Monday, March 25, 2013

Pendidikan nasional



Urgensi Reformasi Pendidikan Di Daerah

Reformasi berasal dari bahasa Inggris re artinya kembali, formation artinya membangun. Reformasi artinya membangun kembali. Ini menyiratkan suatu proses untuk memperbaiki suatu bangunan atau tatanan yang pernah ada sebelumnya karena sudah tidak diperlukan, dan ketingglan zaman.  Proses membangun yang baru tersebut  di motivasi oleh kebutuhan akan kualitas dan dipengaruhi oleh kondisi terkini dari masyarakat sekitar. Bentuk yang baru tentu selaras dan sesuai dengan cita-cita, keinginan, kebutuhan dan kondisi masyarakat sekarang. Bentuk tatanan yang merupakan hasil reformasi diharapkan memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang berkualitas yang siap berkompetisi di era globalisasi.
Dalam konteks pendidikan, aspek yang di reformasi adalah sistem dan tatacara penyelenggaraannya serta muatannya. Secara sederhana ada beberapa unsur  pokok yang penting diperhatikan dalam mereformasi sistem pendidikan, yakni: kurikulum, penyelenggaraan (operations), sistem kelembagaan (overall direction of the institution), proses pembelajaran dan penelitian (teaching and search).[1] Beberapa komponen tersebut perlu ditinjau ulang relevansi dan kesesuaiannya dengan kondisi kontemporer. Hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kontemporer lingkungan dan masyarakat mesti dilakukan perubahan dan perbaikan demi terpenuhinya keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Semangat dari reformasi pendidikan di daerah adalah untuk memperbaiki kondisi pendidikan daerah sebagai basis pendidikan nasional. Logika yang sederhana dari reformasi ini adalah “jika kualitas pendidikan di daerah baik, maka kualitas pendidikan nasional akan turut baik”. Reformasi ini berlandaskan pada perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang terlebih dahulu dibangun berdasarkan pendekatan sentralistik.
Dari berbagai penjelasan tersebut, maka pengertian dari reformasi pendidikan di daerah adalah strategi untuk membangun kembali mutu pendidikan nasional dengan pendidikan daerah sebagai basisnya, dengan tetap bertumpu pada sistem pendidikan nasional dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
            Otonomi daerah yang diimplementasikan sejak tanggal 1 Januari 2001 menjadi starting point bagi arah baru pelaksanaan pembangunan nasional. Arah baru tersebut menuju pada penguatan pembangunan daerah kabupaten/kota secara otonom. Berbeda dengan arah sebelumnya yang bersifat sentralistik - sehingga arah pembangunan menuju ke pusat sebagai sentral - di era yang dikenal dengan istilah desentralisasi maka arah pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya yang berbasis di daerah.
            Pada era sentralistik, pelaksanaan pembangunan nasional dikelolah secara teratur dan rapi dari atas sampai ke tingkat paling bawah. Untuk memenuhi aturan/ketentuan tersebut maka tenaga profesional dan terdidik dipakai oleh pemerintah pusat untuk merencanakan pembangunan nasional sebaik mungkin. Karena di buat oleh tim ahli yang disyahkan oleh pemerintah, maka kebijakan dan program pembangunan yang dituangkan selalu diikuti dan dijalankan oleh pemerintah daerah dengan baik. Dalam beberapa aspek, hal ini memberikan manfaat yang besar seperti adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan stabilitas nasional yang relatif aman. Namun ada hal lain yang terabaikan dari pelaksanaan pembangunan dengan sistem tersebut, yakni terabaikannya potensi kekayaan dan aspirasi masyarakat di daerah dalam pembangunan nasional. Pengabaian ini melahirkan kurang efektifnya hasil pembangunan nasional karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
            Salah satu aspek pembangunan yang melahirkan masalah dalam pelaksanaannya di era sentralistik adalah Pendidikan. Beberapa permasalahan pendidikan secara nasional adalah rendahnya mutu, tidak relevannya antara pendidikan dengan kehidupan real, pemerataan pendidikan, dan manajemen yang tidak efisien.[2]
            Berbagai permasalahan tersebut mewarnai pula seluruh pendidikan yang ada di daerah. Bahkan beberapa daerah mempunyai kondisi yang sangat terpuruk. Ini karena kebijakan dan praktek pendidikan pada era sentralistik tidak memberikan keleluasaan bagi daerah untuk merancang pendidikan yang mampu menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi obyektif lingkungan alamnya. 
            Setelah reformasi dan kebijakan pembangunan menjadi bersifat desentralistik, maka daerah mendapatkan tanggung jawab dan wewenang untuk membangun daerahnya sendiri. Pendidikan merupakan satu bidang prioritas yang menjadi tumpuan bagi suatu daerah untuk memperbaiki pembangunan di daerahnya. Hal ini karena pendidikan merupakan kawah candradimuka untuk mencetak kualitas sumberdaya manusia yang akan menggerakkan pembangunan.
Namun secara historis pendidikan di daerah sudah terbebani dengan permasalahan lama, dan dampak dari kebijakan  pendidikan dan pembangunan nasional yang sentralistik. Beberapa dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Hilangnya kreativitas dan inovasi tenaga kependidikan di daerah;
2.      Lahirnya kultur aparatur pendidikan di daerah untuk menunggu juklak dan juknis dari pimpinan/ atasan;
3.      Berpindahnya local jenius ke kota, sehingga menyebabkan kurangnya tenaga ahli perencana dan pelaksana pembangunan di daerah;
4.      Lahirnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam organisasi pendidikan. Ini disebabkan oleh panjangnya alur birokrasi dan luasnya span of control pemerintah pusat.
Di tengah permasalahan tersebut, maka pemerintah daerah mesti menata ulang kebijakan pendidikannya. Baik itu mengenai visi, misi, strategi sasaran, dan programnya ataupun tentang kurikulum, tenaga kependidikan, sumber belajar, evaluasi pendidikan, serta strategi penyelenggaraannya.      
Dalam konteks seperti inilah saya memandang bahwa reformasi pendidikan di daerah merupakan hal penting dan urgens untuk dilaksanakan.


[1] Ralph G. Lewis and Douglas H. Smith,  Total Quality in Higher Education,  (Florida: St. Lucie Press, 1994),  p. 20
[2] World Bank, Educationin Indonesia from Crisis to recovery,  (World Bank Report No. 18651-IND, 1988), pp. 69-96

No comments:

Post a Comment