Wednesday, March 27, 2013

Pendidikan Islam 9



Agama dan Masalah Pergeseran Nilai Budaya

Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang bercorak normatif. Artinya, pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses transformasi nilai yang pada akhirnya pendidikan hanya merupakan lembaga konservasi yang leibh mengutamakan nilai-nilai tradisional.
Dalam sudut pandang yang lain pendidikan dipahami dalam kaitannya dengan proses dialektika budaya. Hal ini berarti pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara terus-menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia.
Kontroversi mengenai orientasi pendidikan antara pendidikan di satu sisi lebih menekankan pada aspek humaniora sementara di sisi lain lebih berorientasi pada penguasaan teknologi pada dasarnya adalah merupakan refleksi dari adanya dualisme pandangan antara pendidikan yang filosofis dengan kepentingan prgamatis.
Pandangan integral ini didasarkan atas, pertama pendidikan pada dasarnya suatu instrumen strategis pengembangan potensi dasar manusia, yaitu potensi moral karena dengan potensi moral menjadi manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religius. Kedua, realits sosiologis manusia yang selalu terlibat dengan proses dialektika fundamental dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan secara kontinue di masa depan baik secara evolutif maupun revolutif tidak dapat dihindari.
Pandangan yang integral tersebut mengharuskan pendidikan perlu membuat proyeksi tentang kecenderungan besar yang akan terjadi di masa depan. Hasil proyeksi tersebut digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengadakan kaji ulang terhadap makna pendidikan.
Sedikitnya terdapat tiga kerangka teoritik yang sering digunakan untuk menjelaskan secara substansial terjadinya perubahan dalam masyarakat. Ketiga kerangka teoritik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, teori yang memandang perubahan sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi yang didukung oleh teori evolusi dan neo-evolusi.
Kedua, teori sosial yang memandang perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses pertumbuhan dan pembentukan nilai-nilai. Teori Max Weber dan Mc. Clelland termasuk dalam kategori ini.
Ketiga, teori yang memandang bahwa perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan proses pembebasan dari ketergantungan. Teori ini banyak dianut oleh para intelektual di negara-negara berkembang.
Dari ketiga teori tersebut, yang menarik adalah teori yang memberikan penekanan pada masalah nilai karena dalam studi antropologis sistem nilai dipandang sebagai pedoman tertinggi bagi seluruh artikulasi perilaku manusia, baik secara personal maupu sosial.
Dalam kebudayaan terdapat enam nilai dasar yaitu nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan agama yang dapat dijadikan sebagai kerangkan acuan oleh masyarakat karena keenam nilai dasar tersebut bersifat universal. Yang berbeda adalah bagaimana cara masyarakat mempersepsikan dan mengartikulasikannya.
Dalam masyarakat tradisional nilai teori terartikulasikan dalam bentuknya yang bersifat mistik-intuitif sehingga bagi mereka agama mempunyai kedudukan yang kuat karena dipandang mempunyai daya mistikal dalam rangka mencarai sandaran legitimasi dalam proses pencarian kebenaran.  Dalam nilai sosial, masyarakat tradisional mengutamakan kehidupan kolektif.
Pola hubungan sosial pada masyarakat tradisional diartikulasikan dalam bentuk komunal dan personal. Adapun dalam nilai ekonomi mereka lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Semantara dalam nilai politik cenderung berorientasi pada kemapanan struktural.
Keenam dasar tersebut tidak akan mengalami pergeseran persepsi dan artikulasi sejalan dengan semakin berkembangnya budaya dan peradaban masyarakat. Semua nilai dasar itu tetap ada dalam masyarakat sebagai ciri kultural mereka, tetapi kemudian akan dipersepsi dan diartikulasikan secara berbeda ketika masyarakat berkembang dan berada dalam realitas kehidupan yang baru.
Uraian di atas memunculkan persoalan mendasar mengenai kebutuhan terhadap suatu kerangka nilai yang dapat memberikan orientasi yang pasti dan jelas dalam konteks kehidupan yang terus mengalami perubahan. Bila tidak memilih sikap etis dan kritis dalam pengembangannya maka akan mendatangkan implikasi kemanusiaan yang secara negatif mempengaruhi masa depan umat manusia. Karena itu setelah menyadari beberapa ekses negatif itu terdapat suatu kesadaran baru untuk kembali kepada nilai-nilai agama.
Namun demikian agenda terpenting sekarang ini adalah bagaimana merekontruksi peran agama tersebut dalam rangka revitalisasi dan transormasi nilai-nilai agama. Dalam sosiologi agama terdapat dua peran penting agama, yaitu peran directive system dan defensive system.
Peran directive system menempatkan agama sebagai referensi utama dalam proses perubahan. Dalam hal ini agama tidak lagi dipandang sebagai penghambat perubahan melainkan memberikan daya dorong luar biasa bagi terciptanya perubahan yang konstruktif dan humanis bagi masa depan umat manusia.
Peran defensive system menjadikan agama semacam kekuatan resistensial bagi masyarakat ketika berada dalam lingkaran persoalan kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus perubahan. Dalam konteks demikian masyarakat akan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa khawatir serta ragu dalam menghadapi kehidupan. Namun demikian pendekatan tersebut tidak hanya dilihat dari aspek agama saja karena agama mempunyai cakupan doktrinasi yang universal.
Menyadari akan tantangan dan harapan terhadap peran agama maka persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagimana ia mampu menghadirkan suatu konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Permasalahan yang muncul di lapangan saat ini adalah bahwa materi pendidikan agama terlalu didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatf, ritualistik dan eskatologis yang diperkuat oleh metode yang disampaikan dengan semakat ortodoksi keagamaan yang memaksa peserta didik tunduk pada suatu metanarasi yang ada tanpa diberi peluang untuk melakukan telah secara kritis.

No comments:

Post a Comment