Wednesday, May 22, 2013

Kompelsitas Pengambilan Keputusan


Keterkaitan antara pengambilan keputusan, pemecahan masalah, metodologi ilmiah dan argumen

Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, keduanya merupakan aktifitas manajerial. Setiap manajer dalam organisasi pasti melakukan kedua aktifitas tersebut. Kedua kata tersebut juga terkadang selalu dipertukarkan dan dipakai secara bergantian oleh ahli manajemen. Sehingga  sebagian orang memandang dalam kata tersebut terkandung permasalahan semantik. Pada umumnya ilmuwan administrasi dan manajemen seperti Stoner, Freeman, dan Coke, Slack memandang pengambilan keputusan sebagai bagian dari proses pemecahan masalah. Stoner dan Freeman, menyatakan bahwa ‘pengambilan keputusan merupakan aktifitas untuk mengidentifikasi dan memilih serangkaian tindakan untuk memecahkan suatu masalah’.[1]
Sementara itu, penulis yang lain, Steve Cooke and Nigel Slack menyatakan sebagai berikut:
Decision making is part of the larger process of problem solving. We see decision making  as focusing arround the centrall problem of choice between alternative course of action. Problem solving is a broader process  which include the recognition that problem exist, the interpretation and diagnosis of that problem, and the later implementation of whatever solution is though to be appropriate.[2]
Penjelasan Cooke dan Slack tersebut, mempertegas pengertian bahwa pengambilan keputusan adalah aktifitas yang dilakukan dalam rangka memilih alternatif terbaik dalam pemecahan masalah (problem solving). Artinya, pengambilan keputusan (decision making) berkenaan dengan permasalahan yang bersifat luas dan bersifat khusus. Stoner menyebutkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan peluang (opportunity) yang terjadi dibalik munculnya masalah.[3] Dan kalau menurut Alisson and Zelikov,  hal tersebut kerkaitan dengan konsekwensi (consequences) yang menyertai setiap pilihan.[4]
Proses pengambilan keputusan seperti digambarkan oleh Stoner dan Freeman diatas, diambil dari model berpikir rasional yang dikembangkan oleh John Dewey. John Dewey dikenal sebagai tokoh pemikir yang mengembangkan metode ilmiah (scientific method). Hal ini menunjukkan dekatnya hubungan atau miripnya proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan metodologi ilmiah. Ketiga proses ini sama-sama dimulai dengan perumusan masalah (identification problem) dan berakhir dengan kesimpulan sebagai solusi dari masalah. Secara sederhana metode ilmiah terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Perumusan masalah;
2.    Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis;
3.    Perumusan hipotesis;
4.    Pengujian hipotesis;
5.    Penarikan kesimpulan.[5]
Langkah metodo ilmiah tersebut dapat dibandingkan dengan langkah pemecahan masalah, seperti dikemukakan oleh Cooke dan Slack, yakni sebagai berikut:
1.    Mengamati dan merumuskan masalah (observe and recognize problem);
2.    Menentukan sasaran dari pemecahan masalah (set objective);
3.    Memahami masalah (understand problem);
4.    Menentukan pilihan (determine options);
5.    Menilai pilihan  (evaluate options);
6.    Menjatuhkan pilihan (choice);
7.    Implementasi;
8.    Monitor dan observasi ulang;[6]
Meskipun tidak sepenuhnya sama, tetapi proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan banyak diinspirasi bermula dari metode berpikir ilmiah yang rasional, sistematis, dan logis. Pada taraf tertentu, pemecahan masalah memerlukan metode perpikir ilmiah agar dapat mecapai solusi yang tepat. Hal ini seperti terlihat pada penjelasan Stoner dan Freeman.[7]


Dengan cara ini maka pengambil keputusan (decision maker) dapat memberikan argumen yang meyakinkan agar supaya keputusan atau solusi atau kesimpulan yang dipilih dapat dipakai oleh organisasi atau oleh publik. Dalam konteks kebijakan adalah, argumen yang dibuat merupakan penyimpulan praktis (practical inference) yang memungkinkan untuk mencapai kesimpulan mengenai sejauh mana masalah kebijakan dapat dipecahkan. Dan sebagai argumen kebijakan (policy argument) ia harus menggambarkan alasan mengapa antar golongan-golongan yang ada dalam masyarakat tidak sepakat mengenai arah dan tindakan yang ditempuh pemerintah.[8] Dengan argumen kebijakan, decision maker berbuat lebih dari sekedar menghasilkan informasi dan memindahkannya dalam nilai danfakta yang sempit.



[1] James A.F. Stoner, and R. Edward Freeman, Manajemen,  (Jakarta, Intermedia, 1992),  p. 233
[2] Steve Cooke, and Nigel Slack, Making Management Decisions,  (New York, Prentice Hall, 1991),  p.4
[3]  Stoner and Freeman, op. cit.,  p. 235.
[4] Graham Allison and Philip Zelikow, Essence Of Decision,  (New York, Longman, 1999), p.  18
[5] Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,  cetakan ke-14 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), p. 128.
[6] Cooke and Slack, op.cit.,  pp. 5-8.
[7] Stoner and Freeman, op. cit., p. 236.
[8] William N. Dunn, Analisa Kebijakan Publik, (Yogyakarta, Hanindita, 1988), pp. 52-54.

No comments:

Post a Comment