentransformasi dunia mempunyai dua dimensi utama yakni aksi dan refleksi. Penggabungan secara fungsional kedua dimensi tersebut dinamakan dengan praksis. Suatu kata mesti mempunyai makna praksis, yakni penggabungan aksi dan refleksi. Kata yang tidak mengandung dimensi aksi, akan kehilangan makna esensial sebagai alat mentrasformasi dunia. Ini dinamakan verbalisme. Demikian pula sebaliknya, kata yang  mengabaikan dimensi refleksi akan melahirkan aktivisme, yakni tindakan demi tindakan tanpa dialog.

Prasyarat terbangunnya Dialog
v Cinta-kasih terhadap dunia dan manusia.  Karena dialog adalah upaya untuk menamai dunia yang kita lihat, kepada orang lain, maka tanpa rasa cinta kepadanya, suatu dialog mustahil dapat terjadi. Cinta kasih melahirkan tanggung jawab dan saling berbagi bukan mendominasi apalagi  menindas.
v Rendah hati terhadap sesama manusia. Karena dialog adalah aktifitas pertemuan sesama mnusia untuk memaknai realitas, belajar secara bersama. Hal tersebut tidak terjadi jika seseorang merasa dirinya lebih pintar atau lebih hebat dari manusia lainya.  Karena pada hakikatnya tidak ada manusia yang sama sekali tidak tahu atau serba tahu; yang ada hanyalah manusia yang sama-sama berusaha untuk mengetahui lebih banyak dari sebelumnya.
v Saling percaya; ini merupakan prasyarat a priori bagi terbangunnya dialog. Tetapi rasa saling percaya tersebut tidak berarti menghilangkan sikap kritis terhadap dialog.
v Harapan; ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memulai segalanya dari  ketidaklengkapannya. Dan bersama-sama dengan orang lain ia berusaha untuk memenuhi segala kekurangannya. Sikap putus asa berarti bungkap dan lari dari kenyataan.
v Kritis; yakni pemikiran yang melibatkan solidaritas yang tak dapat dibagi-bagi  antara dunia dan manusia. Dan pemikiran yang memandang realitas sebagai suatu proses transformasi yang dinamis, dan bukan statis.pemikiran kritis ini berlawanan dengan pemikiran naif.

            Ada dua golongan dalam perspektif  sejarah pembebasan masyarakat, yakni golongan status quo, sebagai kaum yang memperoleh kebebasan dan menindas golongan lain disatu sisi;  dan golongan revolusioner, sebagai kaum yang berusaha bangkit dari penindasan kaum status-quo. Golongan pertama menggunakan pendekatan ‘anti-dialog’ dalam upayanya untuk melestarikan posisinya, sementara goongan kedua menggunakan pendekatan ‘dialog’ dalam upoayanya untuk membebaskan diri dari penindasan.
Hal tersebut kemudian melahirkan ‘teori aktifitas revolusioner’ dan ‘teori aktifitas penindasan’ yang berbeda secara diametral antara kedua golongan tersebut. Dalam melestarikan dan menjalani kehidupannya maka kedua golongan menggunakan strategi yang berbeda.
Strategi kaum penindas mempertahankan status-quo
1.      Penaklukan; merupakan cara mereka untuk tetap mendominasi kaum tertindas. Mereka selalu membangun hubungan menang-kalah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menang dan menaklukkan aum tertindas, mulai dari cara yang halus seperti pelestarian budaya paternalistik, serta menanaman mitos-mitos menyesatkan, hingga pada cara kekerasan. Tujuannya adalah mengalienasi kaum tertindas terhadap dunia real dan membiarkan mereka tetap pasif.
2.      Pecah-belah dan kuasai; untuk bersatu dan membaur dengan kaum tertindas adalah tidak mungkin. Dan untuk melestarikan statusnya, mereka memnciptakan perpecahan dikalangan kaum tertindas, dengan bebagai macam cara. Cara yang banyak dilakukanterkadang tidak disadari oleh  kaum tertindas seperti mitos, latihan kepemimpinan, pembangunan wilayah berdasarkan pengelompokkan masyarakat.
3.      Manipulasi; adalah upaya membius masyarakat (kaum tertindas) agar tidak dapat berpikir kritis dan mandiri. Hal ini sangat efektif untuk masyarakat yang belum melek politik. Penindas berpandangan bahwa munculnya pemikiran kritis dan kemandirian akan melahirkan ‘kesadaran revolusioner’.
4.      Invasi budaya; ini dilakukan dengan menyodorkan filsafat hidup mereka kepada kaum tertindas dan menghalangi kreatifitas kelompok. Hal ini akan membawa pada hilangnya keotentikan budaya kaum tertindas, sehingga mereka menjadi terombang-ambing tanpa pegangan hidup.

Strategi kaum revolusioner melakukan pembebasan:
1.      Kerjasama; hal ini menitik beratkan pada pentingnya komunikasi antara pemimpin dan kaum tertindas. ‘Saya dan Anda adalah dua subyek  yang bertanggung jawab. Bahkan untuk tujuan revolusi sekalipun, seorang pemimpin  tidak dibolehkan menaklukkan atau memanipulasi rakyat, karena haltersebut tidak efektif dan bertentangan dengan nilai-nilai humanisme. Oleh karena itu, pengikutan diri kepada pahlawan revolusi pada hakekatnya adalah pengikutan pada  kebebasan. Dukungan kepada pemimpin merupakan pilihan bebas kaum tertindas.
2.      Persatuan untuk pembebasan; pemimpin revolusioner harus mengabdikan dirinya secara tak jemu-jemu untuk mempersatukan  golongan tertindas dan menjaga persatuan antara pemimpin kaum tertindas dalam rangka mencapai pembebasan. Hal ini merupakan tugas berat yang
3.      Organisasi; sekuens dari kegiatan kerjasama dan persatuan di wujudkan secara sinergis dalam organisasi tertentu sebagai alat perjuangan merealisasi kebebasan.
4.      Sintesa budaya; adalah upaya mempertemukan berbagai aktifitas budaya yang secara dialektis berlawanan dalam suatu struktur sosial budaya. Keadaan stabil mesti berhubungan secara dialektis dengan berbagai perubaha yang dinamis. Hal ini mesti dijaga secara rapi, agar tidak mengorbankan gerakan revolusioner dan kebebasan.


No comments:

Post a Comment