Wednesday, March 27, 2013

Pendidikan Islam 6



Madrasah dan Tantangan Peradaban Modern

Pengakuan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bentuk pengakuan adanya ciri-ciri khas yang dimiliki pranata pendidikan. Pengakuan tersebut secara kultural sungguh tepat mengingat peradaban suatu bangsa bisa sangat kuat manakala bertumpu pada akar budaya. Hal tersebut dapat dibenarkan baik dalam perspektif budaya maupun dalam pandangan ilmiah.
Pendidikan dan peradaban adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebab menggagas soal pendidikan pada dasarnya adalah menggagas soal kebudayaan dan peradaban. Pendidikan adalah upaya merekontruksi pengalaman-pengalaman peradaban umat manusia secara berkelanjutan guna memenuhi tugas kehidupannya.
Baik secara etimologi pada dasarnya kata madrasah juga berarti sekolah, sekalipun kata sekolah itu sendiri merupakan adaptasi dari kata school atau scola. Makna ini menunjukkan bahwa secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya saja secara kultural di lembaga madrasah ini memperoleh seluk beluk agama dan keagamaan sehingga kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama. Seiring dengan perkembangan zaman kata madrasah yang diidentikkan dengan sekolah agama mengalami perubahan walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Madrasah sebagai sebuah pranata pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dengan pondok pesantren. Mencermati pola pendidikan pondok pesantren pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan bahwa dalam sistem pembelajarannya cenderung bercorak mistik. Namun secara lambat laun nuansa mistik tersebut berkurang bersamaan dengan semakin dekatnya ke dalam jaringan Islam ke Haramaian, tempat sumber yang asli.
Ditinjau dari aspek pengelolaan pendidikan maka madrasah memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal, kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan. Hal tersebut berbeda dengan sistem pembelajaran di pondok pesantren yang mempergunakan sistem sorogan dan wetonan.
Format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya. Proses pembentukan format madrasah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan Barat sebagai buah dari intervensi budaya dan politik pemerintah Hindia Belanda dalam paruh pertama abad ke-20. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Pertama, madrasah-madrasah diniyah-salafiyah terus tumbuh dan berkembang dengan pertambahan jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, yakni lembaga yang hanya mendalami agama.
Kedua, makin bermunculan madrasah-madrasah yang selain mengajarkan dan mendidik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, juga memasukkan pelajaranppelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda.
Pola-pola madrasah di atas dapat dijumpai sampai sekarang. Perubahan-perubahan mungkin sekali dialami oleh madrasah, karena tuntutan penyesuaian maupun reinvention (penemuan kembali).
Sekalipun madarah telah mendapat pengakuan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional namun secara birokratik terdapat dualisme-dikotomi antara pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan pendidikan agama (baca:madrasah) di bawah naungan Departemen Agama (Depag). Dualisme-dikotomi tersebut memang secara kuat mengesankan kebijakan pendidikan yang dibidani oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Relaitas lain menunjukkan meskipun madrasah-madrasah lebih dinisbahkan sebagai lembaga pendidikan swadaya masyarakat, sebagaimana telihat dari kenyataan terbesar berstatus swasta, keterpanggilannya berperan serta melaksanan gerakan wajib belajar  cukup besar dan spontan.
Sebagai contoh ketika pemerintah melontarkan gerakan wajib belajar pada 1950-1960an tumbuh secara spontan Madrasah Wajib Belajar yang muncul hampir seluruhnya terletak di pedesaan. Pada 1960an telah muncul rancangan dan usaha-usaha implementasi agar MWB menjadi salah satu lembaga yang bisa memerankan pembangunan pedesaan.
Perlu dicatat bahwa realtias lain yang tidak bisa diabaikan adalah banyaknya penyelenggaraan madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren. Madarah-madrasah serupa ini menciptakan satu mekanisme tersendiri guna menutupi kekurangan pelajaran dan pendidikan agama dalam kurikulum madrasah.
Madrasah yang berada dalam naungan pondok pesantren memberikan kesempatan kepada para siswanya untuk menambah kekurangan ilmu pengetahuan agama melalui pengajian-pengajian kitab di luar jam madrasah.
Ada tiga kepentingan yang harus diakomodasi dalam penentukan kebijakan pengembangan madrasah. Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup islami.
Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengatahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah umum.
Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk ini madrasah perlu diarahkan kepada lembaga yang sanggup melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, dan era informasi.

No comments:

Post a Comment