Monday, May 20, 2013

analisis kematian sekolah


ANALISIS KEMATIAN SEKOLAH

Dalam sebuah buku yang provokatif, Ivan Illich menyatakan bahwa “Sekolah telah Mati” atau kehilangan fungsi dan perannya. Secara sederhana buku ini memberikan pandangan dan wawasan yang radikal serta sama sekali berbeda dengan pandangan umum. Setiap orang berpandangan kalau sekolah adalah perlu dan merupakan investasi bagi masa depan. Tidak ada masa depan tanpa sekolah. Demikianlah keyakinan yang tertanan di benak kebanyakan orang di dunia ini. Pandangan ini dilahirkan oleh propaganda melalui berbagai media dan setiap kesempatan dari lembaga pendidikan formal dan para pelajar untuk membentuk pendangan umum tentang perlunya sekolah.
Melalui buku ‘Deschooling sociaty’ tulisan Ivan Illich maka secara sederhana ditemukan ada dua praksis pendidikan yang kontradiksi dan saling berhadapan secara ekstrim. Pertama bahwa sekolah adalah investasi yang oleh karena itu, setiap warga mesti bersekolah, dan pandangan kedua adalah sekolah itu candu yang oleh karena itu, masyarakat jangan mengikuti pendidikan pada sekolah.
Pandangan pertama jelas dimotori oleh pemerintah. Disetiap negara di belahan bumi manapun, pemerintahnya selalu mewajibkan rakyatnya untuk bersekolah. Pandangan kedua di motori oleh kalangan praktisi sosial seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO). Salah satu buku yang terbit di Indonesia dan mewakili pandangan kedua adalah tulisan Roem Topattimasang yang berjudul ‘sekolah itu candu’.
Dalam tataran internasional gagasan radikal yang melawan praktek dan eksistensi sekolah formal telah terjadi sejak dekade 70-an. Pada waktu itu muncul ‘aliran baru’ dalam pendidikan yang mengecam praktek manipulasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal seperti Rumah sakit pemerintah, perpajakan, jalan raya, termasuk juga sekolah. ‘Aliran baru’ ini menentang paradigma pendidikan di negara maju yang menjadikan sekolah sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri dan memajukan peradaban. Namun dari kemajuan tersebut lahir dampak yang menyebabkan penderitaan ummat manusia sendiri.[1]
Menurut Sarino Mangunpranoto, kemunculan aliran baru tersebut didorong oleh semangat untuk menyuarakan kondisi pembangunan di dunia ketiga dan negara-negara miskin yang baru berkembang dengan counter attack-nya adalah negara industri yang sudah maju.[2] Pada saat munculnya ‘aliran baru’, di dunia ketiga dan sedang berkembang (developing countries) menghadapi kondisi yang hampir sama yakni, kemiskinan, ketertinggalan akibat kebodohan yang diwariskan oleh penjajah. Dan paradigma pendidikan yang berlaku di negara maju tidak membuat negara-negara di dunia ketiga bertambah maju tetapi bertambah miskin dan dibebani hutang yang dipinjam oleh pemerintah dengan dalih pendidikan.
Diantara tokoh tokoh ‘aliran baru’ tersebut adalah Philip H. Coombs yang karena gagasannya direkrut oleh badan Internasional Perserikatan bangsa-bangsa, UNESCO untuk menyelidiki pembangunan di negara ketiga, Ivan Illich yang sekarang bukunya dibedah, Paulo Freire, dan Everett Remer.[3]
Kemunculan tokoh-tokoh aliran baru tersebut secara historis di dorong oleh kondisi krisis pendidikan yang terjadi di seluruh dunia. Krisis ini dipicu oleh beberapa variabel yang berskala internasional, yakni: perubahan ekonomi internasional, lahirnya instabilitas politik, dan perubahan demografi.[4]
Di bidang ekonomi terjadi pergeseran dalam dunia kerja dari kondisi kekurangan tenaga menjadi surplus tenaga kerja terdidik. Di bidang politik terjadi perang dingin antara Blok Timur dan Barat. Dan di bidang demografi terjadi booming penduduk angkatan kerja, yakni bayi yang lahir pasca perang dunia kedua (baby booming).
Hal ini secara langsung membawa perubahan pada praksis pendidikan terutama di negara maju. Perubahan yang utama terjadi pada aspek struktural, organisasi dan kurikulum pendidikan.[5] Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan tersebut, maka perubahan tersebut menjadi hal yang mutlak. Sekolah bukan lagi satu-satunya lembaga yang diyakini bisa memberikan pencerahan kepada orang.
Bersamaan dengan perubahan lingkungan tersebut, publikasi hasil penelitian tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan dipublikasikan secara luas. Sejak itu orang mulai mempertanyakan manfaat menuntut ilmu di sekolah formal. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan, seperti dikumukakan oleh Caswell. Tetapi banyak peneliti lainnya meragukan hasil dan metodologi yang digunakan oleh Caswell. Mereka melakukan penelitian lainnya, dan menemukan hasil bahwa tingkat penghasilan (income and earning) tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tetapi oleh variabel lainnya, misalnya status sosial dan kondisi orang tua.[6]
Untuk memahami eksistensi sekolah yang sesungguhnya maka perlu dilakukan analisis yang komprehensif, sehingga dapat diketahui alasan dan latar belakang lahirnya gagasan untuk menolak sistem sekolah formal. Dan untuk itu perlu didefinisikan terlebih dahulu batasan sekolah. Untuk kepentingan ini maka kami kemukakan beberapa kutikan dari buku Everett Reimer yang berjudul ‘School is Dead’ yang telah disadur dalam bahasa Indonesia Oleh Prof. Drs. M. Soedomo, MA.
Untuk melaksanakan perbaikan dengan menemukan berbagai alternatif bagi sekolah, maka terlebih dahulu perlu di ketahuan antara apa itu sekolah dan apa yang diperbuat oleh sekolah.[7]
Sekolah didefinisikan sebagai ‘lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum-kurikulum yang bertingkat. Alternatif lain dalam pendidikan mestinya bergerak menjauh dari stereotipe tersebut.[8]
Sekolah adalah lembaga paling besar di dunia ini; lebih besar dari pertanian, industri atau peperangan. Di dunia ini orang yang bekerja diluar sekolah sedikit lebih banyak dari pada orang yang bekerja di sekolah, tetapi tidak menyolok perbedaannya. Porsi waktu yang dicurahkan untuk belajar jauh tak dapat diimbangi oleh porsi waktu yang dicurahkan untuk bekerja. Waktu belajar dan nilainya mungkin bahkan masih melebihi ‘modal’ yang ditanamkan di sekolah, meskipun sulit sekali diukur. Hal yang paling buruk yang dapat dikatakan tentang sekolah ialah bahwa sekolah telah merampas waktu secara besar-besaran, dan bahwa seluruh waktu terancam bahaya perampasan oleh sekolah.[9]
Waktu yang digunakan untuk belajar adalah kebebasan yang kini diancam oleh bahaya ganda: pertama, sekolah yang mengancam akan menyedotnya; kedua, sekolah yang menghabiskan dana yang semestinya dapat memperkaya diri. Belajar telah banyak kehilangan sifat kemanusiaannya karena dipisahkan dengan bekerja.[10]
Sekolah adalah bentuk pungutan yang hampir sepenuhnya gagal. Sekolah pada umumnya diperkuat oleh pajak umum yang akhirnya lebih banyak dibebankan  keatas pundak simiskin. Sementara itu, mereka tidak dapat menikmati pendidikan tersebut, karena secara sosial ekonomi, menyekolahkan anak mereka berarti membuang waktu untuk tidak membantu orang tua. Orang tua yang miskin selalu
merasa merugi jika kehilangan anak yang biasa membantu mereka mencari nafka karena mesti bersekolah. Bagi kaum miskin pandangan sekolah adalah investasi belum masuk akal. Karena pergelutan mereka sehari-harinya adalah bagaimana mencukupi kebutuhan dasarnya.
Oleh karena itu, sekolah menyebabkan tidak mungkinnya pemerataan kesempatan pendidikan, bahkan juga dalam soal alokasi anggaran negara. Di dunia yang berusaha mencapai keadilan, pengeluaran negara untuk pendidikan harus berbanding terbalik dengan kekayaan murid. Dana swasta untuk pendidikan hampir seluruhnya berasal dari orang-orang yang mampu, sehingga ada yang menghendaki agar dana pemerintah untuk pendidikan lebih banyak disalurkan  bagi pendidikan simiskin. Langkah pertama untuk memeratakan kesempatan pendidikan bagi berbagai kelas sosial itu membutuhkan alokasi dana untuk pendidikan di luar sistem sekolah.[11]


[1] Everett Reimer, Sekitar Eksistensi Sekolah sebuah Essay tentang Alternatif-alternatif Pendidikan, Penyadur Prof. Drs. M. Soedomo, MA (Yogyakarta, PT. Hanindita, 1987),  p. xi.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Philip H. Coombs, The World Crisis in Education,   (New York, Oxford University Press, 1985),   pp.  9-14
[5] Ibid., p.  113.
[6] Elchanan Cohn, The Economics of Education,  (New York,  Harper and Row Publisher, 1979), p.  22-25.
[7] Everett Reimer, op. cit., p.  25.
[8] Ibid.
[9] ibid., p. 109
[10] Ibid., pp. 109-110
[11] Ibid., p. 111

No comments:

Post a Comment