ANALISIS KEMATIAN SEKOLAH
Dalam sebuah buku yang provokatif, Ivan Illich menyatakan
bahwa “Sekolah telah Mati” atau kehilangan fungsi dan perannya. Secara sederhana buku ini memberikan pandangan dan
wawasan yang radikal serta sama sekali berbeda dengan pandangan umum. Setiap
orang berpandangan kalau sekolah adalah perlu dan merupakan investasi bagi masa
depan. Tidak ada masa depan tanpa sekolah. Demikianlah keyakinan yang tertanan
di benak kebanyakan orang di dunia ini. Pandangan ini dilahirkan oleh
propaganda melalui berbagai media dan setiap kesempatan dari lembaga pendidikan
formal dan para pelajar untuk membentuk pendangan umum tentang perlunya
sekolah.
Melalui buku
‘Deschooling sociaty’ tulisan Ivan Illich maka secara sederhana ditemukan ada
dua praksis pendidikan yang kontradiksi dan saling berhadapan secara ekstrim.
Pertama bahwa sekolah adalah investasi yang oleh karena itu, setiap warga mesti
bersekolah, dan pandangan kedua adalah sekolah itu candu yang oleh karena itu,
masyarakat jangan mengikuti pendidikan pada sekolah.
Pandangan
pertama jelas dimotori oleh pemerintah. Disetiap negara di belahan bumi
manapun, pemerintahnya selalu mewajibkan rakyatnya untuk bersekolah. Pandangan
kedua di motori oleh kalangan praktisi sosial seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO). Salah satu buku yang
terbit di Indonesia dan mewakili pandangan kedua adalah tulisan Roem
Topattimasang yang berjudul ‘sekolah itu candu’.
Dalam tataran
internasional gagasan radikal yang melawan praktek dan eksistensi sekolah
formal telah terjadi sejak dekade 70-an. Pada waktu itu muncul ‘aliran baru’
dalam pendidikan yang mengecam praktek manipulasi yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga formal seperti Rumah sakit pemerintah, perpajakan, jalan raya,
termasuk juga sekolah. ‘Aliran baru’ ini menentang paradigma pendidikan di
negara maju yang menjadikan sekolah sebagai pusat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan industri dan memajukan peradaban. Namun dari
kemajuan tersebut lahir dampak yang menyebabkan penderitaan ummat manusia
sendiri.[1]
Menurut Sarino
Mangunpranoto, kemunculan aliran baru tersebut didorong oleh semangat untuk
menyuarakan kondisi pembangunan di dunia ketiga dan negara-negara miskin yang
baru berkembang dengan counter attack-nya adalah negara industri yang sudah
maju.[2]
Pada saat munculnya ‘aliran baru’, di dunia ketiga dan sedang berkembang (developing countries) menghadapi kondisi
yang hampir sama yakni, kemiskinan, ketertinggalan akibat kebodohan yang
diwariskan oleh penjajah. Dan paradigma pendidikan yang berlaku di negara maju
tidak membuat negara-negara di dunia ketiga bertambah maju tetapi bertambah
miskin dan dibebani hutang yang dipinjam oleh pemerintah dengan dalih
pendidikan.
Diantara tokoh
tokoh ‘aliran baru’ tersebut adalah Philip H. Coombs yang karena gagasannya
direkrut oleh badan Internasional Perserikatan bangsa-bangsa, UNESCO untuk
menyelidiki pembangunan di negara ketiga, Ivan Illich yang sekarang bukunya
dibedah, Paulo Freire, dan Everett Remer.[3]
Kemunculan
tokoh-tokoh aliran baru tersebut secara historis di dorong oleh kondisi krisis
pendidikan yang terjadi di seluruh dunia. Krisis ini dipicu oleh beberapa
variabel yang berskala internasional, yakni: perubahan ekonomi internasional,
lahirnya instabilitas politik, dan perubahan demografi.[4]
Di bidang
ekonomi terjadi pergeseran dalam dunia kerja dari kondisi kekurangan tenaga
menjadi surplus tenaga kerja terdidik. Di bidang politik terjadi perang dingin
antara Blok Timur dan Barat. Dan di bidang demografi terjadi booming penduduk
angkatan kerja, yakni bayi yang lahir pasca perang dunia kedua (baby booming).
Hal ini secara
langsung membawa perubahan pada praksis pendidikan terutama di negara maju.
Perubahan yang utama terjadi pada aspek struktural, organisasi dan kurikulum
pendidikan.[5]
Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan tersebut, maka perubahan
tersebut menjadi hal yang mutlak. Sekolah bukan lagi satu-satunya lembaga yang
diyakini bisa memberikan pencerahan kepada orang.
Bersamaan
dengan perubahan lingkungan tersebut, publikasi hasil penelitian tentang hubungan
antara tingkat pendidikan dengan penghasilan dipublikasikan secara luas. Sejak
itu orang mulai mempertanyakan manfaat menuntut ilmu di sekolah formal.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan
penghasilan, seperti dikumukakan oleh Caswell. Tetapi banyak peneliti lainnya
meragukan hasil dan metodologi yang digunakan oleh Caswell. Mereka melakukan
penelitian lainnya, dan menemukan hasil bahwa tingkat penghasilan (income and
earning) tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tetapi oleh variabel
lainnya, misalnya status sosial dan kondisi orang tua.[6]
Untuk memahami
eksistensi sekolah yang sesungguhnya maka perlu dilakukan analisis yang
komprehensif, sehingga dapat diketahui alasan dan latar belakang lahirnya
gagasan untuk menolak sistem sekolah formal. Dan untuk itu perlu didefinisikan
terlebih dahulu batasan sekolah. Untuk kepentingan ini maka kami kemukakan
beberapa kutikan dari buku Everett Reimer yang berjudul ‘School is Dead’ yang telah disadur dalam bahasa Indonesia Oleh
Prof. Drs. M. Soedomo, MA.
Untuk
melaksanakan perbaikan dengan menemukan berbagai alternatif bagi sekolah, maka
terlebih dahulu perlu di ketahuan antara apa itu sekolah dan apa yang diperbuat
oleh sekolah.[7]
Sekolah
didefinisikan sebagai ‘lembaga yang
menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang
kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum-kurikulum yang
bertingkat. Alternatif lain dalam pendidikan mestinya bergerak menjauh dari
stereotipe tersebut.[8]
Sekolah adalah
lembaga paling besar di dunia ini; lebih besar dari pertanian, industri atau
peperangan. Di dunia ini orang yang bekerja diluar sekolah sedikit lebih banyak
dari pada orang yang bekerja di sekolah, tetapi tidak menyolok perbedaannya.
Porsi waktu yang dicurahkan untuk belajar jauh tak dapat diimbangi oleh porsi
waktu yang dicurahkan untuk bekerja. Waktu belajar dan nilainya mungkin bahkan
masih melebihi ‘modal’ yang ditanamkan di sekolah, meskipun sulit sekali
diukur. Hal yang paling buruk yang dapat dikatakan tentang sekolah ialah bahwa
sekolah telah merampas waktu secara besar-besaran, dan bahwa seluruh waktu
terancam bahaya perampasan oleh sekolah.[9]
Waktu yang
digunakan untuk belajar adalah kebebasan yang kini diancam oleh bahaya ganda:
pertama, sekolah yang mengancam akan menyedotnya; kedua, sekolah yang
menghabiskan dana yang semestinya dapat memperkaya diri. Belajar telah banyak
kehilangan sifat kemanusiaannya karena dipisahkan dengan bekerja.[10]
Sekolah adalah
bentuk pungutan yang hampir sepenuhnya gagal. Sekolah pada umumnya diperkuat
oleh pajak umum yang akhirnya lebih banyak dibebankan keatas pundak simiskin. Sementara itu, mereka
tidak dapat menikmati pendidikan tersebut, karena secara sosial ekonomi,
menyekolahkan anak mereka berarti membuang waktu untuk tidak membantu orang
tua. Orang tua yang miskin selalu
merasa merugi jika kehilangan anak yang biasa membantu
mereka mencari nafka karena mesti bersekolah. Bagi kaum miskin pandangan
sekolah adalah investasi belum masuk akal. Karena pergelutan mereka
sehari-harinya adalah bagaimana mencukupi kebutuhan dasarnya.
Oleh karena
itu, sekolah menyebabkan tidak mungkinnya pemerataan kesempatan pendidikan,
bahkan juga dalam soal alokasi anggaran negara. Di dunia yang berusaha mencapai
keadilan, pengeluaran negara untuk pendidikan harus berbanding terbalik dengan
kekayaan murid. Dana swasta untuk pendidikan hampir seluruhnya berasal dari
orang-orang yang mampu, sehingga ada yang menghendaki agar dana pemerintah
untuk pendidikan lebih banyak disalurkan
bagi pendidikan simiskin. Langkah pertama untuk memeratakan kesempatan
pendidikan bagi berbagai kelas sosial itu membutuhkan alokasi dana untuk
pendidikan di luar sistem sekolah.[11]
[1] Everett Reimer, Sekitar Eksistensi Sekolah sebuah Essay
tentang Alternatif-alternatif Pendidikan, Penyadur Prof. Drs. M. Soedomo,
MA (Yogyakarta, PT. Hanindita, 1987), p.
xi.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4]
Philip H. Coombs, The World Crisis in
Education, (New York, Oxford
University Press, 1985), pp. 9-14
[5] Ibid., p. 113.
[6]
Elchanan Cohn, The Economics of Education, (New York,
Harper and Row Publisher, 1979), p.
22-25.
[7] Everett Reimer, op. cit., p. 25.
[8] Ibid.
[9] ibid., p. 109
[10] Ibid., pp. 109-110
[11] Ibid., p. 111
No comments:
Post a Comment