Wednesday, March 27, 2013

Pendidikan Islam



HUBUNGAN PENDIDIKAN  ISLAM

Hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang.  Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dikalangan kaum muslimin ada empat pendapat yang sering menimbulkan kontroversi, yaitu:
Pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurnaan – dari agama-agama wahyu sebelumnya – adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan umat  manusia  Kalangan ini biasanya mengemukakan pernyataan, bahwa Islam mengatur dari permasalahan-permasalahan kecil, seperti bagaimana adab atau tata cara masuk kamar kecil sampai pada masalah-masalah kenegaraan, kemanusiaan, sistem ekonomi dan lain sebagainya. Termasuk didalamnya adalah bidang pendidikan. Kelompok ini biasanya dijuluki dengan kelompok “universalis” bersikap lebih radikal dan dalam mamahami Islam, umumnya lebih skripturalis.
Kedua, berpendapat bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Sedangkan urusan-urusan keduniaan, termasuk tentang pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang diberikan kepada manusia. Kelompok ini berpendapat, pendidikan Islam itu tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan Islami.
Pendidikan menurut kelompok ini secara epistemologis berada dalam kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan Islam. Islam hanya menempati kawasan aksiologis, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada di luar struktur ilmu pendidikan. Karena itu, yang disebut pendidikan Islam adalah pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam, baik yang dikelola oleh kaum muslim maupun yang bukan.
Ketiga, Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sisem nilai dan norma (perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosial dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara praktis, dalam Islam tidak terdapat sistem ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya secara tersurat dan baku. Akan tetapi, manusia – dalam hal ini umat Islam telah diberi amanah sebagai khalifah dimuka bumi – diperintahkan untuk membangun sebuah sistem kehidupan praksis dalam segala aspeknya dalam rangka mengamalkan nilai dan norma Islam dalam kehidupan nyata.
Kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendikiawan yang secara intelektual mampu menangkap “ide moral” atau “hikmah” diturunkan Islam. Islam adalah pedoman hidup universal (sesuai dengan fitrah manusia), eternal (abadi), dan kosmopolit (lengkap dan mendorong untuk berperadaban). Karenanya, sebagian terbesar hanya berupa nilai-nilai dambaan manusia dari berbagai suku, bangsa dan kurun waktu.
Keempat, Islam itu adalah petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini akan mematikan kreativitas dan memasung kebebasan manusia. Yang diberikan petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-hal tertentu yang dianggap khusus, krusial, dan memang tidak memerlukan kreativitas pemikiran manusia. Misalnya, masalah ibadah mahdhah dan beberapa hal yang berhubungan dengan keluarga, seperti kedudukan dan hubungan kekeluargaan, masalah perkawinan dan waris.
Keempat pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang paling benar, sehingga yang satu menyalahkan yang lain. Karena persoalan pemahaman sebenarnya bersifat “relatif” kebenarannya. Sedangkan kebenaran yang absolut hanyalah Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan persoalan hidup dan kehidupan ini, menurut penulis, pendapat ketiga dan keempat lebih mendekati kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, antara lain memudahkan dan mendorong kepada kemajuan.
Terminologi Lembaga Pendidikan Islam sendiri paling sedikit memiliki tiga pengertian, yaitu:
Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini, Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan penyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
Ketiga, mengandung kedua pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumaber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.
Walaupun belum cukup memadai secara filsafati untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar  dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar. Hal ini sebagaimana diyakini oleh setiap muslim, bahwa Islam adalah agama wahyu terakhir yang mengemban misi rahmatan lil-alamin, yaitu terciptanya kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis, dan lestari. Untuk mewujudkan rahmatan lil-alammin, pada hakekatnya Allah telah memberikan pendidikan kepada manusia dengan sempurna. Allah telah menciptakan manusia dengan unsur-unsur dan perlengkapan sempurna, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan yang sesungguhnya sangat berat.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif. Dengan demikian, menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan hidup yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup (long life education).
Selain itu pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kader khlifah, sehingga secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil-‘alamin.
Pendidikan Islam mempunyai dasar filosofis yang lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup yang multi dimensional. Pendidikan Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kerjaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah, maka pendidikan Islam mestinya adalah pendidikan yang paling ideal, karena tidak hanya berwawasan mendunia – apalagi pragmentaris – tetapi juga berwawasan kehidupan secara utuh dan multi dimensional. Tidak hanya berorientasi untuk membuat dunia menjadi sejahtera dan gegap gempita, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia sebagai ladang, sekaligus ujian untuk dapat lebih baik di akhirat.
Pendidikan Islam mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam, tetapi juga manusia yang mau bersukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia sebagai khalifah, dan memperlakukan alam tidak hanya objek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan.
Sebagaimana kajian tentang hakekat pendidikan Islam menurut Dr. Hasim Amir (1991) mengemukakan, pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, dan berakar budaya kuat. Adapun pendidikan yang idelistik ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pendidikan integralistik mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan, Manusia, dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan, dan individual-sosial.
Kedua, pendidikan yang humanistik memandang manusia, yakni mahluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Dengan pendidikan yang humanistik diharapkan bisa berpikir, berasa, dan berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Ketiga, pendidikan yang pragramtik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai mahluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani maupun rohani.
Keempat, pendidikan yang berakal budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan maupun kebudayaan.

No comments:

Post a Comment