Wednesday, May 22, 2013

Argumen untuk Kebijakan


 Keterkaitan antara argumen dalam proses pengambilan kebijakan.
Setiap kebijakan memiliki argumen yang merupakan alat untuk mengubah informasi yang relevan dengan kebijakan menjadi pernyataan kebijakan.[1] Ada enam elemen argument yang menyertai sebuah kebijakan, yakni sebagai berikut:
1.    Informasi yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information) yang dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa bentuk informasi yang relevan dengan kebijakan adalah: masalah kebijakan, alternatif kebijakan, tindakan kebijakan, hasil kebijakan, hasil guna kebijakan.
2.    Tuntutan kebijakan (policy claim) yang merupakan kesimpulan dari argumen kebijakan;
3.    Pembenaran (warrant) sebagai proses memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan kepada tuntutan kebijakan; 
4.    Dukungan (backing) terhadap pembenaran yang berisi asumsi-asumsi atau argumen-argumen tambahan yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran;
5.    Bantahan (rebuttal) sebagai kesimpulan kedua, asumsi atau argemen yang menyatakan bahwa kondisi yang melatar belakangi tuntutan ditolak atau dapat diterima hanya dengan syarat tertentu;
6.    Syarat (qualifier) yang menyajikan tingkat seberapa jauh seorang pembuat kebijakan (decision maker) atau analis merasa yakin dengan tuntutannya.[2]
 Dalam konteks proses pengambilan kebijakan (decision making process), maka hasil yang diharapakan adalah pernyataan kebijakan.[3] Dalam hal ini, maka ada delapan cara yang berbeda untuk mengubah informasi menjadi pernyataan kebijakan, yakni sebagai berikut:
1.    Cara Otoritatif. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen dari pihak yang berwenang. Informasi diubah menjadi pernyataaan kebijakan atas asumsi status dan kedudukan yang dimiliki oleh pembuat informasi tersebut.
2.    Cara statistik. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang diperoleh darisampel. Informasi diubah menjadi pernyataan kebijakan atas dasar bahwa setiap hal yang dianggap benar oleh anggota sampel maka itu berlaku poula bagi populasi yang telah diwakili oleh sampel.
3.    Cara Klasifikasional. Pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen yang berasal dari status suatu keangotan pada organisasi atau kelas tertentu. informasi diubah menjadi pernyataan kebijakan berdasarkan atas asumsi bahwa apa yang benar dan berlaku bagi suatu kelas maka berlaku pula pada seluruh anggota dari kelas tersebut.
4.    Cara Intuitif. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang berasal dari batin (insight). Informasi diubah menjadi pernyataan kebijakan atas asumsi situasi mental (inner mental states) pembuat informasi (decision maker) yang mantap.
5.    Cara Analisentrik. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang berasal dari metode tertentu. Informasi diubah menjadi penyataan kebijakan didasarkan atas asumsi bahwa metode dan teknik analisis yang digunakan adalah benar dan valid.
6.    Cara Eksplanatori. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang berasal dari hubungan sebab-akibat. Informasi diubah menjadi pernyataan kebijakan atas dasar asumsi bahwa sesuatu itu terjadi karena disebabkan oleh hal-hal tertentu (cause and effect).
7.    Cara pragmatis. Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang berasal dari  motivasi dan analogi. Informasi diubah menjadi pernyqtaan kebia\jakan berdasarkan asumsi bahwa hal tersebut dapat mendukung pencapaian tujuan.
8.    Cara kritik-nilai.  Pernyataan kebijakan didasarkan atas argumen yang berasal dari pertimbangan etika. Informasi diubah menjadi pernyataan kebijakan berdasarkan asumsi tentang konsekwensi dari kebaikan atau kejelekan, kebenaran atau kekeliruan suatu kebijakan.[4]


[1] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta, UGM Press, 1999), p. 155.
[2] William N. Dunn, Analisis Kebijakan Publik,   pp.  55-57.
[3] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik,   p. 155.
[4] Ibid. 

Kompelsitas Pengambilan Keputusan


Keterkaitan antara pengambilan keputusan, pemecahan masalah, metodologi ilmiah dan argumen

Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, keduanya merupakan aktifitas manajerial. Setiap manajer dalam organisasi pasti melakukan kedua aktifitas tersebut. Kedua kata tersebut juga terkadang selalu dipertukarkan dan dipakai secara bergantian oleh ahli manajemen. Sehingga  sebagian orang memandang dalam kata tersebut terkandung permasalahan semantik. Pada umumnya ilmuwan administrasi dan manajemen seperti Stoner, Freeman, dan Coke, Slack memandang pengambilan keputusan sebagai bagian dari proses pemecahan masalah. Stoner dan Freeman, menyatakan bahwa ‘pengambilan keputusan merupakan aktifitas untuk mengidentifikasi dan memilih serangkaian tindakan untuk memecahkan suatu masalah’.[1]
Sementara itu, penulis yang lain, Steve Cooke and Nigel Slack menyatakan sebagai berikut:
Decision making is part of the larger process of problem solving. We see decision making  as focusing arround the centrall problem of choice between alternative course of action. Problem solving is a broader process  which include the recognition that problem exist, the interpretation and diagnosis of that problem, and the later implementation of whatever solution is though to be appropriate.[2]
Penjelasan Cooke dan Slack tersebut, mempertegas pengertian bahwa pengambilan keputusan adalah aktifitas yang dilakukan dalam rangka memilih alternatif terbaik dalam pemecahan masalah (problem solving). Artinya, pengambilan keputusan (decision making) berkenaan dengan permasalahan yang bersifat luas dan bersifat khusus. Stoner menyebutkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan peluang (opportunity) yang terjadi dibalik munculnya masalah.[3] Dan kalau menurut Alisson and Zelikov,  hal tersebut kerkaitan dengan konsekwensi (consequences) yang menyertai setiap pilihan.[4]
Proses pengambilan keputusan seperti digambarkan oleh Stoner dan Freeman diatas, diambil dari model berpikir rasional yang dikembangkan oleh John Dewey. John Dewey dikenal sebagai tokoh pemikir yang mengembangkan metode ilmiah (scientific method). Hal ini menunjukkan dekatnya hubungan atau miripnya proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan metodologi ilmiah. Ketiga proses ini sama-sama dimulai dengan perumusan masalah (identification problem) dan berakhir dengan kesimpulan sebagai solusi dari masalah. Secara sederhana metode ilmiah terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Perumusan masalah;
2.    Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis;
3.    Perumusan hipotesis;
4.    Pengujian hipotesis;
5.    Penarikan kesimpulan.[5]
Langkah metodo ilmiah tersebut dapat dibandingkan dengan langkah pemecahan masalah, seperti dikemukakan oleh Cooke dan Slack, yakni sebagai berikut:
1.    Mengamati dan merumuskan masalah (observe and recognize problem);
2.    Menentukan sasaran dari pemecahan masalah (set objective);
3.    Memahami masalah (understand problem);
4.    Menentukan pilihan (determine options);
5.    Menilai pilihan  (evaluate options);
6.    Menjatuhkan pilihan (choice);
7.    Implementasi;
8.    Monitor dan observasi ulang;[6]
Meskipun tidak sepenuhnya sama, tetapi proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan banyak diinspirasi bermula dari metode berpikir ilmiah yang rasional, sistematis, dan logis. Pada taraf tertentu, pemecahan masalah memerlukan metode perpikir ilmiah agar dapat mecapai solusi yang tepat. Hal ini seperti terlihat pada penjelasan Stoner dan Freeman.[7]


Dengan cara ini maka pengambil keputusan (decision maker) dapat memberikan argumen yang meyakinkan agar supaya keputusan atau solusi atau kesimpulan yang dipilih dapat dipakai oleh organisasi atau oleh publik. Dalam konteks kebijakan adalah, argumen yang dibuat merupakan penyimpulan praktis (practical inference) yang memungkinkan untuk mencapai kesimpulan mengenai sejauh mana masalah kebijakan dapat dipecahkan. Dan sebagai argumen kebijakan (policy argument) ia harus menggambarkan alasan mengapa antar golongan-golongan yang ada dalam masyarakat tidak sepakat mengenai arah dan tindakan yang ditempuh pemerintah.[8] Dengan argumen kebijakan, decision maker berbuat lebih dari sekedar menghasilkan informasi dan memindahkannya dalam nilai danfakta yang sempit.



[1] James A.F. Stoner, and R. Edward Freeman, Manajemen,  (Jakarta, Intermedia, 1992),  p. 233
[2] Steve Cooke, and Nigel Slack, Making Management Decisions,  (New York, Prentice Hall, 1991),  p.4
[3]  Stoner and Freeman, op. cit.,  p. 235.
[4] Graham Allison and Philip Zelikow, Essence Of Decision,  (New York, Longman, 1999), p.  18
[5] Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,  cetakan ke-14 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), p. 128.
[6] Cooke and Slack, op.cit.,  pp. 5-8.
[7] Stoner and Freeman, op. cit., p. 236.
[8] William N. Dunn, Analisa Kebijakan Publik, (Yogyakarta, Hanindita, 1988), pp. 52-54.

Akal Manusia Vs Teknologi


Bounded Rationality dalam Implementasi DSS
Decision Support System dengan instrumen pendukung komputer merupakan metode pengambilan keputusan rasional yang maksimal dapat dilakukan. Dengan DSS Comprehensif Rasionality dapat dicapai dalam proses pengambilan keputusan. Konsep yang bertolak belakang dengan hukum ‘bounded rationality’, yang sama-sama dikemukakan oleh Herber A. Simon.[1] Salah satu model Comprenhensif Rasional adalah sebagaimana dikemukakan oleh Zelikow dan Allison yakni ‘Model Aksi Rasional atau Rational Actor Model (RAM). Rasional yang dimaksud dalam konteks ini merujuk pada konsistensi, memaksimalisasi pilihan nilai dalam kondisi tertentu. Langkah yang ditempuh dalam proses mengambilan keputusan berdasarkan model ini adalah:
v Penentuan tujuan. Ini didasarkan atas manfaat dan selera yang ditentukan oleh pembuat keputusan (aktor).
v Alternatif. Pembuat keputusan (aktor) mengembangkan berbagai alternatif  sebanyak-banyaknya untukmencapai tujuan.
v Konsekwensi (Consequences). Pembuat keputusan (aktor) mempertimbangkan setiap akibat yang menyertai setiap alternatif.
v Memilih (choice). Pembuat keputusan memilih  salah satu dari sekian alternatif dengan pertimbangan jatuh pada yang memberikan manfaat (utility) yang tinggi.[2]
Proses tersebut akan lebih akurat dan cepat dilakukan dengan menggunakan berbagai model yang ada pada Decision Support System (DSS). Proses pengembangan alternatif, konsekwensi dan memilih yang terbaik dapat dilakukan secara atomatis (automaticly), dengan teknologi komputer.
Meskipun Decision Support System (DSS) menggunakan perangkat teknologi komputer yang sangat canggih, tetapi adanya human eror dalam pengoperasiannya tidak dapat dihindari sepenuhnya. Sehingga efektifitas dari implementasi DSS sangat tergantung pada ketepatan dan kinerja manusia yang mengoperasionalkannya. Disamping itu, mesin komputer pemproses data dan informasi dalam system ini tergantung pada rasionalitas manusia dalam mengumpulkan data dan informasi yang relevan dengan pertanyaan kebijakan atau relevan dengan permasalahan.
Hal ini menunjukkan masih tetap berlakunya hukum ‘Bounded Rationality’ yang dikemukakan oleh Herbert A. Simon. Hukum ini menjelaskan tentang keterbatasan daya jangkau rasio manusia dalam menemukan alternatif, dan memikirkan konsekwensi yang muncul dari pilihan yang diambil untuk memecahkan suatu masalah. Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan kehidupan nyata, atau disebut “rasionalitas terbatas (bounded rationality) oleh Simon adalah:
v Informasi yang tidak memadai mengenai sifat masalah dan pemecahannya yang mungkin;
v Kurangnya waktu dan biaya untuk mengumpulkan informasi yang lebih lengkap;
v Persepsi yang menyimpang tentang informasi yang tersedia;
v Ketidak mampuan ingatan manusia untuk menyimpan sebanyak mungkin informasi; Hal ini dapat diatasi dengan menyimpan setiap informasi, baik hard information maupun soft information, dalam Hard Disk (memory) Komputer, dan setiap saat dapat dipanggil kembali).
v Keterbatasan inteligensi manusia sendiri untuk menentukan secara tepat alternatif mana yang paling baik.[3] Hal ini juga dapat dipecahkan dengan penggunaan berbagai model yang tersedia dalam Decision Support System (DSS), terutama model Artificial Inteligent (AI).


[1] Herbert A. Simon, Administrative Behaviour, 4th  edition, (New York, Free Press, 1997),  p. 21
[2] Graham Allison and Philip Zelikow, Essence of Decision, (New York, Longman, 1999), pp. 19-20.
[3] James A.F. Stoner and Edward Freeman, Manajemen, (Jakarta, Intermedia, 1992), p.  252.

Terknologi untuk Pengambilan Keputusan


1.      Peran Teknologi dalam Proses Pengambilan keputusan.
Salah satu peran manajer yang paling utama dalam sebuah organisasi adalah pembuat keputusan (Decision Maker). Ia mengambil keputusan terutama tentang pengalokasian dan pengelolaan sumberdaya (resources) organisasi, yang terdiri atas pegawai (personel), benda (material), mesin dan energi (mechine), uang (money), dan informasi. Empat sumberdaya yang disebutkan pertama, yakni: pegawai, materi, uang, dan mesin, bersifat fisik dan dapat diraba. Untuk itu mereka biasa disebut dengan ‘sumber daya fisik (physical resources)’. Sementara sumberdaya yang terakhir yakni informasi dan data, bersifat non-fisik atau konsptual. Oleh karena itu, ia biasa disebut dengan ‘sumberdaya konseptual (conceptual resources). Dalam prakteknya, maka manajer menggunakan informasi (conceptual resources) untuk mengelolah  physical resources yang lainnya.[1] Disini terlihat betapa penting peran informasi dalam pengambilan keputusan seorang manajer.
Dewasa ini perkembangan lingkungan organisasi dan internasional sangat pesat, sehingga membawa perubahan yang cepat dan berdampak luas terhadap organisasi. Hal melahirkan tugas yang semakin kompleks bagi menajer organisasi dalam mengelolah sumberdaya yang ada pada organisasinya. Seorang manajer tentu tidak dapat menggunakan cara-cara dan paradigma lama dalam mengelolah organisasi. Disamping tidak relevan, juga hal tersebut dapat membuat organisasinya ketinggalan karena bergerak lambat. Sementara lingkungan organisasi menuntut persaingan yang tajam. Salah satu perkembangan yang membawa perubahan sangat mendasar bagi cara mengelolah organisasi di era globalisasi adalah perkembangan teknologi komputer, teknologi informasi yang sangat pesat.
Dengan adanya teknologi komputer dan informasi, maka proses pengambilan keputusan berubah dari cara konvensional yang menggunakan sistem manual yang lambat, formal, birokratis, dan gradual, menjadi serba cepat dan otomatis. Hal ini disebabkan oleh bentuk-bentuk sumber informasi yang dapat menjadi input bagi pengambilan keputusan manajemen juga semakin berkembang. Jika dahulu sumber informasi pengambilan keputusan manajemen hanya berasal dari dokumen tertulis (surat menyurat), sekarang, dapat berasal dari berbagai sumber misalnya SMS (short message sending), e-mail, voice mail, telekonferences, dan lain-lain.[2]
Aplikasi komputer dalam pengambilan keputusan manajemen pada awalnya hanya sebatas sumber data (data based) organisasi. Kemudian, dimanfaatkan untuk pencatatan akuntansi perusahaan. Secara berurut, penggunaan komuter dalam proses pengambilan keputusan manajemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
v Sistem Informasi Akuntansi (The Accounting Information System); merupakan sistem jaringan komputer yang berisi informasi tentang laporan keuangan perusahaan yang mendetai. Ini menjadi sumber informasi bagi manajemen dalam mengambil keputusan dibidang anggaran.[3]
v Sistem informasi manajemen (Manajemen Information System); merupakan sistem jaringan informasi perusahaan dengan alat komputer yang menyediakan jasa informasi kepada para penggunanya terutama pengambil kebijakan dalam bentuk laporan, model simulasi matematika, seperti graphik, dan tabel. Untuk memahaminya diperlukan kemampuan membaca simbol matematika dan komputer (computer literacy and information literacy). Oleh karena itu, pada awalnya ini membawa kesulitan bagi sebagian manajer yang tidak memiliki kemampuan tersebut.[4]
v Sistem pendukung keputusan (Decision Support System); Model ini mirip dengan sistem informasi manajemen (Management Information System), yakni sama-sama memiliki data based, laporan, dan model matematika. Ini merupakan pengembangan dari bentuk MIS. Pada DSS, penggunanya dapat berbentuk individual dan kelompok. Pada bentuk kelompok (group) maka dapat dilakukan saling tukar menukar pendapat dalam rangka pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.[5]
v Kantor maya (Virtual Office); Sistem ini merujuk pada suatu praktek organisasi yang menempatkan kantornya pada dunia maya atau pada jaringan komputer setiap anggotanya. Sehingga setiap aktivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dilakukan melalui media. Komputer adalah alat yang sangat berperan.[6]
v Sistem berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge-Based System). Sistem ini biasa dikenal dengan istilah sistem ahli (expert system), dan artificial inteligent. Ini merujuk pada program yang dimasukkan (install) pada komputer yang dapat menggantikan fungsi tertentu manusia sesuai dengan program yang dikehendaki. Pada prakteknya ini sangat memudahkan manajemen, karena dapat mendelegasikan sebagian tugas-tugas pengambilan keputusan kepada mesin (komputer).[7]
Kelima aplikasi tersebut diatas (the accounting information system, management information system, decision support system, office virtual, dan artivicial inteligence atau knowledge-based system) dikenal dengan istilah ‘Computer Based Information System (CBIS)’.[8] Hal ini menunjukkan batapa besar peran komputer dalam membantu bahkan mengambil alih peran manusia (manajer) dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga dapat dikatakan bahwa komputer adalah teknologi yang membawa perubahan paradigma kehidupan organisasi dari tradisional, dan manual, menjadi modern, dan automatik.  Simon menyatakan bahwa “computers have changed executive decision making process and shape of organization designs only modestly”.[9] Artinya, komputer telah mengubah proses mengambilan keputusan eksekutif dan bentuk desain organisasi menjadi sangat sederhana.


[1] Raymond McLeod, Jr, Management Information Systems,  (New Jersey, Prentice Hall, 1998), p.  5
[2] Roy Sambel, Bisnis Maya Laba Nyata, (Jakarta, Alexmedia, 2001), p. 36.
[3] Raymond McLead, op. cit., pp.327-328
[4] Ibid., p.  333
[5] Ibid., p. 371,
[6] Ibid., p.  393
[7] Ibid., p.  399.
[8] Ibid., p. 4
[9] Herbert A. Simon, Administrative Behaviour, 4th  edition, (New York, Free Press, 1997),  p. 21

Monday, May 20, 2013

Peran dialog untuk Pendidikan


PERAN DIALOG DALAM PENDIDIKAN

Artikel ini merupakan analisis singkat yang bersifat parafrase dari bukunya Paulo Freire. Dinyatakan bahwa dialog adalah bentuk komunikasi yang populer dengan menggunakan ‘kata’ sebagai alat untuk melukiskan dunia. Apa yang diucapkan dalam kata-kata pada hakikatnya adalah refleksi tentang dunia dan upaya untuk mentransformasi dunia empirik.
Kata, sebagai alat mentransformasi dunia mempunyai dua dimensi utama yakni aksi dan refleksi. Penggabungan secara fungsional kedua dimensi tersebut dinamakan dengan praksis. Suatu kata mesti mempunyai makna praksis, yakni penggabungan aksi dan refleksi. Kata yang tidak mengandung dimensi aksi, akan kehilangan makna esensial sebagai alat mentrasformasi dunia. Ini dinamakan verbalisme. Demikian pula sebaliknya, kata yang  mengabaikan dimensi refleksi akan melahirkan aktivisme, yakni tindakan demi tindakan tanpa dialog.

Prasyarat terbangunnya Dialog
v Cinta-kasih terhadap dunia dan manusia.  Karena dialog adalah upaya untuk menamai dunia yang kita lihat, kepada orang lain, maka tanpa rasa cinta kepadanya, suatu dialog mustahil dapat terjadi. Cinta kasih melahirkan tanggung jawab dan saling berbagi bukan mendominasi apalagi  menindas.
v Rendah hati terhadap sesama manusia. Karena dialog adalah aktifitas pertemuan sesama mnusia untuk memaknai realitas, belajar secara bersama. Hal tersebut tidak terjadi jika seseorang merasa dirinya lebih pintar atau lebih hebat dari manusia lainya.  Karena pada hakikatnya tidak ada manusia yang sama sekali tidak tahu atau serba tahu; yang ada hanyalah manusia yang sama-sama berusaha untuk mengetahui lebih banyak dari sebelumnya.
v Saling percaya; ini merupakan prasyarat a priori bagi terbangunnya dialog. Tetapi rasa saling percaya tersebut tidak berarti menghilangkan sikap kritis terhadap dialog.
v Harapan; ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memulai segalanya dari  ketidaklengkapannya. Dan bersama-sama dengan orang lain ia berusaha untuk memenuhi segala kekurangannya. Sikap putus asa berarti bungkap dan lari dari kenyataan.
v Kritis; yakni pemikiran yang melibatkan solidaritas yang tak dapat dibagi-bagi  antara dunia dan manusia. Dan pemikiran yang memandang realitas sebagai suatu proses transformasi yang dinamis, dan bukan statis.pemikiran kritis ini berlawanan dengan pemikiran naif.

            Ada dua golongan dalam perspektif  sejarah pembebasan masyarakat, yakni golongan status quo, sebagai kaum yang memperoleh kebebasan dan menindas golongan lain disatu sisi;  dan golongan revolusioner, sebagai kaum yang berusaha bangkit dari penindasan kaum status-quo. Golongan pertama menggunakan pendekatan ‘anti-dialog’ dalam upayanya untuk melestarikan posisinya, sementara goongan kedua menggunakan pendekatan ‘dialog’ dalam upoayanya untuk membebaskan diri dari penindasan.
Hal tersebut kemudian melahirkan ‘teori aktifitas revolusioner’ dan ‘teori aktifitas penindasan’ yang berbeda secara diametral antara kedua golongan tersebut. Dalam melestarikan dan menjalani kehidupannya maka kedua golongan menggunakan strategi yang berbeda.
Strategi kaum penindas mempertahankan status-quo
1.      Penaklukan; merupakan cara mereka untuk tetap mendominasi kaum tertindas. Mereka selalu membangun hubungan menang-kalah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menang dan menaklukkan aum tertindas, mulai dari cara yang halus seperti pelestarian budaya paternalistik, serta menanaman mitos-mitos menyesatkan, hingga pada cara kekerasan. Tujuannya adalah mengalienasi kaum tertindas terhadap dunia real dan membiarkan mereka tetap pasif.
2.      Pecah-belah dan kuasai; untuk bersatu dan membaur dengan kaum tertindas adalah tidak mungkin. Dan untuk melestarikan statusnya, mereka memnciptakan perpecahan dikalangan kaum tertindas, dengan bebagai macam cara. Cara yang banyak dilakukanterkadang tidak disadari oleh  kaum tertindas seperti mitos, latihan kepemimpinan, pembangunan wilayah berdasarkan pengelompokkan masyarakat.
3.      Manipulasi; adalah upaya membius masyarakat (kaum tertindas) agar tidak dapat berpikir kritis dan mandiri. Hal ini sangat efektif untuk masyarakat yang belum melek politik. Penindas berpandangan bahwa munculnya pemikiran kritis dan kemandirian akan melahirkan ‘kesadaran revolusioner’.
4.      Invasi budaya; ini dilakukan dengan menyodorkan filsafat hidup mereka kepada kaum tertindas dan menghalangi kreatifitas kelompok. Hal ini akan membawa pada hilangnya keotentikan budaya kaum tertindas, sehingga mereka menjadi terombang-ambing tanpa pegangan hidup.

Strategi kaum revolusioner melakukan pembebasan:
1.      Kerjasama; hal ini menitik beratkan pada pentingnya komunikasi antara pemimpin dan kaum tertindas. ‘Saya dan Anda adalah dua subyek  yang bertanggung jawab. Bahkan untuk tujuan revolusi sekalipun, seorang pemimpin  tidak dibolehkan menaklukkan atau memanipulasi rakyat, karena haltersebut tidak efektif dan bertentangan dengan nilai-nilai humanisme. Oleh karena itu, pengikutan diri kepada pahlawan revolusi pada hakekatnya adalah pengikutan pada  kebebasan. Dukungan kepada pemimpin merupakan pilihan bebas kaum tertindas.
2.      Persatuan untuk pembebasan; pemimpin revolusioner harus mengabdikan dirinya secara tak jemu-jemu untuk mempersatukan  golongan tertindas dan menjaga persatuan antara pemimpin kaum tertindas dalam rangka mencapai pembebasan. Hal ini merupakan tugas berat yang
3.      Organisasi; sekuens dari kegiatan kerjasama dan persatuan di wujudkan secara sinergis dalam organisasi tertentu sebagai alat perjuangan merealisasi kebebasan.
4.      Sintesa budaya; adalah upaya mempertemukan berbagai aktifitas budaya yang secara dialektis berlawanan dalam suatu struktur sosial budaya. Keadaan stabil mesti berhubungan secara dialektis dengan berbagai perubaha yang dinamis. Hal ini mesti dijaga secara rapi, agar tidak mengorbankan gerakan revolusioner dan kebebasan.


Kontekstualisasi Gagasan Matinya Sekolah


Kontekstualisasi Gagasan  Matinya Sekolah
Gagasan antitesis terhadap eksistensi sekolah yang melahirkan mental pekerja, penurut (anti-kritis), dan pendukung kemapanan, telah berkembang sekitar 4 dekade. Secara dialektik gagasan tersebut telah melahirkan sintesis bagi lahirnya sistem pendidikan informal. Sistem ini banyak diterapkan di negara ketiga, dan sekarang menjadi bentuk pendidikan yang paling banyak di pilih oleh masyarakat. Philips H. Coombs, sebagai salah satu tokoh aliran baru ini, menyatakan bahwa kebutuhan bagi masyarakat miskin pedesaan adalah perubahan melalui sistem pendidikan informal. Dan hal ini berarti berubah bentuk pendekatan yang dilakukan selama ini. ‘Recognition of the severe shortcoming of conventional rural delivery system led to the demand for a more integrated and more community-based approach to rural development’.[1]
Sejalan dengan gagasan Coombs tersebut, Paulo Freire juga mengemukakan bentuk pendidikan yang lain sebagai bentuk counter dari sistem pendidikan formil yang selalu memanipulasi rakyat dan menimbulkan dehumanisasi. Menurut Freire, (dalam bukunya ‘Pedagogy of the Oppressed) pendidikan formal yang dipraktekkan di seluruh negara di dunia menjalankan sistem Bank, yakni sistem pendidikan yang monolog, yang menempatkan anak didik sebagai obyek yang di diceramahi, dan tidak ada dialog, sehingga proses indoktrinasi menjadi sangat efektif. Untuk menetralisisr pengaruh indoktrinasi yang ditanamkan oleh lembaga pendidikan sistem bank tersebut, Freire menganjurkan pendidikan dengan sistem ‘Problem Posing’, dimana setiap orang diberikan kesempatan untuk mengerti persoalan dan mengemukakan jalan keluarnya. Dengan sistem ini, maka proses dialog terbangun dengan lancar dan rasa percaya diri dan hargadiri serta kesadaran masyarakat menjadi terbentuk. Nilai-nilai ini sangat penting dalam rangka memberdayakan masyarakat.[2]
Memasuki abad informasi sekarang, kontekstualisasi dari pemikiran aliran baru, terutama gagasan tentang ‘deschooling sociaty, dari Ivan Illich atau School is Dead dari Everett Reimer’, menjadi aktual. Lahirnya praktek pembelajaran jarak jauh atau open and distance learning, memberikan alternatif bagi cara bejarar manusia dan memperoleh ilmu pengetahuan tanpa pergi ke sekolah.
Terlepas dari kesadaran Illich dan Reimer tentang fakta globalisasi dan teknologi informasi sekarang, pemikiran tentang pembebasan masyarakat dari sekolah (deschooling sociaty) dan matinya sekolah (school is dead) menjadi aktual di era '‘cyberspace'’sekarang. Tidak ada kekuasaan yang mampu mengatur lalu lintas di dunia maya. Tidak ada negara yang mempu melarang warganya untuk mempelajari kecakapan baru yang tidak di kehendaki oleh negara. Tirani negara didobrak oleh arus teknologi informasi. Peran  lembaga sekolah formal, guru, kurikulum, dan statuta akademik yang kaku sebagian telah diambil alih oleh Internet.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah melahirkan apa yang dinamakan oleh Ivan Illich dengan ‘jaring-jaring belajar’ atau Education and Learning Web. Dalam konteks kekinian, maka kontekstualisasi dari gagasan Illich ataupun Reimer dan kawan-kawan adalah lahirnya paradigma baru dalam pendidikan atau Revolutionary Pedagogies yang berbentuk Multiple Literacy  atau penguasaan media komunikasi dan informasi sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan secara global.[3]









[1] Philips H. Coombs,  Meeting The Basic Need of Rural Poor; The integrated community-based approach,  (New York, ICED, 1980), p.  11
[2] Paulo Freire, Pendidikan, Pembebasan, Perubahan sosial; diterjemahkan Mien Joebhaar, (Jakarta, PT. Sangkala Pulsar, 1984), pp. 51-161.
[3] Peter Pericles Trifonas, ed., Revolutionary Pedagogies,  (London, Routledgefalmer, 2000), pp.  196-217.