Monday, April 15, 2013

Persiapan dan tantangan Manajemen Berbasis Sekolah


Secara historis, di Indonesia praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada dasarnya telah diimplementasikan pada lembaga pendidikan Pesantren sejak waktu yang lampau. Selain itu, beberapa sekolah swasta, dan sekolah negeri yang terletak pada daerah marginal (terlepas dari mutu yang dicapai), juga pada dasarnya telah menlaksanakan praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS). Hal tersebut dapat dilihat misalnya: pada unsur pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat setempat, pengadaan fasilitas gedung belajar yang didirikan secara gotong-royong, pengangkatan guru-guru honorer relawan (volunteer) dari masyarakat, pelibatan orangtua murid, baik melalui BP3, atau organisasi lainnya. Di era Desentralisasi, semangat dan jiwa tersebut dapat lebih dikembangkan dan dibina menuju pada pencapaian mutu dan pemerataan di bidang pendidikan dan pengajaran.
            Oleh karena itu, penyelenggaraannya mesti memperhatikan tingkat kesiapan masyarakat, dan infrastruktur yang tersedia. Berdasarkan hal ini, maka model  sekolah dalam melaksanakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) dapat dibagi atas tiga tingkatan, yakni sebagai berikut:
1.      Sekolah yang dapat melaksanakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) secara penuh. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria antara lain:
a.       Pemilihan Kepala Sekolah dan Guru didasarkan atas keterampilan dan kompetensi yang dimiliki;
b.      Dukungan dana dan partisipasi masyarakat  relatif besar;
c.       Pendapata  Asli Daerah dimana sekolah berada, relatif tinggi;
d.      Dana tidak tergantung pada pemerintah, tapi dari masyarakat;
e.       Nilai Ebta Murni dan pretasi belajar anak, tinggi.
2.      Sekolah yang menyelenggarakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada tingkat menengah. Sekolah pada tingkat ini telah memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
a.       Kepala sekolah dan guru dipilih berdasarkan keterampilan;
b.      Partisipasi masyarakat relatif besar;
c.       Pendapatan Asli Daerah, sedang;
d.      Dana pendidikan tergantung pada pemerintah;
e.       Nilai Ebta Murni dan prestasi belajar anak, sedang.
3.      Sekolah yang menyelenggarakan Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) pada tingkat rendah. Sekolah pada tingkat ini diindikasikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
 a.       Kepala Sekolah dan guru dipilih karena memiliki keterampilan;
b.      Partisipasi masyarakat kurang;
c.       Pendapatan Asli Daerah  rendah;
d.      Dana pendidikan sangat tergantung kepada pemerintah;
e.       Nilai Ebta Murni dan prestasi belajar anak, rendah.[1]
 
Beberapa faktor pendukung bagi pelaksanaan konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) di Indonesia antara lain:
§  Peraturan perundangan-undangan yang membuka peluang bagi diterapkannya model Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) . Perundang-undangan tersebut antara lain adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dimuat dalam UU No. 2 tahun 1989, juga mendukung (memprakondisikan) implementasi konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) atau School-Based Management (SBM). Ini sdapat dilihat dengan dibukanya peluang bagi orang tua murid dan komponen masyarakat lainnya untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan.
§  Realitas lahir dan tumbuhnya masyarakat madani. Masyarakat madani dengan ciri kemampuan untuk mengatur dan menghidupi dirinya, karena kematangan emosional dan intelektual warganya. Hal ini diharapkan akan tetap tumbuh dan berkembang mendukung terselenggaranya program pembanguna. Di Indonesia masyarakat madani ini mewujud dalam bentuk kelompok-kelompok intelektual, kelompok profesi dan bakat atas kesamaan tujuan atau minat tertentu. Kelompok tersebut berbentuk Yayasan atau Lembaga Swadaya masyarakat. Hal ini di picu oleh gelombang demokratisasi dunia. Sejak tahun 1980-an, di Indonesia telah terjadi gelombang demokratisasi yang ditandai dengan gairah dan semangat masyarakat membentuk berbagai lembaga kemasyarakatan berupa Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal yang menjadi tujuan umum dari LSM adalah adalah terciptanya kemandirian (self-reliant) warga dalam aktifitas kehidupan. Jumlah LSM yang tersebar di seluruh pelosok tanah air merupakan potensi real yang dapat menggerakkan implementasi konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).
§  Kultur Pesantren. Salah satu ciri khas Lembaga Pendidikan Pesantren adalah ‘pembentukannya berdasarkan inisiatif dan swadaya masyarakat lokal’. Hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).  Dalam konteks ini, pesantren di Indonesia yang kini berjumlah 11. 312 buah,[2] dapat menjadi pioner dalam implementasi School-Based Management (SBM) atau Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS).
Disamping faktor pendukung seperti disebutkan diatas, ada pula faktor-faktor penghambat bagi terselenggaranya konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS), antara lain sebagai berikut:
§  Kondisi obyektif bangsa dan negara Indonesia yang tengah dilanda krisis multidimensional. Hal ini membawa implikasi pada kemampuan pemerintah untuk membiayai dunia pendidikan menjadi kurang memadai, dan kemampuan keluarga (orangtua siswa) untuk membiayai pendidikan putra-putrinya serta memberikan sumbangan kontribusi yang maksimal terhadap aktifitas pembelajaran di sekolah menjadi lemah.
§  Budaya masyarakat yang belum sepenuhnya terbiasa dengan kehidupan organisasi. Sementara konsep Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) memerlukan kesadaran, pengetahuan dan pengalaman organisasional yang cukup. Dalam praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS), aktifitas organisasional seperti rapat, sharing pendapat, untuk mengambil keputusan menjadi hal yang penting dan sering. Sementara sekarang ini sebagian masyarakat berpandangan kalau mengikuti kegiatan seperti itu hanya membuang-buang waktu (time consuming). Kemauan dan kesediaan untuk mengikuti rapat saja belumlah cukup untuk dapat diambilnya suatu keputusan yang representatif. Diperlukan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan mengemukakan pendapat di hadapan rapat. Tanpa itu maka partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi semu.
§  Sikap dan tanggapan berbagai level pemerintah terhadap praktek Manajemen - Berbasis Sekolah  (MBS) yang beragam. Boleh jadi, pemerintah di daerah tertentu memandang penyerahan wewenang kepada sekolah akan mempengaruhi jalannya pembangunan daerah secara umum. Bahkan implikasi dari penyerahan wewenang seperti keuangan (budget), kekuasaan dan kontrol (control and power) serta fasilitas lain akan menjadi permasalahan politik yang rumit dan tidak diinginkan pemerintah daerah tertentu. 
§  Kualitas Sumber Daya Manusia (human resources) yang ada di sekolah. Hal ini meliputi tenaga pengajar, tenaga administratsi dan keuangan, dan pimpinan sekolah. Diperlukan perobahan cara berpikir, sikap dan paradigma baru, untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah.



[1] Jalal, Supriadi, op.cit., p. 161-163.
[2] Departemen Agama RI, Statistik Pondok Pesantren Seluruh Indonesia 2000-2001, EMIS.

No comments:

Post a Comment