Secara
sederhana beberapa faktor yang menjadi
pemicu lahirnya globalisasi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama
Internasional dan Regional.
Berlakunya WTO,
APEC dan AFTA akan menuntut keterampilan dan kemampuan bersaing untuk menjalani
prinsip-prinsip kehidupan global yang biasa dikenal dengan istilah ‘the golden rule’. The Golden rule adalah seperangkat nilai yang bersifat universal
dan humanis yang diyakini dapat menopang
peradaban manusia yang maju, damai dan beradab.[1]
Disini lembaga pendidikan diposisikan sebagai tempat yang diharapkan dapat
merubah (meng-up date) pikiran,
wawasan, dan membentuk sikap, perilaku dan keterampilan yang sesuai dengan
tuntutan ‘the golden rule’.
Fakta lain dari
berlakunya WTO, APEC, DAN AFTA, adalah lahirnya Multi National Cotporation,
sebagai instrumen pelaksana dari
kegiatan perdangangan barang dan jasa lintas negara dan benua.
Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut membutuhkan sumber daya manusia (hman
resources) yang unggul dan secara Institusi telah terbakukan mutunya (standardized services and goods). Dan
untuk mencetak sumber daya manusia seperti ini, tidak dapat diserahkan kepada
lembaga pendidikan konvensional yang ada di setiap negara. Perusahaan MNC
memerlukan kualifikasi sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan itu hanya
dilahirkan oleh lembaga pendidikan pendidikan yang bonafide. Disinilah lahir
tuntutan untuk membangun lembaga pendidikan bermutu bagi kebutuhan industrinya.
Karena perkembangan yang pesat dan demi efisiensi dan alasan lainnya (alasan
politik untuk merekrut sumber daya manusia dari penduduk pribumi) maka lembaga
tersebut mendirikan lembaga pendidikan di negara dimana bisnis dan industrinya
beroperasi).
2. Penemuan
Teknologi Informasi dan komunikasi.
Beberapa
piranti teknologi informasi seperti telepon, celular, handphone, handy-camera,
komputer, printer, dan modem, telah membawa revolusi besar dalam seluruh aspek
kehidupan umat manusia, termasuk dibidang pendidikan. Dalam konteks globalisasi
penemuan baru dan inovasi yang berlangsung sangat cepat di bidang Teknologi
Informasi telah melahirkan kekuatan dan kelompok baru yang dinamakan ‘The Electronic Herd’ yakni suatu
kelompok orang atau perusahaan yang mempunyai jaringan bisnis luas dan
melakukan transaksi secara cepat sehingga mampu mempengaruhi kondisi suatu
negara atau bangsa. Alat bisnis dan transaksi mereka mengandalkan kabel dan
layar komputer.[2]
Teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional dapat disulap menjadi teknologi
pendidikan. Dengan penggunaan teknologi tersebut, maka paling kurang ada dua
dampak langsung terhadap dunia pendidikan. Pertama;
berbagai teks materi ilmu pengetahuan (content)
dapat disebar-luaskan secara cepat ke berbagai penjuru dunia. Hal ini akan
melahirkan perobahan dan pertambahan wawasan dan pengetahuan masyarakat secara
cepat. Kedua; hadirnya sistem dan
program pendidikan negara lain secara virtual melalui layar komputer. Ini
memungkinkan seseorang belajar secara on-line dengan menggunakan internet
dengan pilihan yang bebas dan kaya.
Hal ini secara langsung menggugat peran
lembaga pendidikan di suatu negara. Dan merupakan intervensi atas eksistensi
lembaga pendidikan suatu negara.
3. Gerakan
Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Gerakan ini
menjadi semakin populer dan efektif ditengah arus globalisasi. Hal ini karena
muatan dari demokrasi dan hak asasi manusia bersifat universal, sehingga
tuntutan dan perjuangan untuk menegakkannya menjadi keharusan universal dan
dijunjung tinggi oleh segenap umat manusia. Dimana –mana terlihat bahwa gerakan
yang mengatas namakan demokrasi dan hak asasi manusia selalu mendapat dukungan
internasional. Contoh; eksistensi masyarakat aborigin untuk mendapatkan
pendidikan dan melestarikan budayanya, menjadi agenda bersama LSM
internasional. Demikian pula misalnya tuntutan untuk memberantas buta huruf (illiteracy) menjadi agenda bersama
negara di dunia serta lembaga-lembaga swasta.
Inti dari
gerakan demokrasi dan hak asasi manusia adalah penegasan eksistensi manusia
sebagai mahluk individu dan sosial yang merdeka. Ia bertujuan untuk menjamin
kebebasan berkreasi dalam rangka merealisasi potensinya sebagai manusia.
Sehingga dalam konteks demokrasi dan HAM, maka setiap manusia mempunyai hak
untuk mengembangkan dirinya melalui proses pembelajaran, pelatihan, maupun
bentuk pendidikan lainnya.
Setiap individu
bebas memilih sekolah apa dan dimana, belajar apa dengan siapa dan diajar oleh
siapa. Regulasi yang restriktif terhadap hal diatas akan diklaim sebagai
melanggar demokrasi dan HAM.
4. Peningkatan status sosial ekonomi masyarakat.
Suatu
masyarakat yang status sosial-ekonominya tinggi, mempunyai pilihan yang beragam
atas sarana dan prasarana kehidupan. Mereka bebas memilih bentuk hiburan, alat
transportasi, bentuk rumah dan pakaian.
Dan di bidang pendidikan mereka bebas memilih sekolah yang berkualitas,
dan memenuhi tuntutan selera dan gaya hidupnya. Bahkan dalam hal memilih
sekolah, masyarakat yang kaya cenderung berpikir untuk bersekolah pada lembaga
yang menjamin lestarinya status mereka. Mereka tidak mau terikat pada batas
ingkungan geografis.
Kehadiran
teknologi komunikasi, informasi dan angkutan, membawa perobahan besar-besaran
terhadap struktur demokrafi dan sosial suatu bangsa. Banyak orang yang dulunya
termasuk kelompok marginal dan tidak terpandang, dengan menguasai keterampilan
tertentu dapat menjadi kaya raya. Hal ini menjadi fakta yang ramai diberitakan
di era globalisasi sekarang. Fredman menamakan kelompok ini dengan istilah ‘groundswell’[3].