Wednesday, March 27, 2013

Pendidikan Islam 8



Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren

Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai banyak perbedaan. Perguruan tinggi identik dengan kemodernan, sementara pesantren identik dengan ketradisionalan. Persepsi dualisme-dikotomi ini pada kenyataannya saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan, baik secara struktural maupun kulutral.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius. Menurut Nurcholish Madjid seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan tentu pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren.
Pendapat Nurcholis Madjid di atas mungkin terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjut terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi dengan mempertimbangkan kelebihan yang dimilikinya bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk perguruan tinggi.
Beberapa pesantren yang ada saat ini masih kaku mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih sohisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Paling tidak ada tiga yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
1. kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang berpusat pada seorang kyai.
2. Kelemahan di bidang metodologi karena umumnya pesantren memiliki tradisi yang sangat kuat di bidang transmisi keilmuan klasik.
3. Terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah perubahan realitas sosal yang demikian cepat.
Akhir-akhir ini terjadinya sintesa atau konvergensi antara pesantren dan perguruan tinggi dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan yang konstruktif. Hal ini dapat ditemukan di beberapa daerah di mana banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi dan sebaliknya perguruan tingi mendirikan pesantren.
Perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan ditambah dengan pengayaan di bidang skill tapi minus pengayaan moral, dalam kenyataannya hanya menghasilkan manusia cerdas tapi kurang mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya, pesantren mempunyai keunggulan dari sisi moralitas, tetapi minus tradisi rasional sehingga melahirkan pribadi yang tanggung secara moral tetapi lemah secara intelektual.
Dengan memperhatikan implikasi tersebut maka perlu usaha terciptanya suatu sintesa, konvergensi atau sinergisitas, sehingga dapat dicapai kesatuan antara moralitas dan rasionalitas. Hal ini bukan persoalan sedernahan karena menuntut kita untuk membongkar akar-akar teologis-filosofis terjadinya dualisme-dikotomi tersebut. Oleh karena itu sudah waktunya untuk merekonstruksi waca keilmua yang selama ini terpilah-pilah secara rigid antara ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.

No comments:

Post a Comment